pasang iklan
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

Tuesday 3 February 2015

Nikah Mut’ah adalah Aqidah Syi’ah


Nikah mut’ah ialah perkawinan antara seorang lelaki dan wanita dengan maskawin tertentu untuk jangka waktu terbatas dan berakhir dengan habisnya masa tersebut, dimana suami tidak berkewajiban memberi nafkah dan tempat tinggal kepada istri serta tidak menimbulkan pewarisan antara keduanya serta tidak mempersyaratkan adanya saksi dan wali.
Nikah mut’ah dalam ajaran Syi’ah memiliki keistimewaan yang besar. Dikatakan dalam buku “Minhajus Shadiqin” yang di tulis oleh Fatullah Al Kasyani, dari As Shadiq bahwasannya, “Mut’ah adalah bagian dari agamaku, dan agama nenek moyangku, dan barangsiapa yang mengamalkannya berarti  ia mengamalkan agama kami, dan barangsiapa yang mengingkarinya berarti ia mengingkari agama kami, bahkan ia bisa dianggap beragama selain dengan agama kami dan anak yang dilahirkan dari hasil perkawinan mut’ah lebih utama daripada anak yang dilahirkan di luar nikah mut’ah dan orang yang mengingkari nikah mut’ah ia kafir dan murtad.” Di nukil oleh Al Qummy dalam bukunya “Maa laa Yudhrikuhul Faqih”, dari Abdullah bin Sinan dari Abu Abdillah ia berkata: “Sesungguhnya Allah subhanahu wata’ala mengharamkan atas orang-orang Syiah segala minuman yang memabukkan dan mengganntikannya dengan mut’ah.”
Syiah Rafidah tidak membatasi jumlah tertentu dalam mut’ah, dikatakan dalam buku “Furu’ul Kaafi” Ath Tahdib, dan Al Istibshar dari Zurarah dari Abu Abdillah ia berkata: “Saya bertanya kepadanya tentang jumlah wanita yang di mut’ah apakah hanya empat wanita? Ia menjawab nikahilah (dengan mut’ah) dari wanita meskipun itu 1000 wanita karena mereka (wanita-wanita ini) di kontrak.”
Inilah salah satu ajaran Syiah yang mengharuskannya berbeda dengan Ahlus Sunnah waljama’ah. Lalu bagaimana tinjauan syariat mengenai nikah mut’ah?
Pada awalnya nikah mut’ah pernah di halalkan namun setelah itu kembali di haramkan oleh Nabi salallahu’alaihi wasallam. Hal ini di dukung dengan dalil-dalil dari hadits Nabi salallahu’alaihi wasallam dan juga kesepakatan ulama dari empat mazhab, diantaranya adalah:
Dari Sabrah bin Ma’bad Al Juhaini radhiallahu’anhu ia berkata: “Kami bersama Rasulullah salallahu’alaihi wasallam dalam suatu perjalanan haji. Pada suatu saat kami berjalan bersama sepupu kami dan bertemu dengan seorang wanita. Jiwa muda kami mengagumi wanita tersebut, sementara dia mengagumi selimut (selendang) yang di pakai oleh saudaraku itu. Kemudian wanita tadi berkata: “Ada selimut seperti selimut”. Akhirnya aku menikahinya dan tidur bersamanya satu malam. Keesokan harinya aku pergi ke masjidil haram, tiba-tiba aku melihat Rasulullah salallahu’alaihi wasallam sedang berpidato diantara pintu ka’bah dan hijr Ismail. Beliau bersabda: “Wahai sekalian manusia aku pernah mengizinkan kepada kalian untuk melakukan nikah mut’ah. Maka sekarang siapa yang memiliki istri dengan cara nikah mut’ah, haruslah ia menceraikannya dan segala sesuatu yang telah kalian berikan padanya janganlah kalian ambil lagi. Karena Allah azza wajalla telah mengharamkan nikah mut’ah sampai hari kiamat.” (HR. Muslim)
Kemudian dari Ali bin Abu Thalib radhiallahu’anhu, ia berkata kepada Ibnu Abbas bahwa Nabi salallahu’alaihi wasallam melarang nikah mut’ah dan memakan daging keledai jinak pada waktu perang khaibar.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Adapun perkataan ulama mengenai nikah mut’ah diantaranya:
1.      Dari mazhab Hanafi, Imam Syamsuddin Al Sarkhasi dalam kitabnya Al Mabsuth (V/152) mengatakan: “Nikah mut’ah ini bathil menurut mazhab kami.”
2.      Dari Mazhab Maliki, Imam Ibnu Rusyd dalam kitabnya Bidayatu Mujtahid wa Nihaya Al Muqtashid (IV/325-334) mengatakan: “Hadits-hadits yang mengaharamkan nikah mut’ah mencapai peringkat mutawatir”. Sementara itu Imam Malik bin Anas dalam kitabnya Al Mudawwanah Al Kubra (II/130) mengatakan: “Apabila seorang lelaki menikahi wanita dengan di batasi waktu, maka nikahnya bathil.”
3.      Dari mazhab Syafi’I, Imam Syafi’I dalam kitabnya Al Umn (V/85) mengatakan: “Nikah mut’ah yang dilarang itu adalah semua nikah yang di batasi dengan waktu, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, seperti ucapan seorang lelaki pada perempuan: “Aku nikahi kamu selama satu hari, sepuluh hari atau satu bulan”. Sementara itu imam Nawawi dalam kitabnya Al Majmu (XVII/356) mengatakan: “Nikah mut’ah tidak di perbolehkan, karena pernikahan itu pada dasarnya adalah suatu akad yang bersifat mutlak, maka tidak sah apabila dibatasi dengan waktu.”
4.      Dari mazhab Hambali, Imam Ibnu Qudamah dalam kitabnya Al Mughni (X/46) mengatakan: “Nikah mut’ah ini adalah nikah yang bathil”. Ibnu Qudamah juga menukil pendapat imam Ahmad bin Hambal yang menegaskan bahwa nikah mut’ah haram.”
Berdasarkan ini maka secara tegas Ahlus Sunnah berpendapat bahwa nikah mut’ah adalah haram. Dan kami nasehatkan kepada kaum muslimin untuk berhati-hati dengan propaganda Syi’ah yang berkedok dengan nama “wajib mengikuti mazhab Ahlul Bait”, sementara pada hakekatnya Ahlul Bait berlepas diri dari mereka.

Sumber: Buletin Al Fikrah No. 05 Thn. IX/22 Shafar 1429 H

0 comments:

Post a Comment

Silahkan beri komentar; terimah kasih atas kunjungannya...

 

Area Backlink

Mau bertukar link? Masukan Link Blogku ke blog kamu Kemudian masukan nama/web dan url blog kamu pada kotak yang tersedia di bawah, lalu tekan enter. Active Search Results
Klik tanda SUKA pada Cahaya Islam, untuk mengetahui postingan terbaru blog ini dari facebookmu

Kunjungan Ke

Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | coupon codes