Sebagaimana Ahlussunah memiliki kitab hadits yang
berasal dari Nabi,maka sebagai mazhab, syiah harus memiliki kitab-kitab yang
berisi sabda para imam ahlulbait, mereka yang wajib diikuti bagi penganut
syiah. Lalu mengapa syiah mengemukakan dalil dari kitab-kitab hadits sunni
seperti shahih Bukhari dan Muslim? Mereka menggunakan hadits-hadits itu dalam
rangka mendebat ahlussunah, bukan karena beriman pada isi hadits itu. Lalu apa
saja rujukan syiah Imamiyah?
Syiah Imamiyah menganggap sabda 12 imam ahlulbait
sebagai ajaran yang wajib diikuti, ini sesuai dengan ajaran mereka yang
menganggap 12 imam ahlulbait sebagai penerus risalah Nabi. Sabda-sabda tersebut
tercantum dalam kitab-kitab syiah, namun sayangnya kitab-kitab itu tidak begitu dikenal atau
tepatnya sengaja tidak disebarluaskan oleh penganut syiah di Nusantara. memuat
sabda-sabda para imam ahlulbait. Tapi pembaca pasti penasaran untuk membaca
sabda ahlulbait, karena salah satu murid Imam Ja’far As Shadiq yang bernama
Zurarah mengatakan dalam sebuah riwayat dari Al Kisyi yang meriwayatkan dalam
bukunya Rijalul Kisyi dengan sanadnya dari Muhammad bin Ziyad bin Abi Umair
dari Ali bin Atiyyah bahwa Zurarah berkata: jika aku menceritakan seluruh yang
kudengar dari Abu Abdillah (Ja’far Asshadiq) maka laki-laki yang mendengar
perkataan Imam Ja’far pasti akan berdiri kemaluannya. Rijalul Kisyi hal 134
(kira-kira cerita apa yang dibawa oleh Imam Ja’far sehingga membuat kemaluan
berdiri?)
Sedangkan umat syiah mengatakan bahwa para imam
mendapat ajaran dari imam sebelumnya yang mendapatkan ajaran dari Nabi. Juga
umat syiah mengajarkan bahwa ajaran para imam harus diikuti. Tapi ternyata imam
yang satu ini suka mengajarkan cerita-cerita yang membuat kemaluan berdiri.
Jangan-jangan ajaran di atas sudah disensor. Lalu bagaimana hukum menyensor
ajaran ahlulbait yang wajib diikuti?
Literatur syiah yang dianggap sebagai literatur
utama yang memuat riwayat sabda ahlulbait ada 8 kitab utama, ulama mereka
menyebutnya dengan sebutan “al jawami’ ats tsamaniah” (kitab kumpulan yang
delapan) ini sesuai dengan yang tercantum dalam kitab Muftahul Kutub Al Arba’ah
jilid 1 hal 5 dan A’yanus Syiah jilid 1 hal 288. Dalam makalahnya yang berjudul
metode praktis untuk pendekatan sunnah syiah (dimuat dalam masalah Risalatus
Islam, juga dimuat bersama makalah lain yang diambil dari majalah yang sama
dengan judul “persatuan islam” hal 233, Muhammad Shaleh Al Ha’iri mengatakan:
kitab shahih imamiyah ada delapan, empat di antaranya di tulis oleh tiga orang
yang bernama Muhammad yang hidup terdahulu, tiga lagi ditulis oleh tiga orang
yang bernama Muhammad yang hidup setelah tiga yang pertama, yang kedelapan
ditulis oleh Al Husein Nuri Thabrasi.
Kitab pertama dan yang tershahih di antara
delapan kitab di atas adalah Al Kafi.
Ini seperti disebutkan dalam kitab Adz Dzari’ah jilid 17 hal 245, Mustadrak Al
Wasa’il jilid 3 ha 432, Wasa’il Asy Syi’ah jilid 20 hal 71. kitab-kitab di atas
menyebutkan bahwa kitab Al Kafi adalah kitab yang tershahih dari empat kitab
utama mereka, karena kitab Al Kafi ditulis pada era Ghaibah Sughra, yang mana
saat itu masih mungkin untuk mengecek validitas riwayat yang ada dalam kitab
itu.
Karena pada era ghaibah sughra imam mahdi masih
dapat dihubungi melalui “duta yang empat” yang dapat berhubungan dengan imam
mahdi dan menerima seperlima bagian dari harta syiah. Jumlah riwayat kitab Al Kafi
ada 16099, seperti diterangkan dalam kitab A’yanus Syi’ah jilid 1 hal 280.
Kitab Al Kafi dijelaskan oleh para Ulama Syi’ah, di antaranya adalah Al Majlisi
–penulis Biharul Anwar- yang menulis penjelasan kitab Al Kafi dan diberi judul
Mir’aatul Uquul.
Dalam kitabnya itu Majlisi juga menilai validitas
hadits Al Kafi, di antara hadits yang dianggapnya shahih adalah hadits yang
menerangkan bahwa Al Qur’an telah diubah. Berikut terjemahan nukilan dari
Mir’atul Uqul: Abu Abdillah berkata: “Al Qur’an yang diturunkan Jibril kepada
Muhammad adalah 17 ribu ayat”. Al Kafi jilid 2 hal 463. Muhammad Baqir Al Majlisi berkata bahwa
riwayat ini adalah muwathaqah. Lihat di Mir’atul Uqul jilid 2 hal 525.
Begitu juga ada kitab lain yang berisi penjelasan
riwayat Al Kafi, yaitu Syarh Jami’ yang ditulis oleh Al Mazindarani begitu juga
terdapat kitab yang berjudul As Syafi fi Syarhi Ushulil Kafi, ada lagi kitab yang judulnya At Ta’liqah Ala
Kitabil Kafi yang ditulis oleh Muhammad
Baqir Al Husaini, tapi hanya menjelaskan sampai Kitabul Hujjah saja.
Ada lagi kitab Al Hasyiyah Ala Ushulil Kafi karangan
Rafi’uddin Muhammad bin Haidar An Na’ini, juga Badruddin bin Ahmad Al Husaini
Al Amili. Kitab kedua adalah Man la Yahdhuruhul Faqih yang ditulis oleh
Muhammad bin Babawaih Al Qummi, yang juga dikenal dengan sebutan As Shaduq,
keterangan mengenai kitab ini adapat dilihat dalam kitab Raudhatul Jannat jilid
6 hal 230-237, A’yanus Syi’ah jilid 1 hal 280, juga dalam Muqaddimah kitab Man
La Yahdhuruhul Faqih, kitab ini memuat 176 bab, yang pertama adalah bab
Thaharah dan ditutup dengan bab Nawadir. Kitab ini memuat 9044 riwayat.
Disebutkan dalam pengantar bahwa penulisnya sengaja
menghapus sanad dari setiap riwayat agar tidak terlalu memperbanyak isi kitab,
juga disebutkan bahwa penulisnya mengambil riwayat untuk ditulis dalam buku ini dari kitab-kitab
yang terkenal dan dapat diandalkan, penulis hanya mencantumkan riwayat yang
diyakini validitasnya. Ditambah lagi dengan kitab Tahdzibul Ahkam, keterangan
mengenai kitab ini dapat ditemui dalam kitab mustadrakul wasa’il jilid 4 hal
719, kitab adzari’ah jilid 4 hal 504, juga dalam pengantar tahdzibul ahkam
sendiri. Kitab ini ditulis untuk memecahkan kontradiksi yang terjadi pada
banyak sekali riwayat syiah, kitab ini berisi
393 bab. Mengenai jumlah haditsnya akan kita bahas kemudian.
Begitu juga kitab Al Istibshar, yang terdiri dari
tiga jilid, dua jilid memuat bab ibadah, sementara pembahasan fiqih lainnya
dicantumkan pada jilid ketiga. Kitab ini memuat 393 bab, dalam kitabnya ini
penulis hanya mencantumkan 5511 hadits dan mengatakan: saya membatasinya supaya
tidak terjadi tambahan maupun pengurangan. Sementara dalam kitab Adz Dzari’ah
ila Tashanifisy Syi’ah disebutkan bahwa jumlah haditsnya ada 6531, berbeda
dengan penuturan penulisnya sendiri. Silahkan dirujuk ke Ad Dzari’ah jilid 2
hal 14, A’yanus Syi’ah jilid 1 hal 280, pengantar Al Istibshar, tulisan Hasan
Al Khurasan. Kedua kitab di atas – Tahdzibul Ahkam dan Al Istibshar- adalah
karya ulama tersohor syiah yang bergelar “ Syaikhut Tha’ifah” yaitu Abu Ja’far Muhamamd bin Hasan Al Thusi (wafat 360
H). Al Faidh Al Kasyani dalam Al Wafi jilid 1 hal 11 mengatakan: seluruh hukum
syar’i hari ini berporos pada empat kitab pokok, yang seluruh riwayat yang ada
di dalamnya dianggap shahih oleh penulisnya. Agho Barzak Tahrani – salah satu
mujtahid syiah masa kini- mengatakan dalam kitab Adz Dzari’ah jilid 2 hal
14 : empat kitab ditambah dengan kitab
kumpulan hadits adalah dasar bagi hukum syar’i
hingga saat ini. Pada abad 11 Hijriah para ulama syiah menyusun beberapa kitab,
empat di antaranya disebut oleh ulama syiah hari ini dengan : Al Majami’ Al
Arba’ah Al Mutaakhirah” (empat kitab kumpulan hadits belakangan); empat kitab
itu adalah: Al Wafi yang disusun oleh Muhamad bin Murtadha yang dikenal dengan
julukan Mulla Muhsin Al Faidh Al Kasyani –wafat tahun 1091 H– terdiri dari tiga
jilid tebal, dicetak di Iran, memuat 273 bab. Muhammad Bahrul Ulum mengatakan
bahwa kitab Al Wafi memuat 50 000 hadits (lihat footnoote kitab Lu’lu’atul
Bahrain hal 122) sementara Muhsin Al Amin mengatakan bahwa Al Wafi memuat 44244
hadits, bisa dilihat dalam A’yanus
Syi’ah. Lalu kitab Biharul Anwar Al Jami’ah Li Durar Akhbar Aimmatil At-har
karya Muhammad Baqir Al Majlisi –wafat tahun 1110 atau 1111 H-. Ulama syiah menyatakan
bahwa Biharul Anwar adalah kitab terbesar yang memuat hadits dari kitab-kitab
rujukan syiah, bisa dilihat keterangan
mengenai kitab ini dalam Adz Dzari’ah jilid 3 hal 27, juga A’yanus Syi’ah jilid
1 hal 293. selain itu juga ada kitab wasa’ilus syi’ah ila tahsil masa’ilisy
syari’ah yang disusun oleh Muhammad bin Hasan Al Hurr Al Amili, yang dianggap
sebagai kitab terlengkap yang memuat hadits hukum fiqih bagi syiah imamiyah.
Dalam kitab ini terkumpul riwayat dari kitab empat utama dan ditambah dengan riwayat lain dari
kitab-kitab lain yang dianggap sebagai
rujukan, yang konon jumlahnya mencapai tujuh puluh kitab -seperti dikatakan
oleh penulis kitab Adz Dzari’ah. Tetapi Syirazi dalam pengantar kitab wasa’il
menyebutkan jumlah kitab yang menjadi rujukan adalah 180 kitab lebih, Al Hurr
Al Amili menyebutkan judul-judul kitab yang menjadi rujukannya yang berjumlah
lebih dari delapan puluh kitab, dia juga menyebutkan bahwa dia mengambil
rujukan dari kitab0kitab selain yang telah disebutkan, tetapi dia merujuknya
dengan perantaraan nukilan kitab lain. Silahkan merujuk pada Muqaddimatul
Wasa’il yang situlis oleh Asyirazi, begitu juga A’yanus Syi’ah jilid 1 hal
292-293, Adz Dzari’ah jilid 4 hal 352-353, Wasa’ilusy Syi’ah jilid 1 hal 408,
jilid 20 hal 36-49.
Lalu kitab mustadrakul wasa’il wa mustanbtul masa’il
yang disusun oleh Husein Nuri Thabrasi –wafat 1320 H-. Agho Barzak Tahrani
mengatakan: kitab mustadrak wasa’il menjadi seperti kitab kumpulan hadits
lainnya yang harus ditelaah dan dijadikan rujukan oleh para mujtahid dalam memutuskan hukum syareat,
kebanyakan ulama kami saat ini tunduk mengikuti kitab itu. Lihat kitab Adz
Dzari’ah jilid 2 hal 110-111. lalu Agho Barzak memperkuat pernyataannya dengan
nukilan dari ulama-ulama syiah yang menjadikan kitab mustadrak wasa’il sebagai
rujukan utama mereka. Adz Dzari’ah jilid 2 hal 111. Jika pembaca merasa pernah
mendengar nama Nuri Thabrasi, dia adalah penyusun kitab Fashlul Khitab fi
Itsbati Tahriifi Kitaabi Rabbil Arbab – pemutus perkara, pembuktian bahwa kitab
Tuhan telah dirubah-, kitab itu menyebutkan dalil-dalil yang memperkuat
pendapat bahwa Al Qur’an yang ada hari ini telah diselewengkan dan diubah oleh
“tangan-tangan kotor”. Dalam muqaddimah mustadrakul wasa’il, Agha Barzak
Tahrani mengatakan : Dia adalah salah seorang imam ahli hadits dan rijalul
hadits di masa ini, termasuk jajaran ulama besar syiah dan ulama besar islam di
abad ini. Bagaimana orang yang tidak beriman pada Al Qur’an menjadi ulama besar
syiah? Pada pengantar mustadrak wasa’il, Agha Barzak Thrani mengatakan bahwa
salah satu karya Husein Nuri Thabrasi adalah kitab Fashlul Khitab.
Kita
patut meragukan apakah sumber mereka masih orisinil atau sudah dipermak sana
sini. Dengan mengetahui validitas sumber sebuah ajaran, kita bisa menilai
validitas ajaran tersebut. Ada beberapa
kitab yang dianggap oleh syiah sejajar dengan kitab empat di atas, artinya
derajat validitas riwayatnya tidak berbeda, sehingga kitab itu berisi
dalil-dalil yang valid untuk penyimpulan hukum syareat menurut syiah imamiyah.
Hal ini seperti disebutkan oleh Al Majlisi pada pengantar Biharul Anwar –bisa
dilihat pada jilid 1 hal 26-: kitab-kitab karya Ash Shaduq –selain lima kitab- sama terkenalnya dengan kitab empat.
Majlisi meneruskan begitu; juga kitab Basha’ir Darajat termasuk literatur pokok
yang juga dijadikan rujukan oleh Kulaini
dan lainnya. Bisa dilihat di halaman yang sama, Majlisi juga menyebutkan
kitab-kitab lain yang sederajat dengan kitab empat. Pendapat yang sama juga
dinyatakan oleh Al Hurr Al Amili dalam kitab Wasa’il Syi’ah jilid 20. juga
dalam pengantar setiap kitab disebutkan bahwa kitab itu sama validnya dengan
kitab yang empat.
Nampaknya yang disebut adalah dua kitab itu,
yaitu kitab-kitab As Shaduq dan Bashair
Darajat karena kitab-kitab itu adalah kitab-kitab besar kumpulan hadits, atau
bisa jadi juga untuk menyaingi mazhab Ahlussunnah dan untuk sekedar promosi.
Nampak hal itu jelas ketika kita melihat kitab Al Wafi dimasukkan ke delapan
kitab rujukan utama, dan kitab itu dianggap sebagai kitab tersendiri, padahal
isi kitab Al Wafi hanyalah kumpulan dari empat kitab utama (Al Kafi, Tahdzib,
Al Istibshar dan Man La Yahdhuruhul Faqih), mengapa dianggap sebagai kitab
baru, padahal isinya hanyalah pengulangan dari empat kitab yang terdahulu. Ini
semua dalam rangka membuat image bahwa
syiah memiliki banyak rujukan, padahal isinya itu-itu juga, pengulangan dari
empat kitab rujukan.
Begitu juga kitab AL Istibshar dianggap sebagai
kitab tersendiri, padahal kitab Al Istibshar hanyalah ringkasan dari kitab Tahdzibul Ahkam, seperti dijelaskan
oleh Thusi sendiri pada pengantar kitab Al Istibshar – jilid 1 hal 2-3- begitu
juga siapa saja yang menelaah kedua kitab itu akan jelas mendapati bahwa kitab
Al Istibshar hanyalah ringkasan dari kitab Tahdzibul Ahkam. Semua ini jelas
dalam rangka promosi mazhab. Begitu juga anda akan menemukan bahwa kitab
Biharul Anwar karya asli penulisnya hanya sebanyak 25 jilid, lalu karena jilid
ke 25 nampak terlalu besar maka dipisah menjadi 2 jilid, akhirnya jumlah
keseluruhan kitab Biharul Anwar hanyalah 26 jilid. Bisa dilihat hal ini dalam
kitab Dzari’ah jilid 3 hal 27. Tetapi kitab Biharul Anwar hari ini berjumlah
110 jilid, dimulai dari jilid 0, supaya nampak intelek. Pembaca yang “intelek”
akan bertanya-tanya tentang asal tambahan kitab Biharul Anwar dari jilid 27
sampe jilid 110, hasil karya Majlisi sendiri –yang menulis 26 jilid- atau ada
tangan-tangan lain yang menambah supaya nampak tebal?
Syiah memang senang sekali dengan yang demikian,
biasanya ada sekelompok orang yang digaji khusus oleh hauzah ilmiyah untuk
menulis sebuah buku, lalu buku itu dibuat seolah ditulis oleh satu orang,
seakan orang itu menulis buku yang besar yang sangat sulit utnuk ditulis oleh
sendirian, seperti bisa kita perhatikan kitab Al Ghadir – yang konon ditulis
oleh seorang bernama Abdul Husein Al Amini-, selain itu syiah juga gemar
mengaku-aku, bahwa syiah adalah pionir dalam semua cabang ilmu, padahal
pengetahuan mereka hanyalah mengambil dari kitab-kitab Ahlussunnah, mereka
memiliki pendapat-pendapat aneh yang membongkar kebohongan mereka. Dalam kitab
A’yanus Syi’ah banyak sekali ulama ahlussunnah yang dianggap sebagai syiah
imamiyah hanya karena mereka memiliki sedikit kecondongan kepada Ali, padahal hal
demikian itu tidak sampai membuat mereka masuk menjadi syiah rafidhah, karena
kecintaan Ahlussunnah pada Ahlulbait adalah kecintaan sejati, lebih dari
kecintaan syiah rafidhah pada ahlulbait.
Isi kitab-kitab utama syiah hanyalah maslah
fiqih, kecuali dua jilid pertama dari
kitab Al Kafi memuat tentang akidah syiah. Jika kita perhatikan, isi kitab
fiqih mereka mirip dengan fiqih ahlussunnah, membuat kita makin percaya dengan
keterangan para ulama yang menyebutkan bahwa ulama syiah banyak yang mencontek
kitab Ahlusunnah, di antaranya adalah Ibnu Taimiyah dalam Minhajussunnah jilid
3 hal 264. Syiah memiliki pendapat-pendapat aneh dalam fiqih, yang berbeda
dengan ulama ahlusunah, pendapat-pendapat itu kadang begitu aneh dan tak
terbayangkan bahwa pendapat-pendapat itu perlu ditulis dalam kitab tersendiri.
Asy Syarif Al Murtadha mengumpulkan pendapat-pendapat syiah yang berbeda dengan
ulama ahlussunah dalam kitabnya Al Intishar.
Sebagai selingan, tidak ada salahnya bila kita
menyimak sedikit pendapat-pendapat yang hanya dimiliki oleh syiah dari kitab Al
Intishar: Keluar Madhi dan Wady tidak membatalkan wudhu – hal 119. Wajib
mengucapkan Hayya Ala Khairil Amal dalam adzan – hal 137. Wajib hukumnya shalat
gerhana matahari maupun bulan, siapa yang ketinggalan harus mengqadha’ – hal
173. Barangsiapa berpuasa ramadhan dalam keadaan musafir maka harus membayar
puasanya – hal 190 –kasihan sungguh- Orang sakit yang memaksakan diri berpuasa
di bulan Ramadhan –padahal dia
dibolehkan untuk tidak berpuasa- maka puasanya tidak sah dan tetap harus
mengqadha’ – hal 192. Jika menemukan bangkai ikan di tepi sungai, sedangkan dia
tidak tahu apakah ikan tersebut mati atau disembelih, maka dicelupkan di air,
jika ikan tersebut mengambang di atas dadanya maka ikan itu disembelih, jika mengambang di atas
punggungnya maka ikan itu mati dengan sendirinya tanpa disembelih – hal 402
[dimana letak perbedaan antara punggung dan dada ikan?] Sembelihan ahli kitab
haram dimakan – hal 403 Haram memakan makanan buatan orang kafir – hal 409.
Ibnu Aqil Al Hanbali menukil pendapat-pendapat
itu dan dia pun merasa heran, tulisan
Ibnu Aqil dinukil juga oleh Ibnul Jauzi dalam kitab Al Muntazham –jilid 8 hal
120- juga Ibnul Jauzi menuliskan dalam Al Maudhu’at: Rafidhah telah membuat
kitab fiqih yang mereka sebut sebagai mazhab imamiyah, di dalamnya memuat
pendapat yang menyimpang dari ijma’ kaum muslimin tanpa dalil apa pun. Lihat Al
Maudhu’at jilid 1 hal 338.
Sementara bahasan lain yang terdapat dalam Al
Kafi dan Biharul Anwar adalah tentang
tauhid, al adl , imamah. Kebanyakan berisi keyakinan mereka tentang imamah dan
para imam yang dua belas, tentang
penunjukan mereka dari Allah, sifat-sifat para imam, kisah hidup mereka dan
keutamaan berziarah ke kubur mereka. Begitu juga membahas tentang musuh para
imam, terutama para sahabat Nabi salallahu’alaihi
wasallam, jika kita perhatikan, mayoritas bahasan adalah tentang imamah dan
para imam.
Pembaca yang menelaah kitab hadits syiah akan
mendapati jurang perbedaan antara kitab hadits syiah dan kitab hadits
ahlussunnah, begitu juga perbedaan yang ada para riwayat ahlussunnah dan syiah
imamiyah. Kitab sunnah yang meriwayatkan hadits, hanyalah meriwayatkan hadits Nabi, dan hanya hadits
Nabi-lah yang disebut dengan hadits. Sedangkan kitab hadits syiah mayoritas
memuat riwayat dari salah satu dari dua belas imam mereka, selain itu mereka juga berkeyakinan bahwa riwayat
yang berasal dari imam sama dengan riwayat yang berasal dari Nabi, artinya
sabda imam sama seperti sabda Nabi. Jika kita perhatikan kitab hadits syiah,
kita akan menemukan bahwa hadits yang berasal dari Nabi sangatlah sedikit,
sedangkan mayoritas riwayat Al Kafi adalah dari Ja’far Ash Shadiq, sangat
jarang sekali yang berasal dari ayahnya Muhammad Al Baqir, apalagi yang berasal
dari Amirul Mukminin Ali, jumlahnya lebih sedikit, begitu juga yang berasal
dari Nabi salallahu’alaihi wasallam,
jauh lebih sedikit. Begitu juga kita perhatikan, empat kitab utama syiah
disusun pada abad ke sebelas Hijriyah, dan setelahnya, yang terakhir ditulis
oleh Husein Nuri Thabrasi, -judulnya Mustadrakul Wasa’il- yang wafat tahun 1320
H –hidup sejaman dengan syaikh Muhammad Abduh- Kitab itu memuat 23000 hadits
dari para imam syiah [lihat Ad Dzari’ah jilid 7 hal 21] yang belum pernah
ditemukan sebelumnya. Kitab itu ditulis ratusan tahun setelah wafatnya para
imam, jika memang benar kitab itu berisi riwayat bersanad dari para imam bagaimana
orang berakal bisa percaya pada riwayat yang belum pernah ditulis sejak 11 abad
atau 13 abad lalu ? jika memang riwayat itu tertulis dalam kitab, mengapa kitab
itu baru ditemukan di abad 14 Hijriah?
Sebagian penulis kitab syiah menyatakan bahwa merka
menemukan buku yang belum pernah ditemukan sebelumnya, Al Majlisi mengatakan:
Alhamdulillah, di depan kami terkumpul
sebanyak 200 judul buku, seluruh isinya telah kunukil dalam Biharul
Anwar, [lihat I’tiqadat Al Majlisi hal. 24, lihat juga Al Fikr Asy Syi’I hal.
61]sementara Al Hurr Al Amili menyatakan bahwa dirinya memiliki delapan puluh
kitab selain empat kitab rujukan mereka, isi kitab-kitab itu dituliskan dalam
Wasa’ilusy Syi’ah [lihat Wasa’ilusy Syi’ah jilid 1, pengantar. Juga lihat Adz
Dzari’ah jilid 4 hal 352-353].
Begitu juga Nuri Thabrasi ikutan mengklaim bahwa
dirinya menemukan kitab-kitab yang belum pernah ditulis sebelumnya walaupun
dirinya hidup di abad 14 Hijriyah, Agho BArzak Tahrani mengatakan: hal yang
mendorong Husein Nuri Thabrasi untuk menulis mustadrak Al Wasa’il adalah karena
Thabrasi menemukan kitab-kitab penting yang belum pernah ditulis dalam
kitab-kitab kumpulan hadits syiah sebelumnya [lihat Ad Dzari’ah jilid 21 hal
7]. Ulama syiah menganggap
hadits-hadits baru hasil penemuan Nuri Thabrasi yang dituliskan dalam Mustadrak
Al Wasa’il sebagai hadits-hadits yang sangat penting dan diperlukan, tidak bisa
ditinggalkan, ulama syiah yang bernama Al Khurasani –seperti dinukil dalam Adz
Dzari’ah- mengatakan: setiap mujtahid tidak boleh berijtihad sebelum merujuk ke
kitab Mustadrak Al Wasa’il dan menelaah hadits-hadits yang termuat di dalamnya,
[lihat Ad Dzari’ah jilid 2 hal 111], apakah ini berarti sebelum adanya kitab
Mustadrak Al Wasa’il ucapan ulama mereka tidak dapat dijadikan pegangan?
Silahkan anda merasa heran, barangkali masih ada lagi hadits yang baru
ditemukan.
Riwayat-riwayat itu tidak ditemukan di literatur
kuno syiah, mengapa demikian? Mengapa Kulaini tidak meriwayatkannya padahal dia
dapat menghubungi empat “dubes” imam Mahdi? Kulaini memberi judul kitabnya
dengan Al Kafi karnea dianggapnya cukup bagi syiah, bahkan kitab Al Kafi telah
ditunjukkan kepada imam Mahdi –yang bersembunyi hingga hari ini- melalui “duta
besar ”, kemudian Imam Mahdi memberikan komentar: kitab ini cukup bagi syiah
kami, begitu juga At Thusi menyatakan, bahwa dirinya mengumpulkan hadits-hadits
syiah yang berkaitan dengan fiqih dari kitab-kitab literatur inti syiah, dalam
kitabnya Tahdzibul Ahkam, tidak ada yang terlewatkan kecuali hanya sedikit saja
[lihat Al Istibshar jilid 1 hal 2].
Apakah kitab-kitab ini ditulis pada era dinasti
shafavid di iran lalu ditulis atas nama para ulama klasik syiah? Bisa jadi, dan
sangat mungkin. Bahkan empat kitab syiah yang utama [Al Kafi, Tahdzibul Ahkam,
Al Istibshar dan Man La Yahdhuruhul Faqih] tidak luput dari tambahan dari
tangan-tangan tidak bertanggung jawab. Salah satu buktinya, bisa dilihat dalam
kitab Ad Dzari’ah –jiild 4 hal 504- dan A’yanus Syi’ah –jilid 1 hal 288- juga
keterangan ulama syiah hari ini, bahwa jumlah hadits Tahdzibul Ahkam adalah
13950 hadits, tetapi penulisnya sendiri menyatakan dalam kitab Iddatul Ushul
[jilid 1 hal 139 ,cetakan sitarah-Qum] bahwa jumlah hadits Tahdzibul Ahkam
hanya 5000 lebih, artinya tidak mencapai jumlah 6000. bisa dilihat dalam kitab
Al Imam As Shadiq hal 485.
Ternyata jumlah hadits Tahdzibul Ahkam bertambah
lebih dari dua kali lipat, inilah bukti nyata yang ada di depan mata. Begitu
juga ulama syiah masih berbeda pendapat, apakah kitab Raudhatul Kafi –kitab Al
Kafi jilid 8- termasuk dalam kitab Al Kafi yang ditulis oleh Kulaini, ataukah merupakan tambahan yang ditulis
setelah kitab Al Kafi, bisa dilihat dalam kitab Raudhatul Jannat jilid 6hal 176-188,
seolah-olah penambahan dalam kitab adalah hal biasa dan sangat mungkin terjadi.
Yang lebih berbahaya, seorang ulama syiah terkemuka yang bernama Husein bin
Haidar Al Karki Al Amili [wafat th 1076 H] mengatakan: kitab Al kafi berjumlah
lima puluh jilid, memuat riwayat dengan sanad yang bersambung pada para imam
[Raudhatul Jannat jilid 6 hal 114], sementara Thusi [wafat 360 h] mengatakan
bahwa kitab Al Kafi berjumlah 30 jilid,…. [lihat Al Fahrasat hal 161].
Apakah kitab Al Kafi mengalami penambahan selama
kurun waktu antara abad ke lima dan sebelas hijiriyah? Tambahannya pun bukan
sedikit, tapi 20 jilid, padahal setiap jilid terdiri dari banyak bab yang
memuat banyak hadits. Mungkin hal ini tidak menjadi masalah bagi syiah, jika
mereka berani memalsu riwayat dari Nabi salallahu’alaihi
wasallam dan Ahlulbait, mestinya memalsu buku dari gurunya bukanlah hal
susah, bukti dalam hal ini sangat banyak, yang kami paparkan sudah cukup bagi
mereka yang mau menggunakan akalnya yang masih sehat. Kita tanyakan lagi pada
penganut syiah, mana sumber ajaran agama kalian? Kalian banyak menggunakan
logika dan mantiq karena miskin dalil naqli,
apalagi setelah tahu bahwa kitab literatur kalian terbukti masih harus
diragukan lagi validitasnya.
Sumber: www.hakekat.com