pasang iklan
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

Saturday 7 February 2015

Nikah Mut’ah Dalam Islam

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Saya ingin menanyakan tentang nikah mut’ah dalam Islam. Saya janda dengan dua orang anak yang ditinggal suami karena kematian. Saat ini saya menjalani pernikahan mut’ah dengan seorang laki-laki sudah dua tahun lamanya. Kami menikah dengan alasan tidak mau tidak dijalan Allah, saat kami menikah tidak ada siapapun yang tahu tentang pernikahan kami. Waktu terus berlanjut, tapi setiap saya menanyakannya tentang kapan pastinya pernikahan yang sesungguhnya akan dijalankan, pasangan saya selalu bicara dua tahun lagi. Saya mendesak banget kare keluarga juga sudah bertanya dan saya memikirkan perkembangan anak-anak saya nanti. Dia menunda pernikahan yang sebenarnya dengan alas an ada hal-hal yang harus dia buktikan dahulu (pekerjaan) kepada keluarganya. Padahal anak-anak saya sudah merasa bahwa dia adalah bapak mereka dan saya meyakini kalau rezeki tidak akan ke mana. Terus terang pengetahuan saya tentang aturan pernikahan memang tidak banyak, malah dahulu dia yang menyarankan untuk dilakukannya nikah mut’ah antara kami. Yang menjadi pertanyaan saya adalah:
1. Apa dan bagaimana aturan/hadis tentang nikah mut’ah dalam Islam?
2. Sampai kapan nikah mut’ah itu berlaku?
3. Apa yang bisa saya jadikan alas an kuat kepada pasangan agar dapat segera melangsungkan pernikahan sesungguhnya?
Demikian, dan terimakasih atas bimbingannya
Wassalam,
Khadijah.
Jawab:
Alhamdulillah, was-shalatu was-salamu ‘ala rasulillah, la haula wala quwwata illa billah, waba’du.
Ibu Khadijah yang budiman, Saya mengapresiasi usaha ibu yang selalu mencari kebenaran, termasuk dalam hal status perkawinan ibu. Perlu diketahui, bahwa kebenaran menurut ajaran Islam adalah jika sesuai dengan firman Allah SWT dalam al-Quran al-karim dan sesuai dengan petunjuk Rasulullah SAW dalam sunnahnya, sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadis yang artinya :
“Aku tinggalkan kepada kalian dua hal yang kalian tidak akan tersesat jika berpegang teguh kepada keduanya: kitab Allah (al-quran) dan sunnah rasulNya” .
Dari hadis tersebut dapat diketahui bahwa ajaran yang tidak sesuai dengan kitabullah dan sunnah rasulNya adalah ajaran yang tersesat jalan, termasuk dalam hal pernikahan.
Dalam ajaran Islam, maksud utama dari pernikahan itu selain sebagai ibadah adalah untuk membangun ikatan keluarga yang langgeng (mitsaqan ghalidzha) yang dipenuhi dengan sinar kedamaian (sakinah), saling cinta (mawaddah), dan saling kasih-sayang (rahmah). Dengan begitu, ikatan pernikahan yang tidak ditujukan untuk membangun rumah tangga secara langgeng, tidaklah sesuai dengan tujuan ajaran Islam.
Di samping itu, jika kita tengok sejarah awal Islam, di mana ketika itu masyarakat jahiliyah tidak memberikan kepada wanita hak-haknya sebagaimana mestinya karena wanita ketika itu lebih dianggap sebagai barang yang bisa ditukar seenaknya, dapat kita ketahui betapa ajaran Islam menginginkan agar para wanita dapat diberikan hak-haknya sebagaimana mestinya. Oleh karenanya, dengan syariat nikah menurut Islam ini, ajaran Islam ingin melindungi para wanita untuk mendapatkan hak-haknya. Para wanita tidak dapat dipertukarkan lagi sebagaimana zaman jahiliyah. Para wanita selain harus menjalankan kewajibannya sebagai istri, juga mempunyai hak untuk diperlakukan secara baik (mu’asyarah bil ma’ruf), dan ketika suami meninggal ia juga dapat bagian dari harta warisan.
Demikian tujuan nikah menurut ajaran Islam. Sedangkan nikah mut’ah adalah nikah kontrak dalam jangka waktu tertentu, sehingga apabila waktunya telah habis maka dengan sendirinya nikah tersebut bubar tanpa adanya talak. Dalam nikah mut’ah si wanita yang menjadi istri juga tidak mempunyai hak waris jika si suami meninggal. Dengan begitu, tujuan nikah mut’ah ini tidak sesuai dengan tujuan nikah menurut ajaran Islam sebagaimana disebutkan di atas, dan dalam nikah mut’ah ini pihak wanita teramat sangat dirugikan. Oleh karenanya nikah mut’ah ini dilarang oleh Islam.
Dalam hal ini syaikh al-Bakri dalam kitabnya I’anah at-Thalibin menyatakan yang artinya:
“Kesimpulannya, nikah mut’ah ini haram hukumnya. Nikah ini disebut nikah mut’ah karena tujuannya adalah untuk mencari kesenangan belaka, tidak untuk membangun rumah tangga yang melahirkan anak dan juga saling mewarisi, yang keduanya merupakan tujuan utama dari ikatan pernikahan dan menimbulkan konsekwensi langgengnya pernikahan”.
Memang benar bahwa nikah mut’ah ini pernah dibolehkan ketika awal Islam, tapi kemudian diharamkan, sebagaimana dinyatakan oleh al-Imam an-Nawawi dalam kitabnya Syarh Shahih Muslim yang artinya:
“yang benar dalam masalah nikah mut’ah ini adalah bahwa pernah dibolehkan dan kemudian diharamkan sebanyak dua kali; yakni dibolehkan sebelum perang Khaibar, tapi kemudian diharamkan ketika perang Khaibar. Kemudian dibolehkan selama tiga hari ketika fathu Makkah, atau hari perang Authas, kemudian setelah itu diharamkan untuk selamanya sampai hari kiamat”.
Alasan kenapa ketika itu dibolehkan melaksanakan nikah mut’ah, karena ketika itu dalam keadaan perang yang jauh dari istri, sehingga para sahabat yang ikut perang merasa sangat berat. Dan lagi pada masa itu masih dalam masa peralihan dari kebiasaan zaman jahiliyah. Jadi wajar jika Allah memberikan keringanan (rukhshah) bagi para sahabat ketika itu.
Ada pendapat yang membolehkan nikah mut’ah ini berdasarkan fatwa sahabat Ibnu Abbas r.a., padahal fatwa tersebut telah direvisi oleh Ibnu Abbas sendiri, sebagaimana disebutkan dalam kitab fiqh as-sunnah yang artinya:
Diriwayatkan dari beberapa sahabat dan beberapa tabi’in bahwa nikah mut’ah hukumnya boleh, dan yang paling populer pendapat ini dinisbahkan kepada sahabat Ibnu Abbas r.a., dan dalam kitab Tahzhib as-Sunan dikatakan: sedangkan Ibnu Abbas membolehkan nikah mut’ah ini tidaklah secara mutlak, akan tetapi hanya ketika dalam keadaan dharurat. Akan tetapi ketika banyak yang melakukannya dengan tanpa mempertimbangkan kedharuratannya, maka ia merefisi pendapatnya tersebut. Ia berkata: “inna lillahi wainna ilaihi raji’un, demi Allah saya tidak memfatwakan seperti itu (hanya untuk kesenangan belaka), tidak seperti itu yang saya inginkan. Saya tidak menghalalkan nikah mut’ah kecuali ketika dalam keadaan dharurat, sebagaimana halalnya bangkai, darah dan daging babi ketika dalam keadaan dharurat, yang asalnya tidak halal kecuali bagi orang yang kepepet dalam keadaan dharurat. Nikah mut’ah itu sama seperti bangkai, darah, dan daging babi, yang awalnya haram hukumnya, tapi ketika dalam keadaan dharurat maka hukumnya menjadi boleh”
Namun demikian, pendapat yang menghalalkan nikah mut’ah tersebut tidaklah kuat untuk dijadikan dasar hukum. Sedangkan pendapat yang mengharamkannya dasar hukumnya sangat kuat, sebab dilandaskan di atas hadis shahih yang artinya :
“Diriwayatkan bahwa sahabat Ali r.a. berkata: Rasulullah s.a.w. melarang nikah mut’ah ketika perang Khaibar” Hadis dianggap shahih oleh imam Bukhari dan Muslim.
Hadis lain menyatakan:
“Diriwayatkan bahwa sahabat Salamah bin al-Akwa’ r.a. berkata: Rasulullah s.a.w. memperbolehkan nikah mut’ah selama tiga hari pada tahun Authas (ketika ditundukkannya Makkah, fathu Makkah) kemudian (setelah itu) melarangnya” HR. Muslim.
Di hadis lain disebutkan:
“Diriwayatkan dari Rabi’ bin Sabrah r.a. sesungguhnya rasulullah s.a.w. bersabda: “wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku pernah mengizinkan nikah mut’ah, dan sesungguhnya Allah telah mengharamkannya sampai hari kiamat, oleh karenanya barangsiapa yang masih mempunyai ikatan mut’ah maka segera lepaskanlah, dan jangan kalian ambil apa yang telah kalian berikan kepada wanita yang kalian mut’ah” HR. Muslim, Abu Dawud, an-Nasai, Ibnu Majah, Ahmad, dan Ibnu Hibban.
Hadis-hadis tersebut cukup kuat untuk dijadikan pijakan menetapkan hukum haram bagi nikah mut’ah, dan sangat terang benderang menjelaskan bahwa Islam melarang nikah mut’ah. Oleh karena itu, jika saat ini ada yang melaksanakan nikah mut’ah maka ia telah dianggap melanggar ajaran Islam dan secara otomatis nikahnya tersebut batal, sebagaimana disebutkan oleh al-Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim:
“Para ulama sepakat (ijma’) bahwa jika saat ini ada yang melaksanakan nikah mut’ah maka hukumnya tidak sah (batal), baik sebelum atau sesudah dilakukan hubungan badan”
Dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa nikah mut’ah pernah dibolehkan ketika zaman Rasul s.a.w. masih hidup, tapi kemudian diharamkan oleh rasulullah s.a.w. sampai hari kiamat. Jika ada yang melaksanakan nikah mut’ah pada masa sekarang, maka nikah mut’ah tersebut hukumnya batal.
Dengan begitu, kiranya pertanyaan ibu sudah terjawab semuanya. Sebenarnya melalui pertanyaan yang ibu ajukan, saya menangkap kesan bahwa ibu sudah tidak yakin dengan sahnya nikah mut’ah yang ibu lakukan. Berkali-kali ibu menyebutkan ingin “nikah sesungguhnya”. Apalagi pernikahan ibu dilakukan “dengan tanpa diketahui siapapun”. Sedangkan dalam Islam pernikahan selain harus ada wali juga harus ada yang menjadi saksi, sehingga tetap harus ada orang yang menyaksikan. Selain itu, ajaran Islam juga sangat menganjurkan adanya walimah (semacam pesta). Tujuannya, agar semakin banyak orang yang menjadi saksi bahwa kedua orang tersebut telah menjalin ikatan pernikahan. Saksi ini penting, karena setelah akad nikah selesai kedua mempelai, yakni suami dan istri, saling mempunyai hak-hak perdata, misalnya dalam hal warisan. Jika ada sengketa di kemudian hari, misalnya, maka kedudukan istri untuk menuntut haknya akan semakin kuat, karena ada banyak saksi. Ketentuan ini tentu tidak berlaku terhadap nikah mut’ah, karena dalam nikah mut’ah ketika jangka waktu pernikahan telah habis, maka tanpa talakpun secara otomatis tidak ada lagi hubungan antara kedua orang tersebut. Dan jangan lupa, dalam nikah mut’ah istri tidak berhak mendapat warisan dari suami, ketika, misalnya, suaminya tersebut meninggal. Tegasnya, dengan nikah mut’ah, para wanita yang menjadi istri kedudukannya sangatlah lemah. Oleh karenanya Islam melarang nikah mut’ah tersebut.
Apabila kita renungkan dengan hati yang jernih, betapa ajaran Islam itu sangat indah, jika dilaksanakan dengan tulus ikhlas, sesuai dengan kehendak Allah SWT. Sekarang tinggal kemauan dan kesungguhan dari kita, umat manusia, untuk tunduk dan mematuhi sabda rasulullah s.a.w. tersebut. Kemuliaan di sisi Allah SWT adalah bagi orang yang rela mendahulukan dan tunduk kepada aturan-aturanNya sebagaimana disampaikan oleh utusanNya. Oleh karenanya, saya menyarankan kepada ibu, selagi masih ada kesempatan segeralah menyatakan penyesalan secara bersungguh-sungguh dengan bertaubat, dan mulailah dengan ikatan pernikahan yang diridhai oleh Allah SWT. Yakinlah, bahwa ampunan Allah itu maha luas, dan tetapkan hati bahwa Allah ‘azza wajalla akan senantiasa bersama orang yang tunduk terhadap aturan-aturanNya.Wallahu a’lam bi as-shawab (Oleh Drs. H. Sholahudin al Aiyub, M.Sc)

Tuesday 3 February 2015

Nikah Mut’ah adalah Aqidah Syi’ah


Nikah mut’ah ialah perkawinan antara seorang lelaki dan wanita dengan maskawin tertentu untuk jangka waktu terbatas dan berakhir dengan habisnya masa tersebut, dimana suami tidak berkewajiban memberi nafkah dan tempat tinggal kepada istri serta tidak menimbulkan pewarisan antara keduanya serta tidak mempersyaratkan adanya saksi dan wali.
Nikah mut’ah dalam ajaran Syi’ah memiliki keistimewaan yang besar. Dikatakan dalam buku “Minhajus Shadiqin” yang di tulis oleh Fatullah Al Kasyani, dari As Shadiq bahwasannya, “Mut’ah adalah bagian dari agamaku, dan agama nenek moyangku, dan barangsiapa yang mengamalkannya berarti  ia mengamalkan agama kami, dan barangsiapa yang mengingkarinya berarti ia mengingkari agama kami, bahkan ia bisa dianggap beragama selain dengan agama kami dan anak yang dilahirkan dari hasil perkawinan mut’ah lebih utama daripada anak yang dilahirkan di luar nikah mut’ah dan orang yang mengingkari nikah mut’ah ia kafir dan murtad.” Di nukil oleh Al Qummy dalam bukunya “Maa laa Yudhrikuhul Faqih”, dari Abdullah bin Sinan dari Abu Abdillah ia berkata: “Sesungguhnya Allah subhanahu wata’ala mengharamkan atas orang-orang Syiah segala minuman yang memabukkan dan mengganntikannya dengan mut’ah.”
Syiah Rafidah tidak membatasi jumlah tertentu dalam mut’ah, dikatakan dalam buku “Furu’ul Kaafi” Ath Tahdib, dan Al Istibshar dari Zurarah dari Abu Abdillah ia berkata: “Saya bertanya kepadanya tentang jumlah wanita yang di mut’ah apakah hanya empat wanita? Ia menjawab nikahilah (dengan mut’ah) dari wanita meskipun itu 1000 wanita karena mereka (wanita-wanita ini) di kontrak.”
Inilah salah satu ajaran Syiah yang mengharuskannya berbeda dengan Ahlus Sunnah waljama’ah. Lalu bagaimana tinjauan syariat mengenai nikah mut’ah?
Pada awalnya nikah mut’ah pernah di halalkan namun setelah itu kembali di haramkan oleh Nabi salallahu’alaihi wasallam. Hal ini di dukung dengan dalil-dalil dari hadits Nabi salallahu’alaihi wasallam dan juga kesepakatan ulama dari empat mazhab, diantaranya adalah:
Dari Sabrah bin Ma’bad Al Juhaini radhiallahu’anhu ia berkata: “Kami bersama Rasulullah salallahu’alaihi wasallam dalam suatu perjalanan haji. Pada suatu saat kami berjalan bersama sepupu kami dan bertemu dengan seorang wanita. Jiwa muda kami mengagumi wanita tersebut, sementara dia mengagumi selimut (selendang) yang di pakai oleh saudaraku itu. Kemudian wanita tadi berkata: “Ada selimut seperti selimut”. Akhirnya aku menikahinya dan tidur bersamanya satu malam. Keesokan harinya aku pergi ke masjidil haram, tiba-tiba aku melihat Rasulullah salallahu’alaihi wasallam sedang berpidato diantara pintu ka’bah dan hijr Ismail. Beliau bersabda: “Wahai sekalian manusia aku pernah mengizinkan kepada kalian untuk melakukan nikah mut’ah. Maka sekarang siapa yang memiliki istri dengan cara nikah mut’ah, haruslah ia menceraikannya dan segala sesuatu yang telah kalian berikan padanya janganlah kalian ambil lagi. Karena Allah azza wajalla telah mengharamkan nikah mut’ah sampai hari kiamat.” (HR. Muslim)
Kemudian dari Ali bin Abu Thalib radhiallahu’anhu, ia berkata kepada Ibnu Abbas bahwa Nabi salallahu’alaihi wasallam melarang nikah mut’ah dan memakan daging keledai jinak pada waktu perang khaibar.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Adapun perkataan ulama mengenai nikah mut’ah diantaranya:
1.      Dari mazhab Hanafi, Imam Syamsuddin Al Sarkhasi dalam kitabnya Al Mabsuth (V/152) mengatakan: “Nikah mut’ah ini bathil menurut mazhab kami.”
2.      Dari Mazhab Maliki, Imam Ibnu Rusyd dalam kitabnya Bidayatu Mujtahid wa Nihaya Al Muqtashid (IV/325-334) mengatakan: “Hadits-hadits yang mengaharamkan nikah mut’ah mencapai peringkat mutawatir”. Sementara itu Imam Malik bin Anas dalam kitabnya Al Mudawwanah Al Kubra (II/130) mengatakan: “Apabila seorang lelaki menikahi wanita dengan di batasi waktu, maka nikahnya bathil.”
3.      Dari mazhab Syafi’I, Imam Syafi’I dalam kitabnya Al Umn (V/85) mengatakan: “Nikah mut’ah yang dilarang itu adalah semua nikah yang di batasi dengan waktu, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, seperti ucapan seorang lelaki pada perempuan: “Aku nikahi kamu selama satu hari, sepuluh hari atau satu bulan”. Sementara itu imam Nawawi dalam kitabnya Al Majmu (XVII/356) mengatakan: “Nikah mut’ah tidak di perbolehkan, karena pernikahan itu pada dasarnya adalah suatu akad yang bersifat mutlak, maka tidak sah apabila dibatasi dengan waktu.”
4.      Dari mazhab Hambali, Imam Ibnu Qudamah dalam kitabnya Al Mughni (X/46) mengatakan: “Nikah mut’ah ini adalah nikah yang bathil”. Ibnu Qudamah juga menukil pendapat imam Ahmad bin Hambal yang menegaskan bahwa nikah mut’ah haram.”
Berdasarkan ini maka secara tegas Ahlus Sunnah berpendapat bahwa nikah mut’ah adalah haram. Dan kami nasehatkan kepada kaum muslimin untuk berhati-hati dengan propaganda Syi’ah yang berkedok dengan nama “wajib mengikuti mazhab Ahlul Bait”, sementara pada hakekatnya Ahlul Bait berlepas diri dari mereka.

Sumber: Buletin Al Fikrah No. 05 Thn. IX/22 Shafar 1429 H

Friday 30 January 2015

Mengumandangkan Adzan Sebelum Masuk Waktu



Apa hukum mengumandangkan adzan sebelum masuk waktu shalat, dan duduknya muadzin setelah adzan, serta bagaimana pendapat yang ada.
Jawab: Tidak boleh mengumandangkan adzan sebelum masuk waktu shalat, kecuali adzan subuh setelah pertengahan malam. Ini sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud radhiallahu’anhu bahwa Nabi salallahu’alaihi wasallam bersabda:
“Janganlah salah seorang diantara kalian menghentikan sahurnya karena adzan Bilal, seseungguhnya dia mengumandangkan adzan –atau dengan ungkapan lain- menyeru pada malam hari untuk mengingatkan orang yang tengah shalat (akan dekatnya waktu subuh) dan membangunkan yang masih tidur.” (HR. Jama’ah selain Tirmidzi)
Dari Samurah bin Jundab dia berkata bahwa Rasulullah salallahu’alaihi wasallam bersabda:
“Janganlah kalian menghentikan sahur kalian karena mendengar adzan Bilal, atau warna putih yang memanjang di ufuk, sampai menyebar cahayanya.” (HR. Muslim)
Menurut riwayat lain, “Janganlah kalian meninggalkan sahur karena mendengar adzan Bilal dan cahaya ufuk yang memanjang, (yang benar) sampai cahaya fajar menyebar di ufuk.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi)
Diriwayatkan dari Zaid bin Harits as Shada’i yang berkata: “Ketika pertama kali adzan subuh, Nabi salallahu’alaihi wasallam menyuruhku. Maka aku bertanya: “Apakah segera dilakukan wahai Rasulullah? Beliau memandang kearah Timur dan berkata: “Jangan samapai terbit fajar.”…Ketika para sahabat berdatangan dan Nabi salallahu’alaihi wasallam telah berwudhu, Bilal ingin mengiqamati, maka Nabi salallahu’alaihi wasallam berkata: “Sesungguhnya saudaramu as Shada’i telah mengumandangkan adzan, maka dialah yang iqamat.” Maka akupun iqamat.” (HR. Abu Daud dan at Tirmidzi)
Dianjurkan untuk tidak mengumandangkan adzan sebelum waktu fajar, kecuali bersamanya ada muadzin lain yang akan adzan manakala masuk waktu subuh. Ini sebagaimana yang dilakukan Bilal dan Ibnu Ummi Maktum, meneladani Rasulullah salallahu’alaihi wasallam. Karena jika tidak demikian, maka tujuan adzan untuk memberitahukan masuk waktu menjadi tidak tercapai. Akan tetapi, jika ada dua muadzin, maka dapat tercapai tujuan pemberitahuan waktu.
Ada pendapat lain bahwa tidak boleh adzan sebelum terbit fajar (maksudnya adzan subuh). Hal ini berdasarkan riwayat Ibnu Umar radhiallahu’anhu bahwa Bilal radhiallahu’anhu pernah adzan sebelum subuh, maka Nabi salallahu’alaihi wasllam memberitahukannya untuk mengulanginya.
Dari Bilal radhiallahu’anhu bahwa Rasulullah salallahu’alaihi wasallam bersabda kepadanya:
“Janganlah engkau mengumandangkan adzan sampai jelas bagimu subuh seperti ini. Beliau lalu menjulurkan/mengulurkan tangannya melebar.” (Keduanya di riwayatkan oleh Abu Daud).
Dari hadits Anas radhiallahu’anhu di dalam Al Bukhari dan lainnya, dia berkata bahwa: “Jika Nabi salallahu’alaihi wasallam bersama kami memerangi suatu kaum, beliau tidak segera memeranginya sampai dating waktu subuh untuk mengamati. Jika terdengar suara adzan dari kaum tersebut, maka tidak jadi diperangi. Jika tidak terdengar adzan, maka beliau memeranginya. Beliau salallahu’alaihi wasallam menjadikan Syi’ar (alamat) negeri Islam dengan adzan ketika terbit fajar.”
Sekelompok ahli hadits berkata bahwa jika ada dua muadzin, yang adzan sebelum terbit fajar dan lainnya sesudah fajar, maka tidak mengapa. Ini karena adzan sebelum terbit fajar belum menyampaikan maksud pemberitahuan waktu, sehingga tidak boleh (mencukupkan dengannya), sebagaiana halnya shalat (sebelum waktu). Kecuali jika terdapat dua muadzin; karena dapat mencapai tujuan pemberitahuan waktu yaitu dengan adzan salah seorang dari keduanya.
Dianjurkan bagi muadzin untuk duduk sejenak (beberapa saat) setelah adzan shalat (fajar), seperti duduk singkat pada waktu setelah adzan (maghrib), lalu mengumandangkan iqamat shalat. Ini berdasarkan hadits Ubay bin Kaab secara marfu’:
“Wahai Bilal jadikan antara adzan dan iqamatmu senggang (sebatas) orang sedang makan menyelesaikan makannya dengan perlahan dan (orang yang berhajat) menyelesaikan hajatnya dengan perlahan.” (HR. Abdullah bin Ahmad)
Dan dari Jabir radhiallahu’anhu bahwa Nabi salallahu’alaihi wasallam bersabada kepada Bilal radhiallahu’anhu:
“Jadikanlah antara adzan dan iqamatmu waktu sekedar orang yang makan menyelesaikan makannya dan orang yang minum menyelesaikan minumnya dan orang yang ingin buang hajat menyelesaikan hajatnya.” (HR. Abu Daud dan At Tirmidzi). [Majalah Fatawa. Hal. 23-25. Vol. 06. Th. II. 1425H. 2004M.]

Monday 26 January 2015

Mengenali Teman Bergaul



Dalam bergaul, hendaknya kita mengklasifikasi  manusia menjadi empat. Ketidakmampuan kita untuk membedakan masing-masingnya akan membawa bencana bagi diri kita. Sebagaimana sabda Nabi salallahu’alaihi wasallam: “Seseorang itu tergantung dari agama temannya maka perhatikanlah dengan siapa dia berteman”. Berikut ini adalah empat kelompok manusia yang biasa di jadikan teman bergaul yang di kutip dari buku Tazkiayatun nafs

  •   Kelompok yang bergaul dengan mereka yang seperti mengkonsumsi makanan yang bergizi. Ia di butuhkan siang dan malam. Jika seseorang menyelesaikan keperluannya ia di tinggal, dan jika di perlukan lagi ia di datangi. Demikian seterusnya. Mereka adalah para ulama, ahli ma’rifatullah, memahami perintah-perintahNya, mengerti tipu daya muslihat musuhNya, dan memilki ilmu tentang penyakit-penyakit hati serta obatnya. Mereka adalah orang-orang yang setia kepada Allah subhanahu wata’ala, kitabNya, RasulNya, dan seluruh makhluk. Bergaul dengan mereka adalah keuntungan yang nyata.

  • Kelompok yang bergaul dengan mereka yang seperti menkonsumsi obat. Ia di butuhkan di kala sakit. Selama anda sehat, anda tidak memerlukan pergaulan dengan mereka. Mereka adalah para professional dalam urusan muamalat, bisnis, dan yang semisalnya. Anda harus bergaul dengan mereka, jika ingin urusan ma’isyah anda lancar.
  • Kelompok yang bergaul dengan mereka yang seperti  mengkonsumsi penyakit. Ada penyakit ganas dan memakan waktu yang lama untuk dapat di sembuhkan. Mereka adalah orang-orang yang tidak membawa keberuntungan, dunia ataupun akhirat, atau salah satunya. Jika anda bergaul dengannya, sesungguhnya ia adalah penyakit yang membawa kematian dan menakutkan. Ada juga yang penyakit  yang lebih ringan, yaitu orang-orang yang bicaranya tidak baik, tidak ada manfaatnya bagi anda. Dia tidak tahu siapa dirinya sehingga mampu menempatkan pada tempatnya. Jika ia bebicara, kata-katanya ibarat sembilu mengiris hati orang-orang yang mendengarnya. Namun ia tetap bangga dengan ucapannya. Ia melakukannya kepada siapa saja yang bergaul dengannya dan menyangka bahwa ia sedang menebar minyak wangi. Dan jika ia diam, maka ia lebih berat daripada sebongkah batu. Tidak ada seorangpun yang mampu mengangkatnya, mengubah keadaannya.
  • Kelompok yang bergaul dengan mereka yang membawa kebinasaan total. Mereka ibarat racun, jika seseorang tidak sengaja memakannya itupun sudah satu kerugian. Kelompok ini banyak sekali, mereka adalah ahli bid’ah dan kesesatan, penghalang sunnah Rasulullah salallahu’alaihi wasallam, yang selalu menyuruh untuk menyelisihinya. Mereka menjadikan sunnah sebagai bid’ah dan sebaliknya. Seorang yang berakal tidak pantas bergaul dan berteman dengan mereka. Kalaupun di lakukakan, niscaya hatinya akan sakit bahkan mati.
Semoga kita di beri kemudahan untuk memilih teman yang baik, yang bermanfaat bagi dunia dan akhirat kita.

 

Area Backlink

Mau bertukar link? Masukan Link Blogku ke blog kamu Kemudian masukan nama/web dan url blog kamu pada kotak yang tersedia di bawah, lalu tekan enter. Active Search Results
Klik tanda SUKA pada Cahaya Islam, untuk mengetahui postingan terbaru blog ini dari facebookmu

Kunjungan Ke

Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | coupon codes