pasang iklan
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM
Showing posts with label Tanya Jawab. Show all posts
Showing posts with label Tanya Jawab. Show all posts

Wednesday 11 March 2015

Hukum Wanita Yang Berpakaian Tetapi Telanjang



Apakah boleh kita meyakini kafirnya wanita yang berpakaian tapi telanjang? Sebagaimana sabda Nabi salallahu’alaihi wasallam: “Tidak akan masuk syurga dan tidak akan mencium baunya…”
Jawab: (Wanita tersebut kufur) jika meyakini kebolehannya (memakai pakaian tetapi telanjang) setelah di jelaskan kepadanya dan dia mengetahui hukum hal tersebut. Barangsiapa yang tidak menghalalkannya akan tetapi tetap keluar rumah dengan ‘berpakaian tetapi telanjang’ dia tidak kafir, akan tetapi dia telah melakukan dosa besar. Dia wajib menanggalkan (pakaian seperti itu) dan bertaubat kepada Allah dari perbuatannya, semoga Allah mengampuninya. Jika dia mati dalam keadaan seperti itu sebelum dia bertaubat maka dia berada di bawah kehendak Allah, seperti halnya pelaku maksiat yang lain, sebagaimana firman Allah: 
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, Maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. An Nisa: 48)

[Fatawa li al Lajnah ad Daimah II/27]

Tuesday 3 March 2015

Hukum Merobek-robek Lembaran Al Qur’an



Bagaimana hukum  agama tentang orang yang merobek-robek lembaran Al Qur’an; dan orang lain yang ada di sisinya telah mengingatkannya bahwa itu adalah Al Qur’an? Bagaimana pula dengan orang yang mematikan api rokoknya dengan menindiskannya ke Al Qur’an?
Jawab: Kedua pelaku tersebut kafir, karena telah mempermainkan kitab Allah subhanahu wata’ala dan menghinanya. Mereka dihukum sebagai orang yang berolok-olok (kepada agama), sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala:
" Katakanlah: "Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok? Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman.” (QS. At Taubah: 65-66)

[Fatawa li al Lajnah ad Daimah II/20]

Sunday 15 February 2015

Hukum Meninggalkan Shalat, Mengolok-ngolok Agama dan Sunnah



Apa hukumnya meninggalkan shalat, tidak berpuasa di siang hari bulan ramadhan, mengolok-ngolok agama dan sunnah seperti jenggot dan celana di atas mata kaki? Mohon di jelaskan juga apa yang wajib kami lakukan kepada mereka yang melakukannya, baik itu saudara, ayah, atau teman?
Jawab: Orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja, jika meninggalkan karena meningkari (kewajiban)nya, maka dia kafir menurut ijmak (kesepakatan) ulama. Jika dia meninggalkannya karena malas, maka dia kafir menurut pendapat yang shahih dari dua pendapat ulama. Sebagaimana sabda Nabi salallahu’alaihi wasallam:
“Perjanjian antara kami dengan mereka adalah shalat. Barangsiapa yang meninggalkannya sungguh dia telah kafir.” Di keluarkan oleh imam Ahmad dan Ashabus Sunan dengan sanad yang shahih dari Buraidah bin Al Hashib.
Dan sabda Nabi salallahu’alaihi wasallam:
“Sesungguhnya (pemisah) antara seseorang dengan kesyirikan dan kekafiran adalah meninggalkan shalat.” Di keluarkan oleh imam Muslim dalam shahihnya, hadits no. 116. Dan banyak lagi dalil-dalil yang serupa.
Barangsiapa yang mengolok-ngolok agama Islam atau sunnah yang telah shahih dari Rasulullah salallahu’alaihi wasallam, seperti memelihara jenggot, mengenakan pakaian di atas mata kaki atau setengah betis (bagi laki-laki) padahal dia mengetahui sahnya syariat itu, maka dia kafir.
Barangsiapa yang mempermainkan seseorang muslim yang komitmen menjalankan Islam dan mengolok-ngoloknya, maka dia kafir, sebagaimana firman Allah subhanahu wata’ala:
“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan manjawab, "Sesungguhnya Kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja." Katakanlah: "Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?". Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. jika Kami memaafkan segolongan kamu (lantaran mereka taubat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa.” (QS. At Taubah: 65-66)

[Fatwa li al Lajnah ad Daimah II/44]

Saturday 7 February 2015

Nikah Mut’ah Dalam Islam

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Saya ingin menanyakan tentang nikah mut’ah dalam Islam. Saya janda dengan dua orang anak yang ditinggal suami karena kematian. Saat ini saya menjalani pernikahan mut’ah dengan seorang laki-laki sudah dua tahun lamanya. Kami menikah dengan alasan tidak mau tidak dijalan Allah, saat kami menikah tidak ada siapapun yang tahu tentang pernikahan kami. Waktu terus berlanjut, tapi setiap saya menanyakannya tentang kapan pastinya pernikahan yang sesungguhnya akan dijalankan, pasangan saya selalu bicara dua tahun lagi. Saya mendesak banget kare keluarga juga sudah bertanya dan saya memikirkan perkembangan anak-anak saya nanti. Dia menunda pernikahan yang sebenarnya dengan alas an ada hal-hal yang harus dia buktikan dahulu (pekerjaan) kepada keluarganya. Padahal anak-anak saya sudah merasa bahwa dia adalah bapak mereka dan saya meyakini kalau rezeki tidak akan ke mana. Terus terang pengetahuan saya tentang aturan pernikahan memang tidak banyak, malah dahulu dia yang menyarankan untuk dilakukannya nikah mut’ah antara kami. Yang menjadi pertanyaan saya adalah:
1. Apa dan bagaimana aturan/hadis tentang nikah mut’ah dalam Islam?
2. Sampai kapan nikah mut’ah itu berlaku?
3. Apa yang bisa saya jadikan alas an kuat kepada pasangan agar dapat segera melangsungkan pernikahan sesungguhnya?
Demikian, dan terimakasih atas bimbingannya
Wassalam,
Khadijah.
Jawab:
Alhamdulillah, was-shalatu was-salamu ‘ala rasulillah, la haula wala quwwata illa billah, waba’du.
Ibu Khadijah yang budiman, Saya mengapresiasi usaha ibu yang selalu mencari kebenaran, termasuk dalam hal status perkawinan ibu. Perlu diketahui, bahwa kebenaran menurut ajaran Islam adalah jika sesuai dengan firman Allah SWT dalam al-Quran al-karim dan sesuai dengan petunjuk Rasulullah SAW dalam sunnahnya, sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadis yang artinya :
“Aku tinggalkan kepada kalian dua hal yang kalian tidak akan tersesat jika berpegang teguh kepada keduanya: kitab Allah (al-quran) dan sunnah rasulNya” .
Dari hadis tersebut dapat diketahui bahwa ajaran yang tidak sesuai dengan kitabullah dan sunnah rasulNya adalah ajaran yang tersesat jalan, termasuk dalam hal pernikahan.
Dalam ajaran Islam, maksud utama dari pernikahan itu selain sebagai ibadah adalah untuk membangun ikatan keluarga yang langgeng (mitsaqan ghalidzha) yang dipenuhi dengan sinar kedamaian (sakinah), saling cinta (mawaddah), dan saling kasih-sayang (rahmah). Dengan begitu, ikatan pernikahan yang tidak ditujukan untuk membangun rumah tangga secara langgeng, tidaklah sesuai dengan tujuan ajaran Islam.
Di samping itu, jika kita tengok sejarah awal Islam, di mana ketika itu masyarakat jahiliyah tidak memberikan kepada wanita hak-haknya sebagaimana mestinya karena wanita ketika itu lebih dianggap sebagai barang yang bisa ditukar seenaknya, dapat kita ketahui betapa ajaran Islam menginginkan agar para wanita dapat diberikan hak-haknya sebagaimana mestinya. Oleh karenanya, dengan syariat nikah menurut Islam ini, ajaran Islam ingin melindungi para wanita untuk mendapatkan hak-haknya. Para wanita tidak dapat dipertukarkan lagi sebagaimana zaman jahiliyah. Para wanita selain harus menjalankan kewajibannya sebagai istri, juga mempunyai hak untuk diperlakukan secara baik (mu’asyarah bil ma’ruf), dan ketika suami meninggal ia juga dapat bagian dari harta warisan.
Demikian tujuan nikah menurut ajaran Islam. Sedangkan nikah mut’ah adalah nikah kontrak dalam jangka waktu tertentu, sehingga apabila waktunya telah habis maka dengan sendirinya nikah tersebut bubar tanpa adanya talak. Dalam nikah mut’ah si wanita yang menjadi istri juga tidak mempunyai hak waris jika si suami meninggal. Dengan begitu, tujuan nikah mut’ah ini tidak sesuai dengan tujuan nikah menurut ajaran Islam sebagaimana disebutkan di atas, dan dalam nikah mut’ah ini pihak wanita teramat sangat dirugikan. Oleh karenanya nikah mut’ah ini dilarang oleh Islam.
Dalam hal ini syaikh al-Bakri dalam kitabnya I’anah at-Thalibin menyatakan yang artinya:
“Kesimpulannya, nikah mut’ah ini haram hukumnya. Nikah ini disebut nikah mut’ah karena tujuannya adalah untuk mencari kesenangan belaka, tidak untuk membangun rumah tangga yang melahirkan anak dan juga saling mewarisi, yang keduanya merupakan tujuan utama dari ikatan pernikahan dan menimbulkan konsekwensi langgengnya pernikahan”.
Memang benar bahwa nikah mut’ah ini pernah dibolehkan ketika awal Islam, tapi kemudian diharamkan, sebagaimana dinyatakan oleh al-Imam an-Nawawi dalam kitabnya Syarh Shahih Muslim yang artinya:
“yang benar dalam masalah nikah mut’ah ini adalah bahwa pernah dibolehkan dan kemudian diharamkan sebanyak dua kali; yakni dibolehkan sebelum perang Khaibar, tapi kemudian diharamkan ketika perang Khaibar. Kemudian dibolehkan selama tiga hari ketika fathu Makkah, atau hari perang Authas, kemudian setelah itu diharamkan untuk selamanya sampai hari kiamat”.
Alasan kenapa ketika itu dibolehkan melaksanakan nikah mut’ah, karena ketika itu dalam keadaan perang yang jauh dari istri, sehingga para sahabat yang ikut perang merasa sangat berat. Dan lagi pada masa itu masih dalam masa peralihan dari kebiasaan zaman jahiliyah. Jadi wajar jika Allah memberikan keringanan (rukhshah) bagi para sahabat ketika itu.
Ada pendapat yang membolehkan nikah mut’ah ini berdasarkan fatwa sahabat Ibnu Abbas r.a., padahal fatwa tersebut telah direvisi oleh Ibnu Abbas sendiri, sebagaimana disebutkan dalam kitab fiqh as-sunnah yang artinya:
Diriwayatkan dari beberapa sahabat dan beberapa tabi’in bahwa nikah mut’ah hukumnya boleh, dan yang paling populer pendapat ini dinisbahkan kepada sahabat Ibnu Abbas r.a., dan dalam kitab Tahzhib as-Sunan dikatakan: sedangkan Ibnu Abbas membolehkan nikah mut’ah ini tidaklah secara mutlak, akan tetapi hanya ketika dalam keadaan dharurat. Akan tetapi ketika banyak yang melakukannya dengan tanpa mempertimbangkan kedharuratannya, maka ia merefisi pendapatnya tersebut. Ia berkata: “inna lillahi wainna ilaihi raji’un, demi Allah saya tidak memfatwakan seperti itu (hanya untuk kesenangan belaka), tidak seperti itu yang saya inginkan. Saya tidak menghalalkan nikah mut’ah kecuali ketika dalam keadaan dharurat, sebagaimana halalnya bangkai, darah dan daging babi ketika dalam keadaan dharurat, yang asalnya tidak halal kecuali bagi orang yang kepepet dalam keadaan dharurat. Nikah mut’ah itu sama seperti bangkai, darah, dan daging babi, yang awalnya haram hukumnya, tapi ketika dalam keadaan dharurat maka hukumnya menjadi boleh”
Namun demikian, pendapat yang menghalalkan nikah mut’ah tersebut tidaklah kuat untuk dijadikan dasar hukum. Sedangkan pendapat yang mengharamkannya dasar hukumnya sangat kuat, sebab dilandaskan di atas hadis shahih yang artinya :
“Diriwayatkan bahwa sahabat Ali r.a. berkata: Rasulullah s.a.w. melarang nikah mut’ah ketika perang Khaibar” Hadis dianggap shahih oleh imam Bukhari dan Muslim.
Hadis lain menyatakan:
“Diriwayatkan bahwa sahabat Salamah bin al-Akwa’ r.a. berkata: Rasulullah s.a.w. memperbolehkan nikah mut’ah selama tiga hari pada tahun Authas (ketika ditundukkannya Makkah, fathu Makkah) kemudian (setelah itu) melarangnya” HR. Muslim.
Di hadis lain disebutkan:
“Diriwayatkan dari Rabi’ bin Sabrah r.a. sesungguhnya rasulullah s.a.w. bersabda: “wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku pernah mengizinkan nikah mut’ah, dan sesungguhnya Allah telah mengharamkannya sampai hari kiamat, oleh karenanya barangsiapa yang masih mempunyai ikatan mut’ah maka segera lepaskanlah, dan jangan kalian ambil apa yang telah kalian berikan kepada wanita yang kalian mut’ah” HR. Muslim, Abu Dawud, an-Nasai, Ibnu Majah, Ahmad, dan Ibnu Hibban.
Hadis-hadis tersebut cukup kuat untuk dijadikan pijakan menetapkan hukum haram bagi nikah mut’ah, dan sangat terang benderang menjelaskan bahwa Islam melarang nikah mut’ah. Oleh karena itu, jika saat ini ada yang melaksanakan nikah mut’ah maka ia telah dianggap melanggar ajaran Islam dan secara otomatis nikahnya tersebut batal, sebagaimana disebutkan oleh al-Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim:
“Para ulama sepakat (ijma’) bahwa jika saat ini ada yang melaksanakan nikah mut’ah maka hukumnya tidak sah (batal), baik sebelum atau sesudah dilakukan hubungan badan”
Dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa nikah mut’ah pernah dibolehkan ketika zaman Rasul s.a.w. masih hidup, tapi kemudian diharamkan oleh rasulullah s.a.w. sampai hari kiamat. Jika ada yang melaksanakan nikah mut’ah pada masa sekarang, maka nikah mut’ah tersebut hukumnya batal.
Dengan begitu, kiranya pertanyaan ibu sudah terjawab semuanya. Sebenarnya melalui pertanyaan yang ibu ajukan, saya menangkap kesan bahwa ibu sudah tidak yakin dengan sahnya nikah mut’ah yang ibu lakukan. Berkali-kali ibu menyebutkan ingin “nikah sesungguhnya”. Apalagi pernikahan ibu dilakukan “dengan tanpa diketahui siapapun”. Sedangkan dalam Islam pernikahan selain harus ada wali juga harus ada yang menjadi saksi, sehingga tetap harus ada orang yang menyaksikan. Selain itu, ajaran Islam juga sangat menganjurkan adanya walimah (semacam pesta). Tujuannya, agar semakin banyak orang yang menjadi saksi bahwa kedua orang tersebut telah menjalin ikatan pernikahan. Saksi ini penting, karena setelah akad nikah selesai kedua mempelai, yakni suami dan istri, saling mempunyai hak-hak perdata, misalnya dalam hal warisan. Jika ada sengketa di kemudian hari, misalnya, maka kedudukan istri untuk menuntut haknya akan semakin kuat, karena ada banyak saksi. Ketentuan ini tentu tidak berlaku terhadap nikah mut’ah, karena dalam nikah mut’ah ketika jangka waktu pernikahan telah habis, maka tanpa talakpun secara otomatis tidak ada lagi hubungan antara kedua orang tersebut. Dan jangan lupa, dalam nikah mut’ah istri tidak berhak mendapat warisan dari suami, ketika, misalnya, suaminya tersebut meninggal. Tegasnya, dengan nikah mut’ah, para wanita yang menjadi istri kedudukannya sangatlah lemah. Oleh karenanya Islam melarang nikah mut’ah tersebut.
Apabila kita renungkan dengan hati yang jernih, betapa ajaran Islam itu sangat indah, jika dilaksanakan dengan tulus ikhlas, sesuai dengan kehendak Allah SWT. Sekarang tinggal kemauan dan kesungguhan dari kita, umat manusia, untuk tunduk dan mematuhi sabda rasulullah s.a.w. tersebut. Kemuliaan di sisi Allah SWT adalah bagi orang yang rela mendahulukan dan tunduk kepada aturan-aturanNya sebagaimana disampaikan oleh utusanNya. Oleh karenanya, saya menyarankan kepada ibu, selagi masih ada kesempatan segeralah menyatakan penyesalan secara bersungguh-sungguh dengan bertaubat, dan mulailah dengan ikatan pernikahan yang diridhai oleh Allah SWT. Yakinlah, bahwa ampunan Allah itu maha luas, dan tetapkan hati bahwa Allah ‘azza wajalla akan senantiasa bersama orang yang tunduk terhadap aturan-aturanNya.Wallahu a’lam bi as-shawab (Oleh Drs. H. Sholahudin al Aiyub, M.Sc)

Friday 30 January 2015

Mengumandangkan Adzan Sebelum Masuk Waktu



Apa hukum mengumandangkan adzan sebelum masuk waktu shalat, dan duduknya muadzin setelah adzan, serta bagaimana pendapat yang ada.
Jawab: Tidak boleh mengumandangkan adzan sebelum masuk waktu shalat, kecuali adzan subuh setelah pertengahan malam. Ini sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud radhiallahu’anhu bahwa Nabi salallahu’alaihi wasallam bersabda:
“Janganlah salah seorang diantara kalian menghentikan sahurnya karena adzan Bilal, seseungguhnya dia mengumandangkan adzan –atau dengan ungkapan lain- menyeru pada malam hari untuk mengingatkan orang yang tengah shalat (akan dekatnya waktu subuh) dan membangunkan yang masih tidur.” (HR. Jama’ah selain Tirmidzi)
Dari Samurah bin Jundab dia berkata bahwa Rasulullah salallahu’alaihi wasallam bersabda:
“Janganlah kalian menghentikan sahur kalian karena mendengar adzan Bilal, atau warna putih yang memanjang di ufuk, sampai menyebar cahayanya.” (HR. Muslim)
Menurut riwayat lain, “Janganlah kalian meninggalkan sahur karena mendengar adzan Bilal dan cahaya ufuk yang memanjang, (yang benar) sampai cahaya fajar menyebar di ufuk.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi)
Diriwayatkan dari Zaid bin Harits as Shada’i yang berkata: “Ketika pertama kali adzan subuh, Nabi salallahu’alaihi wasallam menyuruhku. Maka aku bertanya: “Apakah segera dilakukan wahai Rasulullah? Beliau memandang kearah Timur dan berkata: “Jangan samapai terbit fajar.”…Ketika para sahabat berdatangan dan Nabi salallahu’alaihi wasallam telah berwudhu, Bilal ingin mengiqamati, maka Nabi salallahu’alaihi wasallam berkata: “Sesungguhnya saudaramu as Shada’i telah mengumandangkan adzan, maka dialah yang iqamat.” Maka akupun iqamat.” (HR. Abu Daud dan at Tirmidzi)
Dianjurkan untuk tidak mengumandangkan adzan sebelum waktu fajar, kecuali bersamanya ada muadzin lain yang akan adzan manakala masuk waktu subuh. Ini sebagaimana yang dilakukan Bilal dan Ibnu Ummi Maktum, meneladani Rasulullah salallahu’alaihi wasallam. Karena jika tidak demikian, maka tujuan adzan untuk memberitahukan masuk waktu menjadi tidak tercapai. Akan tetapi, jika ada dua muadzin, maka dapat tercapai tujuan pemberitahuan waktu.
Ada pendapat lain bahwa tidak boleh adzan sebelum terbit fajar (maksudnya adzan subuh). Hal ini berdasarkan riwayat Ibnu Umar radhiallahu’anhu bahwa Bilal radhiallahu’anhu pernah adzan sebelum subuh, maka Nabi salallahu’alaihi wasllam memberitahukannya untuk mengulanginya.
Dari Bilal radhiallahu’anhu bahwa Rasulullah salallahu’alaihi wasallam bersabda kepadanya:
“Janganlah engkau mengumandangkan adzan sampai jelas bagimu subuh seperti ini. Beliau lalu menjulurkan/mengulurkan tangannya melebar.” (Keduanya di riwayatkan oleh Abu Daud).
Dari hadits Anas radhiallahu’anhu di dalam Al Bukhari dan lainnya, dia berkata bahwa: “Jika Nabi salallahu’alaihi wasallam bersama kami memerangi suatu kaum, beliau tidak segera memeranginya sampai dating waktu subuh untuk mengamati. Jika terdengar suara adzan dari kaum tersebut, maka tidak jadi diperangi. Jika tidak terdengar adzan, maka beliau memeranginya. Beliau salallahu’alaihi wasallam menjadikan Syi’ar (alamat) negeri Islam dengan adzan ketika terbit fajar.”
Sekelompok ahli hadits berkata bahwa jika ada dua muadzin, yang adzan sebelum terbit fajar dan lainnya sesudah fajar, maka tidak mengapa. Ini karena adzan sebelum terbit fajar belum menyampaikan maksud pemberitahuan waktu, sehingga tidak boleh (mencukupkan dengannya), sebagaiana halnya shalat (sebelum waktu). Kecuali jika terdapat dua muadzin; karena dapat mencapai tujuan pemberitahuan waktu yaitu dengan adzan salah seorang dari keduanya.
Dianjurkan bagi muadzin untuk duduk sejenak (beberapa saat) setelah adzan shalat (fajar), seperti duduk singkat pada waktu setelah adzan (maghrib), lalu mengumandangkan iqamat shalat. Ini berdasarkan hadits Ubay bin Kaab secara marfu’:
“Wahai Bilal jadikan antara adzan dan iqamatmu senggang (sebatas) orang sedang makan menyelesaikan makannya dengan perlahan dan (orang yang berhajat) menyelesaikan hajatnya dengan perlahan.” (HR. Abdullah bin Ahmad)
Dan dari Jabir radhiallahu’anhu bahwa Nabi salallahu’alaihi wasallam bersabada kepada Bilal radhiallahu’anhu:
“Jadikanlah antara adzan dan iqamatmu waktu sekedar orang yang makan menyelesaikan makannya dan orang yang minum menyelesaikan minumnya dan orang yang ingin buang hajat menyelesaikan hajatnya.” (HR. Abu Daud dan At Tirmidzi). [Majalah Fatawa. Hal. 23-25. Vol. 06. Th. II. 1425H. 2004M.]

 

Area Backlink

Mau bertukar link? Masukan Link Blogku ke blog kamu Kemudian masukan nama/web dan url blog kamu pada kotak yang tersedia di bawah, lalu tekan enter. Active Search Results
Klik tanda SUKA pada Cahaya Islam, untuk mengetahui postingan terbaru blog ini dari facebookmu

Kunjungan Ke

Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | coupon codes