Niat
adalah dorongan hati seiring dengan futuh (pembukaan) dari Allah ‘azza wajalla dan niat tempatnya dihati. Karena
niat itu tempatnya dihati maka niat tidak diharuskan untuk dilafazkan.
Sebagaimana yang sering dilakukan oleh sebagian kaum muslimin, yaitu ketika
mereka melakukan ibadah, misalnya seperti shalat, mereka melafazkan niat-niat
mereka dan tentunya ini menyalahi sunnah.
Suatu
ketika Ibnu Umar radhiallahu’anhu
mendengar seorang yang berucap di awal
ihramya: “Ya Allah sesungguhnya saya akan
menunaikan haji dan umrah.” Ibnu Umar bertanya: “Apakah kamu sedang mengajari orang-orang? Bukankah Allah mengetahui
apa yang ada dalam dirimu?”.
Yang
demikian itu karena niat adalah urusan hati. Dia adalah kehendak seseorang,
sehingga niat tidaklah diwajibkan untuk dilafalkan dalam ibadah.
Dalam
beribadah kepada Allah subhanahu wata’ala
kita diwajibkan untuk senantiasa memperbaharui niat kita karena Allah ‘azza
wajalla. Kadang-kadang ini mudah untuk dicapai namun kebanyakan sulitnya.
Seseorang yang hatinya di penuhi dengan urusan Din (agama) akan mendapatkan
kemudahan dalam menghadirkan niat untuk beribadah karena Allah. Sebaliknya
orang yang hatinya di penuhi oleh urusan dunia dan berbagai macam
kesenangannya, akan mendapatkan kesulitan yang besar untuk mencapainya. Dia
harus bersusah payah untuk menghadirkan niat yang ikhlas Karena Allah. Ini
disebabkan karena hati manusia senantiasa condong kepada apa yang
menyibukkannya.
Niat
adalah suatu yang sangat penting dalam beribadah kepada Allah ‘azza wajalla.
Bahkan semua amalan tergantung dari niat dan seseorang memperoleh imbalan
sesuai dengan yang diniatkannya. Sebagaimana yang diriwayatkan dari sahabat Umar
bin Khattab radhiallahu’anhu bahwa
Rasulullah salallahu’alaihi wa sallam
bersabda: “Sesungguhnya Amalan itu
tergantung dari niatnya dan seseorang memperoleh seseuai dengan apa yang
diniatkannya…(HR.Muslim)
Hadits
ini menunjukan bahwa pahala seseorang itu tergantung dari niatnya. Adapun imam
syafi’i menyebutkan bahwa: “Hadits ini
merupakan sepertiga dari ilmu”.
Tapi
harus diingat bahwa niat yang baik tidak
akan merubah kemaksiatan dari hakekatnya. Karena yang dimaksud dengan
hadits diatas adalah amalan-amalan yang baik yang sesuai dengan tuntunan Nabi salallahu’alaihi wasallam.
Ketaatan
itu bisa menjadi kemaksiatan karena niat yaitu ketika dia melakukannya karena riya, sum’ah dan semisalnya. Demikan
pula halnya perkara yang mubah bisa menjadi ketaatan atau kemaksiatan juga karena
niat.
Pada
dasarnya keabsahan suatu ketaatan itu terikat kepada niat demikian halnya
dengan pelipat gandaan pahalanya. Sebagian salaf berkata: “Betapa banyak amalan besar menjadi kecil karena niat dan betapa banyak
amalan kecil menjadi besar karena niat”. Sehingga Yahya bin Katsir
mengatakan: “Pelajarilah niat!
Sesunguhnya niat itu lebih dapat menyampaikan kepada tujuan dari pada amal”.
Kepada saudaraku kaum muslimin mari kita senantiasa memperbaharui niat kita masing-masing.
0 comments:
Post a Comment
Silahkan beri komentar; terimah kasih atas kunjungannya...