Oleh:
Prof.Dr.H.
Minhajuddin, MA
Ketua
Komisi Fatwa MUI Sul-Sel
A.
Syiah
Dan Pemikirannya
Syiah (Ar:
sy’iah= golongan, kelompok, pengikut, penyokong). Istilah syiah lebih dikenal
dalam islam sebagai nama kelompok muslim pengikut Ali bin Abi Thalib
radhiallahu’anhu dan penyokongnya. Mereka berpendapat bahwa pergantian Nabi
Muhammad sallallahu’alaihi wasallam dalam bidang pemerintahan adalah hak
istimewa kalangan keluarga Nabi sallallahu’alaihi wasallam. Dalam bidang
pengetahuan dan kebudayaan islam mereka adalah pengikut mazhab-mazhab ahlulbait
(mazhab-mazhab keluarga Nabi sallallahu’alaihi wasallam)1
Para peneliti
berbeda pendapat dalam melihat permulaan munculnya kelompok syiah, diantaranya:
Pertama: pendapat yang
memandang bahwa syiah muncul ketika Nabi sallallahu’alaihi wasallam masih
hidup. Pendapat ini dikemukakan oleh Muhammad Husain Kasyif Al Gita (seorang
mujtahid syiah kontenporer asal Irak) dan Ahmad Amin (sarjana sejarah dan
kebudayaan Islam asal Mesir). Menurut kedua tokohh tersebut, sejak masa Nabi
sallallahu’alaihi wasallam masih hidup terdapat beberapa sahabat yang
bersimpati kepada Ali bin Abi Thalib radhiallahu’anhu, diantaranya ialah Salman
Al farisi (w. 35 H/655 M), Abu Zarr Al Ghifari (w. 32 H), Ammar bin Yasir (w.
37 H), dan Miqdad bin Aswad. Mereka simpati kepada Ali bin Abi Thalib
radhiallahu’anhu karena Ali banyak disebut oleh Nabi sallallahu’alaihi wasallam
sebagai orang yang utama, baik dari segi ilmu, keimanan, maupun amal shaleh.2
Kedua: pendapat yang
menganggap bahwa syiah muncul ketika Nabi sallallahu’alaihi wasallam meninggal
dunia. Pendapat ini dikemukakan oleh Abu Qasim Al Husain Al Ruh An Naubakhti
(tooh Syaih abad ke-3 H yang pertama menulis tentang Syiah) dan Ibnu Khaldun
(w. 808 H), sejahrawan dan sosiolog muslim. Menurut kedua pakar tersebut,
ketika terjadi pembaiatan Abu Bakar As Siddiq radhiallahu’anhu sebagai khalifah
di Saqifah bani Sa’idah, jenazah Nabi sallallahu’alaihi wasallam masih
terhampar dirumah beliau sallallahu’alaihi wasallam, disamping masjid Nabawi,
dan keluarga Nabi sallallahu’alaihi wasallam sendiri diantaranya Ali bin Abi
Thalib, Ibnu Abbas dan lain-lain sedang sibuk mengurus pemakaman jenazah
tesebut. Dalam situasi demikian, beberapa sahabat simpati kepada Ali bin Abi
Thalib radhiallahu’anhu dan kalangan
keluarga Nabi sallallahu’alaihi wasallam mendengar berita telah terjadi
pemilihan khalifah. Ali bin Abu Thalib radhiallahu’anhu dan kalangan keluarga
Nabi sallallahu’alaihi wasallam sendiri mngetahuinya setelah pemakaman jenazah
Nabi sallallahu’alaihi wasallam. Oleh sebab itu, mereka tidak ikut memberikan
baiat kepada Abu Bakar radhiallahu’anhu. Dari latar belakang demikian, muncul
orang-orang yang memandang hanya Ali bin Abu Thalib yang radhiallahu’anhu yang
berhak untuk menduduki jabatan itu. Kelompok inilah yang menjadi akar munculnya
kaum syiah.3
Ketiga: pendapat yang
memandang bahwa syiah muncul pada masa pemerintahan Usman bin Affan (23 H/644
M-35 H/656 M), khalifah ketiga. Pendapat ini antara lain, dikemukakan oleh Ibnu
Nadim (w. 385 H), sejahrawan klasik penulis buku Al Fihris (daftar nama-nama
buku klasik islam). Menurut pendapat ini, pemerintahan Usman bin Affan
radhiallahu’anhu dengan beberapa kelemahaannya, telah memicu sekelompok orang
memisahkan diri dari mayoritas kaum muslimin. Lalu kelompok ini mendapat
simpati dari keluarga Nabi sallallahu’alaihi wasallam . setelah Usman bin
Affan radhiallahu’anhu tewas terbunuh
ditangan kaum pemberontak dan Ali bin Abu Thalib radhiallahu’anhu dibaiat
sebagai khalifah keempat, kemudian terjadilah keretakan dikalangan kaum
muslimin, yang menimbulkan adanya tiga kelompok kaum muslimin.
Keempat: pendapat yang
memandang bahwa syiah muncul setelah Ali bin Abu Thalib radhiallahu’anhu mati
terbunuh ditangan Abdur Rahman bin Muljam, tokoh golongan Khawarij. Pendapat
ini dikemukakan oleh Taha Husain, ahli sastra dan kebudayaan dari Mesir.
Menurut Taha Husain, wacana “syiah” hanya dipakai untuk orang-orang Irak dan
Syam (Suriah) yang bersimpati kepada Ali bin Abu Thalib. Wacana tersebut
tertuang dalam naskah tahkim (perjanjian antara kelompok Ali dan Muawiyah).
Kelima: pendapat yang
memandang kemunculan syiah dapat dilihat dari dua aspek politik. Dilihat dari
aspek keagamaan, Syiah muncul pada masa Nabi sallallahu’alaihi wasallam.
Pendapat ini dikemukakan oleh Abdul Aziz Ad Dauri (ahli sejarah asal Mesir) dan
Kamil Mustafa Asy Syaibi, dosen filsafat universitas Baghdad yang banyak
mencurahkan perhatiannya pada kajian hubungan Syiah dan Tasawuf. Menurut keduanya,
kemunculan Syiah tidak bias dilihat dari satu aspek saja, karena sejak masa
Nabi sallallahu’alaihi wasallam terdapat beberapa sahabat yang merasa simpati
kepada Ali bin Abu Thalib radhiallahu’anhu atas keutamaan-keutamaannya, seperti
yang diungkapkan Nabi sallallahu’alaihi wasallam sendiri, seperti terlihat pada
pendapat pertama diatas. Mereka ini sebenarnya sudah merupakan kelompok Syiah.
Sekalipun demikian, kemunculan syiah dalam aspek politik ialah setelah
meninggalnya Ali bin Abu Thalib radhiallahu’anhu, seperti yang dikemukakan oleh
Taha Husain. Menurut ad Dauri, Syiah “dari aspek politik” muncul pada tahun
6165 H, ketika terjadi peristiwa gerakan tawwabun, yakni gerakan orang-orang
simptisan Syiah (kaum tawwabin) yang merasa bersalah atas terbunuhnya Husein
bin Ali bin Abu Thalib radhiallahu’anhuma (w. 61 H/ 680 M) di padang karbala,
karena mereka tidak membantu dan membelanya ketika terjadi peristiwa pembunuhan
itu. Oleh sebab itu, mereka ingin bertobat dari kesalahan tersebut. Gerakan ini
dipimpin oleh Sulaiman bin Sard al Khuza (sahabat Nabi sallallahu’alaihi wasallam yang ikut bersama
Ali dalam perang Siffin), Musayyab bin Nujbah Al Fazari, Abdullah bin Said bin
Nafil al Azdi, Abdullah bin wa at Tamimi, dan ibnu Syadad al Jabali (empat
orang terakhir ini adalah sahabat dekat Ali bin Abu Thalib radhiallahu’anhu
Gerakan tawwabun ini menyebut masing-masing pimpinannya itu dengan sebutan
syaikh Syiah,. Jadi nama “Syiah” mulai muncul ketika itu
Pokok
pokok pikiran dan paham Syiah
Sayyid Mahib Al Din Al Khatib dalam
bukunya Al Khutut menyebutkan pokok-pokok pikiran syiah dibawah ini5.
1. Pemunculan
kembali suatu imamah Al Mahdi dimuka bumi ini mutlak berada diatas segala
kekuasaan yang ada.
2. Al
Mahdi ialah seorang imam golongan Syiah yang 12 orang jumlahnya, masih hidup
sampai saat ini dan untuk selama-lamanya, hingga umurnya mencapai 1100 tahun.
3. Al
Mahdi akan muncul kembali pada saat tercetus revolusi dan atau pemberontakan
yang disebut oleh golongan Syiah “Tsauroh” yang memberontak kepada seluruh kekuasaan
pemerintah yang ada dimuka bumi, selain kekuasaan golongan Syiah.
4. Revolusi
yang dilancarkan oleh Al Mahdi akan menghancur leburkan semua yang imam-imam
dan khalifah-khalifah Islam, baik yang telah lampau maupun yang akan datang dan
juga yang ada dimasa kini. Dengan demikian Al Mahdi tiba dan berdaulat terhadap
semua kekuasaan muslim seluruhnya. Dan akan melakukan pembalasan-pembalasan,
menghukum dan membuat malu semua penguasa muslim yang bukan dari golongan Syiah.
5. Golongan
Syiah meyakini dan menganggap bahwa seluruh kekuasaan muslim selain dari
golongan Syiah adalh “Al Jibti” dan “At Thoghut” yakni para penguasa yang
menyesatkan umat muslimin dari kebenaran, dan para penguasa yang telah merebut
dan merampas hak golongan syiah dan mereka semua harus dibantai dan dihancur
leburkan sampai keakar-akarnya.
6. Golongan
syiah beranggapan dan bahkan berkeyakinan, bahwa Abu Bakar dan Umar bin
Khattab, kedua-duanya adalah sebagai “Toghut” dan “Jibti” dan sebagai berhala
Quraisy (Shonami Quraisy). Demikian pula semua penguasa muslim yang bukan dari
golongan Syiah dan tidak menganut haluan imamiyah golongan Syiah.
7. Golongan
Syiah beranggapan dan bahkan berkeyakinan, bahwa selain daripada imamah golongan
Syiah, maka tidak ada seorangpun berhak untuk jabatan atau memangku jabatan
Imamah muslimin.
8. Golongan
Syiah beriktikad dan berkeyakinan, bahwa Syurga hanya diperuntukan bagi
golongan Syiah, ahli bait dan para pengikutnya, yang benar-benar beriktikad dan
berkeyakinan seazas, sedang golongan lain yang bukan dari golongan Syiah semua
hanyalah penghuni neraka belaka.
9. Para
penguasa muslimin sejak dari zaman khlifah Abu Bakar, Umar, usman dan
khalifah-khalifah yang menyusul kemudian, selain Ali bin Abu Thalib serta para
penguasa yang bukan dari Imamah golongan Syiah semua mereka itu adalah penghuni
neraka belaka.
10. Golongan
Syiah pada umumnya tidak diwajibkan bersikap setia dan patu kepada pemerintah
dan penguasa yang bukan dari golongan imamah Syiah (penguasa theokrasi Syiah
membantu atau bekerjasama demi kebajikan dan kesejahteraan pemerintah atau
penguasa yang bukan dari golongan Syiah)
11. Golongan
Syiah diwajibkan melaksanakan “Taqiyah” yaitu merahasiakan dan menyembunyikan
maksud-maksud dan beriktikad serta keyakinannya dari mata penglihatan dan
dihadapan para penguasa yang bukan dari golongan Syiah. Diwajibkan atas mereka
untuk berpura-pura dan perbuatan-perbuatan yang semuanya tersamar, sehingga
tampak seolah-olah mereka memang patuh dan setia pada para pengusa dan
pemerintah yang bukan dari golongan Syiah demi mengambil manfaat dan mengeruk
keuntungan bagi kejayaan golongan Syiah dan kelapangan kelancaran dalam
melaksanakan taqiyah. Dengan demikian berarti pula bahwa sifat-sifat
kemunafikan dibenarkan bagi mereka untuk mencapai keberhasilan mksud dan tujuan
golongan Syiah.
12. Golongan
Syiah adalah mereka yang menaruh dendam kesumat serta mengutuk dan melaknat
keberhasilan perjuangan kaum muslimin yang menyebarkan syiar Islam di muka bumi
ini. Mereka menaruh dendam atas khalifah abu Bakar, Umar dan Usman. Terutama
mereka mendendam karena jatuhnya dan kehancuran Kisra Persia yang majusi,
penyembah berhala api, kemudian menyusul putra-putra Kisra yang kemudian
menganut agama Islam.
13. Golongan
Syiah merupakan suatu gerakan politik Majusi Iran (persia) yang bekedok Islam,
dengan maksud dan tujuan utamanya untuk memulihkan kembali kedaulatan Persia
Irani, dan untuk menghancurkan kepemimpinan Islam, selain dari golongan Syiah.
14. Barangsiapa
beranggapan, bahwa sah dan kebenaran khilafah abu Bakar dan Umar bin Khattab
maka mereka adalah musuh ahlul bait dan sekaligus musuh dari golongan Syiah.
15. Hak
Imamah Isamiyah mutlak merupakan hak golongan Syiah yang berimamah kepada ke
dua belas imam mereka. Barangsiapa yang memegang atau berkesempatan atau
memangku jabatan keimaman dalam Islam lewat cara-cara pemilihan atau penunjukan
umat atau rakyat, tidaklah mereka itu dianggap sebagai penguasa golongan Syiah,
karena pada hakekatnya penguasa yang demikian adalah merampas hak golongan
Syiah.
B.
Pandangan
Majelis Ulama Indonesia (Ahlu Sunnah Wal Jamaah) Terhadap Paham Sesat
Ada banyak hal
yang membuat MUI mengeluarkan fatwa haram memasuki kelompok sesat/sempalan
dalam Islam, khususnya sekarang ini yang sedang berkembang di tanah air,
seperti paham Syiah, Islam Jamaah, Darul Arqam, Ahmadiyah, Pluralisme Agama,
Jaringan Islam Liberal (JIL) dan lain-lain. Berkaitan dengan paham sesat
tersebut maka mejelis ulama Indonesia pada tahun 2007 menetapkan tanda-tanda
paham sesat, diantaranya:
1. Mengingkari
salah satu rukun iman dan rukun islam
2. Meyakini
dan mengikuti aqidah yang tidak sesuai dengan dalil Syar’i (al qur’an dan
sunnah)
3. Meyakini
turun wahyu sesudah al qur’an
4. Mengingkari
autentisitas dan kebenaran al qur’an
5. Menafsirkan
al qur’an yang tidak berdasarkan kaidah-kaidah tafsir
6. Mengingkari
kedudukan hadits sebagai sumber ajaran Islam
7. Melecehkan/mendustakan
Nabi dan Rasul
8. Mengingkari
Nabi Muhammad sebagai Nabi dan Rasul terakhir
9. Mengurangi/menambah
pokok-pokok ibadah yang tidak ditetapkan syar’iah
10. Mengkafirkan
sesama muslim hanya karena bukan kelompok6
Berdasarkan
kriteria paham sesat diatas, maka MUI dalam rapat kerja Nasiaonal telah
merekomendasikan tentang paham Syiah sebagai berikut7:
Paham Syiah
sebagai paham yang terdapat dalam Islam mempunyai perbedaan-perbedaan pokok
dengan mazhab Sunni (ahlu sunnah wal Jamaah) yang dianut oleh umat islam
Indonesia diantaranya:
1. Syiah
menolak hadits yang tidak diriwayatkan oleh ahli bait, sedangkan ahlu sunnah
wal Jamaah tidak membeda-bedakan asalkan sesuai dengan ilmu mustalah haidits.
2. Syiah
memandangan “imam” itu ma’sum (orang suci), sedang ahlu sunnah waljama’ah
sebagai manusia biasa yang tidak luput dari kekhilafan (kekhilafan).
3. Syiah
tidak mengakui ijma’ tanpa adanya “imam”, sedang ahlu sunnah waljama’ah
mengakui ijama’ tanpa masyaratkan ikut sertanya “imam”
4. Syiah
memandang bahwa menegakkan kepemimpinan/pemerintahan (imamah) adalah termasuk
rukun agama, sedang Sunni (ahlu sunnah waljama’ah) memandang dari segi
kemaslahatan umum dengan tujuan keimanan adalah untuk menjamin dan melindungi
da’wah dan kepentingan ummat
5. Syiah
pada umumnya tidak mengakui kekhalifahan Abu Bakar as Sidiq, Umar bin Khattab,
dan Usman bin Affan sedangkan ahlu sunnah waljamaah mengakui keempat
khulafa’Rasyidin (Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali)
Mengingat
perbedaan pokok antara Syiah dan Ahlu Sunnah Wal Jama’ah seperti tersebut
diatas, terutama mengenai perbedaan “Imamah”, Majelis Ulama Indonesia
menghimbau kepada umat Islam Indonesia yang berfaham Ahlu Sunnah Wal Jama’ah
agar meningkatkan kewaspadaan terhadap kemungkinan masuknya Faham yang
didasarkan atas ajaran Syiah.
C.
Pandangan
Sunni (Ahlu Sunnah Wal Jama’ah ) Terhadap Para Sahabat
Para Ulama Ahlu
Sunnah Wal Jama’ah telah memberikan suatu pengertian yang sangat jelas tentang
siapa yang dimaksud dengan para Sahabat dengan definisi yang sangat jelas. Para
sahabat adalah orang yang pernah berjumpa dengan Nabi serta beriman kepadanya
dan mati dalam keadaan Islam, baik mereka lama bersama beliau atau sebentar,
baik yang merawikan hadits dari beliau maupun yang tidak, baik yang pernah berperang
bersama beliau ataupun tidak, baik yang pernah melihat beliau dengankkepala
mata sendiri tidak bisa (pernah) melihat
beliau karena suatu sebab.8
Menurut
keyakinan Ahlu Sunnah Wal Jama’ah, para sahabat semuanya adalah orang-orang
yang adil, baik dan mulia. Keyakinan ini berdasarkan suatu kenyataan diman
Allah dan RasulNya telah memberikan penghormatan dan sanjungan kepada akhlak
mereka. Mereka telah banyak mengorbankan harta dan jiwanya dihadapan Rasulullah
karena keinginan mereka begitu tinggi untuk memperoleh pahala disisi Allah.
Adapun perselisihan yang terjadi diantara mereka (jika ada) setelah Rasulullah
meninggal sangatlah sedikit. Dalam berijtihad misalnya, ada ijtihad diantara
mereka yang keliru atau salah, mereka dimaafkan oleh Allah, bahkan mereka masih
memperoleh pahala dari Allah.
Dalil-dalil yang
menyebutkan tentang keutamaan para sahabt Rasulullah berasal dari berbagai
sumber baik al Qur’an, As Sunnah, maupun keterangan dari kalangan para ulama
Ahlu Sunnah Wal Jama’ah itu sendiri. Diantaranya:
1. Dalil
dari al Qur’an
Orang-orang
yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan
anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada
mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka
surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. mereka
kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.
(QS. At Taubah: 100)
2. Dalil
As Sunnah
Abu Said Al Khudri mengatakan,
Rasulullah bersabda:
“Janganlah kamu mencaci maki seorangpun diantara para Sahabatku.
Sekiranya salah seorang diantara kamu menginfakan emas sebesar (bukit) Uhud,
(nilainya) tidak akan lebih besar dari satu mud yang mereka infakan, bahkan
setengahpun tidak” (HR. Muslim)9
Imran bin Husain meriwayatkan,
Rasulullah salallahu’alaihi wasallam bersabda:
“ Sebaik-baik manusia adalah kurun (generasi)ku, kemudian mereka yang
berikutnya, kemudian mereka yang berikutnya.” (HR.Muslim)10
Irabad bin Sariyah, ia mengatakan
pada suatu hari Rasulullah shalat bersama kami, kemudian beliau menghadap
kepada kami lalu memberi kami nasehat yang menyebabkan air mata bercucuran dan
hati bergetar. Salah seorang diantara kami ada yang bertanya “Ya Rasulullah seolah-olah ini adalah nasehat
yang terakhir, apa yang engkau katakana kepada kami?” Rasulullah menjawab:
“Aku wasiatkan kepada kamu sekalian
supaya kamu tetap bertakwa kepada Allah, tetap mendengar dan taat perintah,
sekalipun diperintah oleh seorang hamba Habasyih (seorang hamba yang berkulit
hitam). Sesungguhnya barangsiapa nanti diantara kamu yang hidup lama sesudahku
akan melihat perselisihan yang banyak. Dan berpegang teguhlah kepada Sunnahku
dan Sunnah khulaur Rasyidin yang diberi petunjuk sesudahku. Dan berpegang
teguhlah kepada sunnah itu dengan kokoh serta hindarilah perbuatan bid’ah,
sebab sesungguhnya semua bid’ah itu sesat.” (HR. Abu Dawud)11
Hadits yang diriwayatkan dari Said
bin Zaid ia mengatakan bahwa dia pernah mendengar dari Rasulullah bersabda:
“Ada sepuluh orang yang dijamin masuk syurga: Nabi masuk syurga, Abu
Bakar masuk syurga, Umar masuk syurga, Usman masuk syurga, Ali masuk Syurga,
Talhah masuk syurga, Abdurrahman bin Auf masuk syurga, jika aku mau aku akan
menyebutkan (nama yang kesepuluh)”Said bin zaid” mengatakan, mereka (para
sahabat) bertanya, “Siapa dia Ya
Rasulullah?” Beliau diam. Mereka bertanya lagi, “Siapakah dia?” beliau menjawab “Said
bin Zaid” (HR. Abu Dawud)1
Catatan
kaki
1.
Dictionary of islam,
Thomas Patriek Hughes, h. 572
2.
Ensiklopedi hukum
islam, jilid 5, h. 1702
3.
The Oxford Encyclopedia
of the modern.
4.
Ibid. lihat juga
Islamic modern World, Jilid 4, h. 303
5.
Al Khuthut al Aridhah,
Sajid Muhibuddin al Khatib, h. 63-64
6.
Himpunan fatwa MUI,
2010, h. 38-50
7.
Ibid, h.50
8.
Panduan aqidah ahlu
sunnah wal jama’ah, Darwis Abu Ubaidah, hal. 267. Lihat juga Ahmad Muhammad
Syakir, Al baits Al Haits Syarh Ikhtibar
Ulum Al Hadits, h. 176-177
9.
Shahih Muslim bi Syarh
An Nawawi, kitab Fadhail Ash Shahabah, bab Tahrim Sabbi As Shahabah (no. 221)
10. Shahih
Al Bukhari, kitab Fadhail As Shahabah, 4/189; Sahih Muslim bi Syarh An Nawawi,
kitab Fadhail Ash Shahabah, Bab kitab Fadhail Ash Shahabah (no. 212)
11. Sunan
Abi Dawud, Kitab As sunnah, Bab fi luzum As Sunnah (no. 4607); Sunan Ibnu
Majah, Kitab al Muqaddimah, Bab It Tiba’ Sunnah Al Khulafa’ Ar Rasyidin (no.
42); Musnad Imam Ahmad, 4/126-127
12. Ibid