Nikah mut’ah ialah perkawinan antara seorang lelaki
dan wanita dengan maskawin tertentu untuk jangka waktu terbatas dan berakhir
dengan habisnya masa tersebut, dimana suami tidak berkewajiban memberi nafkah
dan tempat tinggal kepada istri serta tidak menimbulkan pewarisan antara
keduanya serta tidak mempersyaratkan adanya saksi dan wali.
Nikah mut’ah dalam ajaran Syi’ah memiliki
keistimewaan yang besar. Dikatakan dalam buku “Minhajus Shadiqin” yang di tulis
oleh Fatullah Al Kasyani, dari As Shadiq bahwasannya, “Mut’ah adalah bagian dari agamaku, dan agama nenek moyangku, dan
barangsiapa yang mengamalkannya berarti
ia mengamalkan agama kami, dan barangsiapa yang mengingkarinya berarti
ia mengingkari agama kami, bahkan ia bisa dianggap beragama selain dengan agama
kami dan anak yang dilahirkan dari hasil perkawinan mut’ah lebih utama daripada
anak yang dilahirkan di luar nikah mut’ah dan orang yang mengingkari nikah
mut’ah ia kafir dan murtad.” Di nukil oleh Al Qummy dalam bukunya “Maa laa
Yudhrikuhul Faqih”, dari Abdullah bin Sinan dari Abu Abdillah ia berkata: “Sesungguhnya Allah subhanahu wata’ala
mengharamkan atas orang-orang Syiah segala minuman yang memabukkan dan
mengganntikannya dengan mut’ah.”
Syiah Rafidah tidak membatasi jumlah tertentu dalam
mut’ah, dikatakan dalam buku “Furu’ul Kaafi” Ath Tahdib, dan Al Istibshar dari
Zurarah dari Abu Abdillah ia berkata: “Saya
bertanya kepadanya tentang jumlah wanita yang di mut’ah apakah hanya empat
wanita? Ia menjawab nikahilah (dengan mut’ah) dari wanita meskipun itu 1000
wanita karena mereka (wanita-wanita ini) di kontrak.”
Inilah salah satu ajaran Syiah yang mengharuskannya
berbeda dengan Ahlus Sunnah waljama’ah. Lalu bagaimana tinjauan syariat
mengenai nikah mut’ah?
Pada awalnya nikah mut’ah pernah di halalkan namun
setelah itu kembali di haramkan oleh Nabi salallahu’alaihi
wasallam. Hal ini di dukung dengan dalil-dalil dari hadits Nabi salallahu’alaihi wasallam dan juga
kesepakatan ulama dari empat mazhab, diantaranya adalah:
Dari Sabrah bin Ma’bad Al Juhaini radhiallahu’anhu ia berkata: “Kami bersama Rasulullah salallahu’alaihi
wasallam dalam suatu perjalanan haji. Pada suatu saat kami berjalan bersama
sepupu kami dan bertemu dengan seorang wanita. Jiwa muda kami mengagumi wanita
tersebut, sementara dia mengagumi selimut (selendang) yang di pakai oleh
saudaraku itu. Kemudian wanita tadi berkata: “Ada selimut seperti selimut”.
Akhirnya aku menikahinya dan tidur bersamanya satu malam. Keesokan harinya aku
pergi ke masjidil haram, tiba-tiba aku melihat Rasulullah salallahu’alaihi
wasallam sedang berpidato diantara pintu ka’bah dan hijr Ismail. Beliau
bersabda: “Wahai sekalian manusia aku pernah mengizinkan kepada kalian untuk
melakukan nikah mut’ah. Maka sekarang siapa yang memiliki istri dengan cara
nikah mut’ah, haruslah ia menceraikannya dan segala sesuatu yang telah kalian
berikan padanya janganlah kalian ambil lagi. Karena Allah azza wajalla telah
mengharamkan nikah mut’ah sampai hari kiamat.” (HR. Muslim)
Kemudian dari Ali bin Abu Thalib radhiallahu’anhu, ia berkata kepada Ibnu
Abbas bahwa Nabi salallahu’alaihi
wasallam melarang nikah mut’ah dan memakan daging keledai jinak pada waktu
perang khaibar.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Adapun perkataan ulama mengenai nikah mut’ah diantaranya:
1. Dari
mazhab Hanafi, Imam Syamsuddin Al Sarkhasi dalam kitabnya Al Mabsuth (V/152) mengatakan: “Nikah
mut’ah ini bathil menurut mazhab kami.”
2.
Dari Mazhab Maliki,
Imam Ibnu Rusyd dalam kitabnya Bidayatu
Mujtahid wa Nihaya Al Muqtashid (IV/325-334) mengatakan: “Hadits-hadits yang mengaharamkan nikah
mut’ah mencapai peringkat mutawatir”. Sementara itu Imam Malik bin Anas
dalam kitabnya Al Mudawwanah Al Kubra
(II/130) mengatakan: “Apabila seorang
lelaki menikahi wanita dengan di batasi waktu, maka nikahnya bathil.”
3.
Dari mazhab Syafi’I,
Imam Syafi’I dalam kitabnya Al Umn
(V/85) mengatakan: “Nikah mut’ah yang
dilarang itu adalah semua nikah yang di batasi dengan waktu, baik dalam jangka
pendek maupun jangka panjang, seperti ucapan seorang lelaki pada perempuan:
“Aku nikahi kamu selama satu hari, sepuluh hari atau satu bulan”. Sementara
itu imam Nawawi dalam kitabnya Al Majmu
(XVII/356) mengatakan: “Nikah mut’ah
tidak di perbolehkan, karena pernikahan itu pada dasarnya adalah suatu akad
yang bersifat mutlak, maka tidak sah apabila dibatasi dengan waktu.”
4. Dari
mazhab Hambali, Imam Ibnu Qudamah dalam kitabnya Al Mughni (X/46) mengatakan: “Nikah
mut’ah ini adalah nikah yang bathil”. Ibnu Qudamah juga menukil pendapat
imam Ahmad bin Hambal yang menegaskan bahwa nikah mut’ah haram.”
Berdasarkan ini maka secara tegas Ahlus Sunnah
berpendapat bahwa nikah mut’ah adalah haram. Dan kami nasehatkan kepada kaum
muslimin untuk berhati-hati dengan propaganda Syi’ah yang berkedok dengan nama
“wajib mengikuti mazhab Ahlul Bait”, sementara pada hakekatnya Ahlul Bait
berlepas diri dari mereka.
Sumber:
Buletin Al Fikrah No. 05 Thn. IX/22 Shafar 1429 H