pasang iklan
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

Wednesday 11 February 2015

Pandangan Ulama Sunni (Ahlus Sunnah Waljama’ah) Tentang Syiah



Oleh:
Prof.Dr.H. Minhajuddin, MA
Ketua Komisi Fatwa MUI Sul-Sel
A.       Syiah Dan Pemikirannya
Syiah (Ar: sy’iah= golongan, kelompok, pengikut, penyokong). Istilah syiah lebih dikenal dalam islam sebagai nama kelompok muslim pengikut Ali bin Abi Thalib radhiallahu’anhu dan penyokongnya. Mereka berpendapat bahwa pergantian Nabi Muhammad sallallahu’alaihi wasallam dalam bidang pemerintahan adalah hak istimewa kalangan keluarga Nabi sallallahu’alaihi wasallam. Dalam bidang pengetahuan dan kebudayaan islam mereka adalah pengikut mazhab-mazhab ahlulbait (mazhab-mazhab keluarga Nabi sallallahu’alaihi wasallam)1
Para peneliti berbeda pendapat dalam melihat permulaan munculnya kelompok syiah, diantaranya:
Pertama: pendapat yang memandang bahwa syiah muncul ketika Nabi sallallahu’alaihi wasallam masih hidup. Pendapat ini dikemukakan oleh Muhammad Husain Kasyif Al Gita (seorang mujtahid syiah kontenporer asal Irak) dan Ahmad Amin (sarjana sejarah dan kebudayaan Islam asal Mesir). Menurut kedua tokohh tersebut, sejak masa Nabi sallallahu’alaihi wasallam masih hidup terdapat beberapa sahabat yang bersimpati kepada Ali bin Abi Thalib radhiallahu’anhu, diantaranya ialah Salman Al farisi (w. 35 H/655 M), Abu Zarr Al Ghifari (w. 32 H), Ammar bin Yasir (w. 37 H), dan Miqdad bin Aswad. Mereka simpati kepada Ali bin Abi Thalib radhiallahu’anhu karena Ali banyak disebut oleh Nabi sallallahu’alaihi wasallam sebagai orang yang utama, baik dari segi ilmu, keimanan, maupun amal shaleh.2
Kedua: pendapat yang menganggap bahwa syiah muncul ketika Nabi sallallahu’alaihi wasallam meninggal dunia. Pendapat ini dikemukakan oleh Abu Qasim Al Husain Al Ruh An Naubakhti (tooh Syaih abad ke-3 H yang pertama menulis tentang Syiah) dan Ibnu Khaldun (w. 808 H), sejahrawan dan sosiolog muslim. Menurut kedua pakar tersebut, ketika terjadi pembaiatan Abu Bakar As Siddiq radhiallahu’anhu sebagai khalifah di Saqifah bani Sa’idah, jenazah Nabi sallallahu’alaihi wasallam masih terhampar dirumah beliau sallallahu’alaihi wasallam, disamping masjid Nabawi, dan keluarga Nabi sallallahu’alaihi wasallam sendiri diantaranya Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas dan lain-lain sedang sibuk mengurus pemakaman jenazah tesebut. Dalam situasi demikian, beberapa sahabat simpati kepada Ali bin Abi Thalib radhiallahu’anhu  dan kalangan keluarga Nabi sallallahu’alaihi wasallam mendengar berita telah terjadi pemilihan khalifah. Ali bin Abu Thalib radhiallahu’anhu dan kalangan keluarga Nabi sallallahu’alaihi wasallam sendiri mngetahuinya setelah pemakaman jenazah Nabi sallallahu’alaihi wasallam. Oleh sebab itu, mereka tidak ikut memberikan baiat kepada Abu Bakar radhiallahu’anhu. Dari latar belakang demikian, muncul orang-orang yang memandang hanya Ali bin Abu Thalib yang radhiallahu’anhu yang berhak untuk menduduki jabatan itu. Kelompok inilah yang menjadi akar munculnya kaum syiah.3
Ketiga: pendapat yang memandang bahwa syiah muncul pada masa pemerintahan Usman bin Affan (23 H/644 M-35 H/656 M), khalifah ketiga. Pendapat ini antara lain, dikemukakan oleh Ibnu Nadim (w. 385 H), sejahrawan klasik penulis buku Al Fihris (daftar nama-nama buku klasik islam). Menurut pendapat ini, pemerintahan Usman bin Affan radhiallahu’anhu dengan beberapa kelemahaannya, telah memicu sekelompok orang memisahkan diri dari mayoritas kaum muslimin. Lalu kelompok ini mendapat simpati dari keluarga Nabi sallallahu’alaihi wasallam . setelah Usman bin Affan  radhiallahu’anhu tewas terbunuh ditangan kaum pemberontak dan Ali bin Abu Thalib radhiallahu’anhu dibaiat sebagai khalifah keempat, kemudian terjadilah keretakan dikalangan kaum muslimin, yang menimbulkan adanya tiga kelompok kaum muslimin.
Keempat: pendapat yang memandang bahwa syiah muncul setelah Ali bin Abu Thalib radhiallahu’anhu mati terbunuh ditangan Abdur Rahman bin Muljam, tokoh golongan Khawarij. Pendapat ini dikemukakan oleh Taha Husain, ahli sastra dan kebudayaan dari Mesir. Menurut Taha Husain, wacana “syiah” hanya dipakai untuk orang-orang Irak dan Syam (Suriah) yang bersimpati kepada Ali bin Abu Thalib. Wacana tersebut tertuang dalam naskah tahkim (perjanjian antara kelompok Ali dan Muawiyah).
Kelima: pendapat yang memandang kemunculan syiah dapat dilihat dari dua aspek politik. Dilihat dari aspek keagamaan, Syiah muncul pada masa Nabi sallallahu’alaihi wasallam. Pendapat ini dikemukakan oleh Abdul Aziz Ad Dauri (ahli sejarah asal Mesir) dan Kamil Mustafa Asy Syaibi, dosen filsafat universitas Baghdad yang banyak mencurahkan perhatiannya pada kajian hubungan Syiah dan Tasawuf. Menurut keduanya, kemunculan Syiah tidak bias dilihat dari satu aspek saja, karena sejak masa Nabi sallallahu’alaihi wasallam terdapat beberapa sahabat yang merasa simpati kepada Ali bin Abu Thalib radhiallahu’anhu atas keutamaan-keutamaannya, seperti yang diungkapkan Nabi sallallahu’alaihi wasallam sendiri, seperti terlihat pada pendapat pertama diatas. Mereka ini sebenarnya sudah merupakan kelompok Syiah. Sekalipun demikian, kemunculan syiah dalam aspek politik ialah setelah meninggalnya Ali bin Abu Thalib radhiallahu’anhu, seperti yang dikemukakan oleh Taha Husain. Menurut ad Dauri, Syiah “dari aspek politik” muncul pada tahun 6165 H, ketika terjadi peristiwa gerakan tawwabun, yakni gerakan orang-orang simptisan Syiah (kaum tawwabin) yang merasa bersalah atas terbunuhnya Husein bin Ali bin Abu Thalib radhiallahu’anhuma (w. 61 H/ 680 M) di padang karbala, karena mereka tidak membantu dan membelanya ketika terjadi peristiwa pembunuhan itu. Oleh sebab itu, mereka ingin bertobat dari kesalahan tersebut. Gerakan ini dipimpin oleh Sulaiman bin Sard al Khuza (sahabat Nabi  sallallahu’alaihi wasallam yang ikut bersama Ali dalam perang Siffin), Musayyab bin Nujbah Al Fazari, Abdullah bin Said bin Nafil al Azdi, Abdullah bin wa at Tamimi, dan ibnu Syadad al Jabali (empat orang terakhir ini adalah sahabat dekat Ali bin Abu Thalib radhiallahu’anhu Gerakan tawwabun ini menyebut masing-masing pimpinannya itu dengan sebutan syaikh Syiah,. Jadi nama “Syiah” mulai muncul ketika itu
Pokok pokok pikiran dan paham Syiah
           Sayyid Mahib Al Din Al Khatib dalam bukunya Al Khutut menyebutkan pokok-pokok pikiran syiah dibawah ini5.
1.      Pemunculan kembali suatu imamah Al Mahdi dimuka bumi ini mutlak berada diatas segala kekuasaan yang ada.
2.      Al Mahdi ialah seorang imam golongan Syiah yang 12 orang jumlahnya, masih hidup sampai saat ini dan untuk selama-lamanya, hingga umurnya mencapai 1100 tahun.
3.      Al Mahdi akan muncul kembali pada saat tercetus revolusi dan atau pemberontakan yang disebut oleh golongan Syiah “Tsauroh” yang memberontak kepada seluruh kekuasaan pemerintah yang ada dimuka bumi, selain kekuasaan golongan Syiah.
4.      Revolusi yang dilancarkan oleh Al Mahdi akan menghancur leburkan semua yang imam-imam dan khalifah-khalifah Islam, baik yang telah lampau maupun yang akan datang dan juga yang ada dimasa kini. Dengan demikian Al Mahdi tiba dan berdaulat terhadap semua kekuasaan muslim seluruhnya. Dan akan melakukan pembalasan-pembalasan, menghukum dan membuat malu semua penguasa muslim yang bukan dari golongan Syiah.
5.      Golongan Syiah meyakini dan menganggap bahwa seluruh kekuasaan muslim selain dari golongan Syiah adalh “Al Jibti” dan “At Thoghut” yakni para penguasa yang menyesatkan umat muslimin dari kebenaran, dan para penguasa yang telah merebut dan merampas hak golongan syiah dan mereka semua harus dibantai dan dihancur leburkan sampai keakar-akarnya.
6.      Golongan syiah beranggapan dan bahkan berkeyakinan, bahwa Abu Bakar dan Umar bin Khattab, kedua-duanya adalah sebagai “Toghut” dan “Jibti” dan sebagai berhala Quraisy (Shonami Quraisy). Demikian pula semua penguasa muslim yang bukan dari golongan Syiah dan tidak menganut haluan imamiyah golongan Syiah.
7.      Golongan Syiah beranggapan dan bahkan berkeyakinan, bahwa selain daripada imamah golongan Syiah, maka tidak ada seorangpun berhak untuk jabatan atau memangku jabatan Imamah muslimin.
8.      Golongan Syiah beriktikad dan berkeyakinan, bahwa Syurga hanya diperuntukan bagi golongan Syiah, ahli bait dan para pengikutnya, yang benar-benar beriktikad dan berkeyakinan seazas, sedang golongan lain yang bukan dari golongan Syiah semua hanyalah penghuni neraka belaka.
9.      Para penguasa muslimin sejak dari zaman khlifah Abu Bakar, Umar, usman dan khalifah-khalifah yang menyusul kemudian, selain Ali bin Abu Thalib serta para penguasa yang bukan dari Imamah golongan Syiah semua mereka itu adalah penghuni neraka belaka.
10.  Golongan Syiah pada umumnya tidak diwajibkan bersikap setia dan patu kepada pemerintah dan penguasa yang bukan dari golongan imamah Syiah (penguasa theokrasi Syiah membantu atau bekerjasama demi kebajikan dan kesejahteraan pemerintah atau penguasa yang bukan dari golongan Syiah)
11.  Golongan Syiah diwajibkan melaksanakan “Taqiyah” yaitu merahasiakan dan menyembunyikan maksud-maksud dan beriktikad serta keyakinannya dari mata penglihatan dan dihadapan para penguasa yang bukan dari golongan Syiah. Diwajibkan atas mereka untuk berpura-pura dan perbuatan-perbuatan yang semuanya tersamar, sehingga tampak seolah-olah mereka memang patuh dan setia pada para pengusa dan pemerintah yang bukan dari golongan Syiah demi mengambil manfaat dan mengeruk keuntungan bagi kejayaan golongan Syiah dan kelapangan kelancaran dalam melaksanakan taqiyah. Dengan demikian berarti pula bahwa sifat-sifat kemunafikan dibenarkan bagi mereka untuk mencapai keberhasilan mksud dan tujuan golongan Syiah.
12.  Golongan Syiah adalah mereka yang menaruh dendam kesumat serta mengutuk dan melaknat keberhasilan perjuangan kaum muslimin yang menyebarkan syiar Islam di muka bumi ini. Mereka menaruh dendam atas khalifah abu Bakar, Umar dan Usman. Terutama mereka mendendam karena jatuhnya dan kehancuran Kisra Persia yang majusi, penyembah berhala api, kemudian menyusul putra-putra Kisra yang kemudian menganut agama Islam.
13.  Golongan Syiah merupakan suatu gerakan politik Majusi Iran (persia) yang bekedok Islam, dengan maksud dan tujuan utamanya untuk memulihkan kembali kedaulatan Persia Irani, dan untuk menghancurkan kepemimpinan Islam, selain dari golongan Syiah.
14.  Barangsiapa beranggapan, bahwa sah dan kebenaran khilafah abu Bakar dan Umar bin Khattab maka mereka adalah musuh ahlul bait dan sekaligus musuh dari golongan Syiah.
15.  Hak Imamah Isamiyah mutlak merupakan hak golongan Syiah yang berimamah kepada ke dua belas imam mereka. Barangsiapa yang memegang atau berkesempatan atau memangku jabatan keimaman dalam Islam lewat cara-cara pemilihan atau penunjukan umat atau rakyat, tidaklah mereka itu dianggap sebagai penguasa golongan Syiah, karena pada hakekatnya penguasa yang demikian adalah merampas hak golongan Syiah.

B.        Pandangan Majelis Ulama Indonesia (Ahlu Sunnah Wal Jamaah) Terhadap Paham Sesat
Ada banyak hal yang membuat MUI mengeluarkan fatwa haram memasuki kelompok sesat/sempalan dalam Islam, khususnya sekarang ini yang sedang berkembang di tanah air, seperti paham Syiah, Islam Jamaah, Darul Arqam, Ahmadiyah, Pluralisme Agama, Jaringan Islam Liberal (JIL) dan lain-lain. Berkaitan dengan paham sesat tersebut maka mejelis ulama Indonesia pada tahun 2007 menetapkan tanda-tanda paham sesat, diantaranya:
1.      Mengingkari salah satu rukun iman dan rukun islam
2.      Meyakini dan mengikuti aqidah yang tidak sesuai dengan dalil Syar’i (al qur’an dan sunnah)
3.      Meyakini turun wahyu sesudah al qur’an
4.      Mengingkari autentisitas dan kebenaran al qur’an
5.      Menafsirkan al qur’an yang tidak berdasarkan kaidah-kaidah tafsir
6.      Mengingkari kedudukan hadits sebagai sumber ajaran Islam
7.      Melecehkan/mendustakan Nabi dan Rasul
8.      Mengingkari Nabi Muhammad sebagai Nabi dan Rasul terakhir
9.      Mengurangi/menambah pokok-pokok ibadah yang tidak ditetapkan syar’iah
10.  Mengkafirkan sesama muslim hanya karena bukan kelompok6
Berdasarkan kriteria paham sesat diatas, maka MUI dalam rapat kerja Nasiaonal telah merekomendasikan tentang paham Syiah sebagai berikut7:
Paham Syiah sebagai paham yang terdapat dalam Islam mempunyai perbedaan-perbedaan pokok dengan mazhab Sunni (ahlu sunnah wal Jamaah) yang dianut oleh umat islam Indonesia diantaranya:
1.      Syiah menolak hadits yang tidak diriwayatkan oleh ahli bait, sedangkan ahlu sunnah wal Jamaah tidak membeda-bedakan asalkan sesuai dengan ilmu mustalah haidits.
2.      Syiah memandangan “imam” itu ma’sum (orang suci), sedang ahlu sunnah waljama’ah sebagai manusia biasa yang tidak luput dari kekhilafan (kekhilafan).
3.      Syiah tidak mengakui ijma’ tanpa adanya “imam”, sedang ahlu sunnah waljama’ah mengakui ijama’ tanpa masyaratkan ikut sertanya “imam”
4.      Syiah memandang bahwa menegakkan kepemimpinan/pemerintahan (imamah) adalah termasuk rukun agama, sedang Sunni (ahlu sunnah waljama’ah) memandang dari segi kemaslahatan umum dengan tujuan keimanan adalah untuk menjamin dan melindungi da’wah dan kepentingan ummat
5.      Syiah pada umumnya tidak mengakui kekhalifahan Abu Bakar as Sidiq, Umar bin Khattab, dan Usman bin Affan sedangkan ahlu sunnah waljamaah mengakui keempat khulafa’Rasyidin (Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali)
Mengingat perbedaan pokok antara Syiah dan Ahlu Sunnah Wal Jama’ah seperti tersebut diatas, terutama mengenai perbedaan “Imamah”, Majelis Ulama Indonesia menghimbau kepada umat Islam Indonesia yang berfaham Ahlu Sunnah Wal Jama’ah agar meningkatkan kewaspadaan terhadap kemungkinan masuknya Faham yang didasarkan atas ajaran Syiah.

C.       Pandangan Sunni (Ahlu Sunnah Wal Jama’ah ) Terhadap Para Sahabat
Para Ulama Ahlu Sunnah Wal Jama’ah telah memberikan suatu pengertian yang sangat jelas tentang siapa yang dimaksud dengan para Sahabat dengan definisi yang sangat jelas. Para sahabat adalah orang yang pernah berjumpa dengan Nabi serta beriman kepadanya dan mati dalam keadaan Islam, baik mereka lama bersama beliau atau sebentar, baik yang merawikan hadits dari beliau maupun yang tidak, baik yang pernah berperang bersama beliau ataupun tidak, baik yang pernah melihat beliau dengankkepala mata sendiri  tidak bisa (pernah) melihat beliau karena suatu sebab.8
Menurut keyakinan Ahlu Sunnah Wal Jama’ah, para sahabat semuanya adalah orang-orang yang adil, baik dan mulia. Keyakinan ini berdasarkan suatu kenyataan diman Allah dan RasulNya telah memberikan penghormatan dan sanjungan kepada akhlak mereka. Mereka telah banyak mengorbankan harta dan jiwanya dihadapan Rasulullah karena keinginan mereka begitu tinggi untuk memperoleh pahala disisi Allah. Adapun perselisihan yang terjadi diantara mereka (jika ada) setelah Rasulullah meninggal sangatlah sedikit. Dalam berijtihad misalnya, ada ijtihad diantara mereka yang keliru atau salah, mereka dimaafkan oleh Allah, bahkan mereka masih memperoleh pahala dari Allah.
Dalil-dalil yang menyebutkan tentang keutamaan para sahabt Rasulullah berasal dari berbagai sumber baik al Qur’an, As Sunnah, maupun keterangan dari kalangan para ulama Ahlu Sunnah Wal Jama’ah itu sendiri. Diantaranya:
1.      Dalil dari al Qur’an

Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar. (QS. At Taubah: 100)

2.      Dalil As Sunnah
Abu Said Al Khudri mengatakan, Rasulullah bersabda:
Janganlah kamu mencaci maki seorangpun diantara para Sahabatku. Sekiranya salah seorang diantara kamu menginfakan emas sebesar (bukit) Uhud, (nilainya) tidak akan lebih besar dari satu mud yang mereka infakan, bahkan setengahpun tidak” (HR. Muslim)9
Imran bin Husain meriwayatkan, Rasulullah salallahu’alaihi wasallam bersabda:
Sebaik-baik manusia adalah kurun (generasi)ku, kemudian mereka yang berikutnya, kemudian mereka yang berikutnya.” (HR.Muslim)10
Irabad bin Sariyah, ia mengatakan pada suatu hari Rasulullah shalat bersama kami, kemudian beliau menghadap kepada kami lalu memberi kami nasehat yang menyebabkan air mata bercucuran dan hati bergetar. Salah seorang diantara kami ada yang bertanya “Ya Rasulullah seolah-olah ini adalah nasehat yang terakhir, apa yang engkau katakana kepada kami?” Rasulullah menjawab: “Aku wasiatkan kepada kamu sekalian supaya kamu tetap bertakwa kepada Allah, tetap mendengar dan taat perintah, sekalipun diperintah oleh seorang hamba Habasyih (seorang hamba yang berkulit hitam). Sesungguhnya barangsiapa nanti diantara kamu yang hidup lama sesudahku akan melihat perselisihan yang banyak. Dan berpegang teguhlah kepada Sunnahku dan Sunnah khulaur Rasyidin yang diberi petunjuk sesudahku. Dan berpegang teguhlah kepada sunnah itu dengan kokoh serta hindarilah perbuatan bid’ah, sebab sesungguhnya semua bid’ah itu sesat.” (HR. Abu Dawud)11
Hadits yang diriwayatkan dari Said bin Zaid ia mengatakan bahwa dia pernah mendengar dari Rasulullah bersabda:
Ada sepuluh orang yang dijamin masuk syurga: Nabi masuk syurga, Abu Bakar masuk syurga, Umar masuk syurga, Usman masuk syurga, Ali masuk Syurga, Talhah masuk syurga, Abdurrahman bin Auf masuk syurga, jika aku mau aku akan menyebutkan (nama yang kesepuluh)”Said bin zaid” mengatakan, mereka (para sahabat) bertanya, “Siapa dia Ya Rasulullah?” Beliau diam. Mereka bertanya lagi, “Siapakah dia?” beliau menjawab “Said bin Zaid” (HR. Abu Dawud)1

Catatan kaki
1.        Dictionary of islam, Thomas Patriek Hughes, h. 572
2.        Ensiklopedi hukum islam, jilid 5, h. 1702
3.        The Oxford Encyclopedia of the modern.
4.        Ibid. lihat juga Islamic modern World, Jilid 4, h. 303
5.        Al Khuthut al Aridhah, Sajid Muhibuddin al Khatib, h. 63-64
6.        Himpunan fatwa MUI, 2010, h. 38-50
7.        Ibid, h.50
8.        Panduan aqidah ahlu sunnah wal jama’ah, Darwis Abu Ubaidah, hal. 267. Lihat juga Ahmad Muhammad Syakir, Al baits Al Haits Syarh Ikhtibar  Ulum Al Hadits, h. 176-177
9.        Shahih Muslim bi Syarh An Nawawi, kitab Fadhail Ash Shahabah, bab Tahrim Sabbi As Shahabah (no. 221)
10.     Shahih Al Bukhari, kitab Fadhail As Shahabah, 4/189; Sahih Muslim bi Syarh An Nawawi, kitab Fadhail Ash Shahabah, Bab kitab Fadhail Ash Shahabah (no. 212)
11.     Sunan Abi Dawud, Kitab As sunnah, Bab fi luzum As Sunnah (no. 4607); Sunan Ibnu Majah, Kitab al Muqaddimah, Bab It Tiba’ Sunnah Al Khulafa’ Ar Rasyidin (no. 42); Musnad Imam Ahmad, 4/126-127
12.     Ibid

Saturday 7 February 2015

Nikah Mut’ah Dalam Islam

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Saya ingin menanyakan tentang nikah mut’ah dalam Islam. Saya janda dengan dua orang anak yang ditinggal suami karena kematian. Saat ini saya menjalani pernikahan mut’ah dengan seorang laki-laki sudah dua tahun lamanya. Kami menikah dengan alasan tidak mau tidak dijalan Allah, saat kami menikah tidak ada siapapun yang tahu tentang pernikahan kami. Waktu terus berlanjut, tapi setiap saya menanyakannya tentang kapan pastinya pernikahan yang sesungguhnya akan dijalankan, pasangan saya selalu bicara dua tahun lagi. Saya mendesak banget kare keluarga juga sudah bertanya dan saya memikirkan perkembangan anak-anak saya nanti. Dia menunda pernikahan yang sebenarnya dengan alas an ada hal-hal yang harus dia buktikan dahulu (pekerjaan) kepada keluarganya. Padahal anak-anak saya sudah merasa bahwa dia adalah bapak mereka dan saya meyakini kalau rezeki tidak akan ke mana. Terus terang pengetahuan saya tentang aturan pernikahan memang tidak banyak, malah dahulu dia yang menyarankan untuk dilakukannya nikah mut’ah antara kami. Yang menjadi pertanyaan saya adalah:
1. Apa dan bagaimana aturan/hadis tentang nikah mut’ah dalam Islam?
2. Sampai kapan nikah mut’ah itu berlaku?
3. Apa yang bisa saya jadikan alas an kuat kepada pasangan agar dapat segera melangsungkan pernikahan sesungguhnya?
Demikian, dan terimakasih atas bimbingannya
Wassalam,
Khadijah.
Jawab:
Alhamdulillah, was-shalatu was-salamu ‘ala rasulillah, la haula wala quwwata illa billah, waba’du.
Ibu Khadijah yang budiman, Saya mengapresiasi usaha ibu yang selalu mencari kebenaran, termasuk dalam hal status perkawinan ibu. Perlu diketahui, bahwa kebenaran menurut ajaran Islam adalah jika sesuai dengan firman Allah SWT dalam al-Quran al-karim dan sesuai dengan petunjuk Rasulullah SAW dalam sunnahnya, sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadis yang artinya :
“Aku tinggalkan kepada kalian dua hal yang kalian tidak akan tersesat jika berpegang teguh kepada keduanya: kitab Allah (al-quran) dan sunnah rasulNya” .
Dari hadis tersebut dapat diketahui bahwa ajaran yang tidak sesuai dengan kitabullah dan sunnah rasulNya adalah ajaran yang tersesat jalan, termasuk dalam hal pernikahan.
Dalam ajaran Islam, maksud utama dari pernikahan itu selain sebagai ibadah adalah untuk membangun ikatan keluarga yang langgeng (mitsaqan ghalidzha) yang dipenuhi dengan sinar kedamaian (sakinah), saling cinta (mawaddah), dan saling kasih-sayang (rahmah). Dengan begitu, ikatan pernikahan yang tidak ditujukan untuk membangun rumah tangga secara langgeng, tidaklah sesuai dengan tujuan ajaran Islam.
Di samping itu, jika kita tengok sejarah awal Islam, di mana ketika itu masyarakat jahiliyah tidak memberikan kepada wanita hak-haknya sebagaimana mestinya karena wanita ketika itu lebih dianggap sebagai barang yang bisa ditukar seenaknya, dapat kita ketahui betapa ajaran Islam menginginkan agar para wanita dapat diberikan hak-haknya sebagaimana mestinya. Oleh karenanya, dengan syariat nikah menurut Islam ini, ajaran Islam ingin melindungi para wanita untuk mendapatkan hak-haknya. Para wanita tidak dapat dipertukarkan lagi sebagaimana zaman jahiliyah. Para wanita selain harus menjalankan kewajibannya sebagai istri, juga mempunyai hak untuk diperlakukan secara baik (mu’asyarah bil ma’ruf), dan ketika suami meninggal ia juga dapat bagian dari harta warisan.
Demikian tujuan nikah menurut ajaran Islam. Sedangkan nikah mut’ah adalah nikah kontrak dalam jangka waktu tertentu, sehingga apabila waktunya telah habis maka dengan sendirinya nikah tersebut bubar tanpa adanya talak. Dalam nikah mut’ah si wanita yang menjadi istri juga tidak mempunyai hak waris jika si suami meninggal. Dengan begitu, tujuan nikah mut’ah ini tidak sesuai dengan tujuan nikah menurut ajaran Islam sebagaimana disebutkan di atas, dan dalam nikah mut’ah ini pihak wanita teramat sangat dirugikan. Oleh karenanya nikah mut’ah ini dilarang oleh Islam.
Dalam hal ini syaikh al-Bakri dalam kitabnya I’anah at-Thalibin menyatakan yang artinya:
“Kesimpulannya, nikah mut’ah ini haram hukumnya. Nikah ini disebut nikah mut’ah karena tujuannya adalah untuk mencari kesenangan belaka, tidak untuk membangun rumah tangga yang melahirkan anak dan juga saling mewarisi, yang keduanya merupakan tujuan utama dari ikatan pernikahan dan menimbulkan konsekwensi langgengnya pernikahan”.
Memang benar bahwa nikah mut’ah ini pernah dibolehkan ketika awal Islam, tapi kemudian diharamkan, sebagaimana dinyatakan oleh al-Imam an-Nawawi dalam kitabnya Syarh Shahih Muslim yang artinya:
“yang benar dalam masalah nikah mut’ah ini adalah bahwa pernah dibolehkan dan kemudian diharamkan sebanyak dua kali; yakni dibolehkan sebelum perang Khaibar, tapi kemudian diharamkan ketika perang Khaibar. Kemudian dibolehkan selama tiga hari ketika fathu Makkah, atau hari perang Authas, kemudian setelah itu diharamkan untuk selamanya sampai hari kiamat”.
Alasan kenapa ketika itu dibolehkan melaksanakan nikah mut’ah, karena ketika itu dalam keadaan perang yang jauh dari istri, sehingga para sahabat yang ikut perang merasa sangat berat. Dan lagi pada masa itu masih dalam masa peralihan dari kebiasaan zaman jahiliyah. Jadi wajar jika Allah memberikan keringanan (rukhshah) bagi para sahabat ketika itu.
Ada pendapat yang membolehkan nikah mut’ah ini berdasarkan fatwa sahabat Ibnu Abbas r.a., padahal fatwa tersebut telah direvisi oleh Ibnu Abbas sendiri, sebagaimana disebutkan dalam kitab fiqh as-sunnah yang artinya:
Diriwayatkan dari beberapa sahabat dan beberapa tabi’in bahwa nikah mut’ah hukumnya boleh, dan yang paling populer pendapat ini dinisbahkan kepada sahabat Ibnu Abbas r.a., dan dalam kitab Tahzhib as-Sunan dikatakan: sedangkan Ibnu Abbas membolehkan nikah mut’ah ini tidaklah secara mutlak, akan tetapi hanya ketika dalam keadaan dharurat. Akan tetapi ketika banyak yang melakukannya dengan tanpa mempertimbangkan kedharuratannya, maka ia merefisi pendapatnya tersebut. Ia berkata: “inna lillahi wainna ilaihi raji’un, demi Allah saya tidak memfatwakan seperti itu (hanya untuk kesenangan belaka), tidak seperti itu yang saya inginkan. Saya tidak menghalalkan nikah mut’ah kecuali ketika dalam keadaan dharurat, sebagaimana halalnya bangkai, darah dan daging babi ketika dalam keadaan dharurat, yang asalnya tidak halal kecuali bagi orang yang kepepet dalam keadaan dharurat. Nikah mut’ah itu sama seperti bangkai, darah, dan daging babi, yang awalnya haram hukumnya, tapi ketika dalam keadaan dharurat maka hukumnya menjadi boleh”
Namun demikian, pendapat yang menghalalkan nikah mut’ah tersebut tidaklah kuat untuk dijadikan dasar hukum. Sedangkan pendapat yang mengharamkannya dasar hukumnya sangat kuat, sebab dilandaskan di atas hadis shahih yang artinya :
“Diriwayatkan bahwa sahabat Ali r.a. berkata: Rasulullah s.a.w. melarang nikah mut’ah ketika perang Khaibar” Hadis dianggap shahih oleh imam Bukhari dan Muslim.
Hadis lain menyatakan:
“Diriwayatkan bahwa sahabat Salamah bin al-Akwa’ r.a. berkata: Rasulullah s.a.w. memperbolehkan nikah mut’ah selama tiga hari pada tahun Authas (ketika ditundukkannya Makkah, fathu Makkah) kemudian (setelah itu) melarangnya” HR. Muslim.
Di hadis lain disebutkan:
“Diriwayatkan dari Rabi’ bin Sabrah r.a. sesungguhnya rasulullah s.a.w. bersabda: “wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku pernah mengizinkan nikah mut’ah, dan sesungguhnya Allah telah mengharamkannya sampai hari kiamat, oleh karenanya barangsiapa yang masih mempunyai ikatan mut’ah maka segera lepaskanlah, dan jangan kalian ambil apa yang telah kalian berikan kepada wanita yang kalian mut’ah” HR. Muslim, Abu Dawud, an-Nasai, Ibnu Majah, Ahmad, dan Ibnu Hibban.
Hadis-hadis tersebut cukup kuat untuk dijadikan pijakan menetapkan hukum haram bagi nikah mut’ah, dan sangat terang benderang menjelaskan bahwa Islam melarang nikah mut’ah. Oleh karena itu, jika saat ini ada yang melaksanakan nikah mut’ah maka ia telah dianggap melanggar ajaran Islam dan secara otomatis nikahnya tersebut batal, sebagaimana disebutkan oleh al-Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim:
“Para ulama sepakat (ijma’) bahwa jika saat ini ada yang melaksanakan nikah mut’ah maka hukumnya tidak sah (batal), baik sebelum atau sesudah dilakukan hubungan badan”
Dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa nikah mut’ah pernah dibolehkan ketika zaman Rasul s.a.w. masih hidup, tapi kemudian diharamkan oleh rasulullah s.a.w. sampai hari kiamat. Jika ada yang melaksanakan nikah mut’ah pada masa sekarang, maka nikah mut’ah tersebut hukumnya batal.
Dengan begitu, kiranya pertanyaan ibu sudah terjawab semuanya. Sebenarnya melalui pertanyaan yang ibu ajukan, saya menangkap kesan bahwa ibu sudah tidak yakin dengan sahnya nikah mut’ah yang ibu lakukan. Berkali-kali ibu menyebutkan ingin “nikah sesungguhnya”. Apalagi pernikahan ibu dilakukan “dengan tanpa diketahui siapapun”. Sedangkan dalam Islam pernikahan selain harus ada wali juga harus ada yang menjadi saksi, sehingga tetap harus ada orang yang menyaksikan. Selain itu, ajaran Islam juga sangat menganjurkan adanya walimah (semacam pesta). Tujuannya, agar semakin banyak orang yang menjadi saksi bahwa kedua orang tersebut telah menjalin ikatan pernikahan. Saksi ini penting, karena setelah akad nikah selesai kedua mempelai, yakni suami dan istri, saling mempunyai hak-hak perdata, misalnya dalam hal warisan. Jika ada sengketa di kemudian hari, misalnya, maka kedudukan istri untuk menuntut haknya akan semakin kuat, karena ada banyak saksi. Ketentuan ini tentu tidak berlaku terhadap nikah mut’ah, karena dalam nikah mut’ah ketika jangka waktu pernikahan telah habis, maka tanpa talakpun secara otomatis tidak ada lagi hubungan antara kedua orang tersebut. Dan jangan lupa, dalam nikah mut’ah istri tidak berhak mendapat warisan dari suami, ketika, misalnya, suaminya tersebut meninggal. Tegasnya, dengan nikah mut’ah, para wanita yang menjadi istri kedudukannya sangatlah lemah. Oleh karenanya Islam melarang nikah mut’ah tersebut.
Apabila kita renungkan dengan hati yang jernih, betapa ajaran Islam itu sangat indah, jika dilaksanakan dengan tulus ikhlas, sesuai dengan kehendak Allah SWT. Sekarang tinggal kemauan dan kesungguhan dari kita, umat manusia, untuk tunduk dan mematuhi sabda rasulullah s.a.w. tersebut. Kemuliaan di sisi Allah SWT adalah bagi orang yang rela mendahulukan dan tunduk kepada aturan-aturanNya sebagaimana disampaikan oleh utusanNya. Oleh karenanya, saya menyarankan kepada ibu, selagi masih ada kesempatan segeralah menyatakan penyesalan secara bersungguh-sungguh dengan bertaubat, dan mulailah dengan ikatan pernikahan yang diridhai oleh Allah SWT. Yakinlah, bahwa ampunan Allah itu maha luas, dan tetapkan hati bahwa Allah ‘azza wajalla akan senantiasa bersama orang yang tunduk terhadap aturan-aturanNya.Wallahu a’lam bi as-shawab (Oleh Drs. H. Sholahudin al Aiyub, M.Sc)

 

Area Backlink

Mau bertukar link? Masukan Link Blogku ke blog kamu Kemudian masukan nama/web dan url blog kamu pada kotak yang tersedia di bawah, lalu tekan enter. Active Search Results
Klik tanda SUKA pada Cahaya Islam, untuk mengetahui postingan terbaru blog ini dari facebookmu

Kunjungan Ke

Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | coupon codes