pasang iklan
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

Sunday 4 December 2011

Antara Syariat dan Akal


Zaman ini adalah zaman di mana manusia bebas mengeluarkan pendapatnya masing-masing, sampai dalam urusan agama sekalipun. Dari yang paling pintar sampai yang paling bodohpun turut serta dalam mengeluarkan pendapatnya. Sehingga tidak jarang menimbulkan kebingungan di tengah-tengah masyarakat awwam untuk memilih sebuah kebenaran yang hakiki. Oleh karena itulah sebagai jalan tengah, mereka lalu menganggap bahwa semuanya adalah kebenaran, maka semakin suburlah pemahaman pluralisme.
Sebagai seorang muslim, benar dan tidaknya sesuatu itu haruslah di sesuaikan dengan syariat Islam. Namun ada saja di antara umat ini atau lebih tepatnya yang mengaku Islam lebih mengandalkan akalnya dari pada Al Qur’an dan Sunnah. Ketika Al Qur’an dan Sunnah bertentangan dengan akalnya diapun menolaknya dengan mengatakan: “Ini tidak masuk akal!”. Oleh karena itu jika ada pertanyaan, antara syariat dan akal, manakah yang harus di dahulukan? Tentunya jawaban orang-orang yang beriman adalah syariatlah yang harus di dahulukan, adapun akal di gunakan untuk memahami syariat. Allah subhanahu wata’ala memerintahkan orang-orang yang beriman untuk senantiasa kembali kepada Al Qur’an dan Sunnah, Allah subhanahu wata’ala berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An Nisa: 59)
Pada saat terjadi pertentagan antara syariat dan akal maka janganlah anda menyalahkan syariat tapi salahkanlah akal anda. Di sebutkan didalam riwayat imam Bukhari bahwa Ahnaf bin Qais radhiallahu’anhu pernah berkata: “Wahai kaum muslimin, jika terjadi perselisihan antara pikiranmu dengan dalil maka persalahkanlah pikiranmu jangan pernah persalahkan dalil karena saya sudah pernah merasakan kondisi seperti itu yaitu pada saat saya hadir di perjanjian Hudaibiyah.”
Kita sama ketahui bahwa pada saat terjadinya perjanjian Hudaibiyah banyak di antara para sahabat yang tidak setuju dengan hasil perjanjian tersebut di antaranya adalah Ahnaf bin Qais radhiallahu’anhu. Di mana isi perjanjian tersebut menurut para sahabat sangat memihak kepada kaum Quraisy Makkah. Di antara isi perjanjian yang membuat para sahabat merasa berat adalah “Apabila ada orang-orang Makah yang masuk Islam kemudian pergi ke Madinah maka kewajiban orang-orang di Madinah adalah harus mengembalikannya ke Makkah sebaliknya apabila ada orang-orang Madinah yang datang ke Makkah maka dia tidak boleh lagi keluar dari Makkah”.
Jika kita melihat isi perjanjian ini sangat menguntungkan orang-orang Quraisy di Makkah. Namun ternyata kenyataannya berkata lain, karena ketika telah di sepakatinya perjanjian tersebut terjadi dua peristiwa yaitu semakin banyaknya orang-orang Makkah yang masuk kedalam Islam dan kemudian ada seorang sahabat yang bernama Abu Bashir radhiallahu’anhu  yang masuk Islam dan berhijrah ke Madinah namun Rasulullah salallahu’alaihi wasallam menolaknya karena mematuhi isi perjanjian, akhirnya Abu Bashir di pulangkan ke Makkah oleh dua orang kafir Quraisy yang mengejarnya. Namun di tengah perjalanan Abu Bashir radhiallahu’anhu berhasil membunuh salah seorang di antaranya kemudian yang seorang lagi melarikan diri. Abu Bashir tidak pulang ke Makkah namun memilih untuk pergi ke pesisir  pantai yang bernama Al Ish sepanjang jalur Quraisy ke Syam. Orang-orang Islam di Makkah yang ingin berhijrah ke Madinah mendengar keberadaan Abu Bashir, sehingga mereka memutuskan untuk bergabung dengannya, jumlah mereka ketika itu mencapai sekitar 70 orang.
Kemudian mereka mengangkat Abu Bashir menjadi pemimpin mereka dan bersama-sama menghadang setiap orang Makkah terutama kafilah dagang yang lewat di tempat itu. Sehingga kondisi ini benar-benar menyulitkan Quraisy Makkah Karena di satu sisi jumlah  orang yang masuk  Islam di Makkah setiap saat meningkat di sisi lain mereka  harus berhadapan dengan kelompok Abu Bashir yang senantiasa menghadang kafilah dagang mereka.
Sehubungan dengan inilah mereka lalu mengutus orang kepada Nabi salallahu’alaihi wasallam. Dimintanya supaya beliau mau menampung orang-orang Islam itu, dan supaya membiarkan jalan lalu-lintas antara Quraisy ke Syam kembali aman. Dengan demikian Quraisy telah mundur setapak dari apa yang secara gigih disyaratkan bahwa “Muslimin Quraisy yang pergi ke Madinah harus di kembalikan ke Mekah”, dengan sendirinya syarat itu menjadi gugur. Tepat satu tahun orang-orang Makkah meminta agar Nabi Muhammad salallahu’alaihi wasallam membatalkan perjanjian hudaibiyah.
Sehingga setelah perjanjian hudaibiyah di batalkan dan jumlah penduduk Makkah yang masuk Islam sudah banyak maka Nabi salallahu’alaihi wasallam memutuskan untuk  menyerang Makkah, yang berakhir dengan kemenangan di tangan kaum Muslimin. Inilah hikmah dari perjanjian hudaibiyah yang pernah di perselisihkan oleh para sahabat radhiallahu’anhum ajma’in.
Dari kisah di atas kita dapat menarik kesimpulan bahwa tidak setiap apa yang kita anggap baik itulah yang terbaik dan tidak setiap apa yang kita anggap buruk itulah yang buruk. Allah subhanahu wata’’ala berfirman:
“Boleh Jadi kamu membenci sesuatu, Padahal ia Amat baik bagimu, dan boleh Jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, Padahal ia Amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Albaqarah: 216)
Dan mengutamakan Dalil (Al Qur’an dan Sunnah) adalah sebuah keharusan karena kebenaran yang mutlak itu hanyalah datang dari Allah subhanahu wata’ala. Allah subhanahu wata’’ala berfirman:
“Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu Termasuk orang-orang yang ragu.” (QS. Al baqarah: 147)
Oleh Karena itu tidak sepantasnya bagi orang yang beriman kepada Allah lebih mengandalkan akalnya ketimbang dalil Al Qur’an dan Sunnah. Jangan karena tidak masuk kedalam akal kita sehingga kita berani untuk mendhaifkan sebuah hadits apalagi sampai menolak Al Qur’an. Imam Ibnu Khuzaimah rahimahullah berkata: “Siapa yang mendapatkan ada satu hadits shahih yang bertentangan dengan akalnya maka suruh dia kesini maka saya akan bukakan itu sehingga tidak akan bertentangan lagi”.
Jadi ketika ada syariat yang kita rasakan bertentangan dengan akal maka janganlah menyalahkan syariat tapi salahkanlah akal itu karena selama akal itu sehat maka pasti akan sejalan dengan dalil (Al Qur’an dan Sunnah).ketahuilah bahwa sesungguhnya  Al Qur’an dan Sunnah itu masuk akal, hanya saja akallah yang terkadang tidak mampu untuk memahami Al Qur’an dan Sunnah itu sendiri.

Thursday 1 December 2011

Tindakan Kita Sebatas Kita Memandang Dunia


Bila anda memandang diri anda kecil, dunia akan tampak kecil dan tindakan andapun menjadi kerdil. Namun, bila anda memandang diri anda besar, dunia terlihat luas, andapun melakukan hal-hal penting dan berharga.
Tindakan anda adalah cermin bagaimana anda melihat dunia. Sementara dunia anda tidak lebih luas dari pikiran anda tentang diri anda sendiri. Itulah mengapa kita diajarkan untuk berprasangka positif pada diri sendiri, agar kita bisa melihat dunia lebih indah dan bertindak selaras dengan kebaikan-kebaikan yang ada dalam pikiran kita. Padahal dunia tak butuh penilaian apa-apa dari kita. Ia hanya memantulkan apa yang ingin kita lihat. Ia menggemakan apa yang ingin kita dengar. Bila kita takut menghadapi dunia, sesungguhnya kita takut menghadapi diri kita sendiri.
Maka, bukan soal apakah kita berprasangka positif atau negatif terhadap diri sendiri. Melampui di atas itu, kita perlu jujur melihat diri sendiri apa adanya. Dan, dunia pun menampakan realitanya yang selama ini tersembunyi di balik penilaian-penilaian kita. [Kumpulan Motivasi]

Monday 28 November 2011

Imam Al Bukhari Sang Penulis legendaris

Nasab dan kelahiran beliau
Beliau adalah Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al Mughirah bin Bardizbah al Ja’fi Al Bukhri (selanjutnya di sebut Al Bukhari). Lahir pada bulan syawwal tahun 194 H.
Guru-guru Beliau
Beliau banyak melakukan perjalanan dalam mencari ilmu hadits keseluruh penjuru dunia. Beliau belajar hadits di Khurasan, Al Jibal, Iraq, Hijaz, Syam, Mesir dan lainnya. Sehingga beliau memiliki banyak guru di antaranya: Makki bin Ibrahim, Abdan bin Utsman Al Muuruzi, Abu Ashim Asy- Syaibani, Muhammad bin Abullah Al Anshari, Muhammad bin Yusuf, Abul Walid At Thaiyalisi, Abullah bin Masalamah Al Qa’nabi, Abu Bakar Al Humaidi, Abdullah bin Yusuf, Abul Yaman, Ismail binAbu Uwais, Muhammad bin Katsir, Khalid bin Mukhallid, Ali bin Al Madini, Ahmad bin Hambal, Yahya bin Main dan masih banyak lagi yang tidak mungkin di sebutkan satu persatu. Beliau sering pergi ke Baghdad dan mengajar hadits di sana.
Perjalanannya mencari ilmu dan menulis kitab
Al Bukhari adalah seorang penuntut ilmu, pengajar, pencari hadits, berpengetahuan mendalam, kuat hapalannya dan memiliki pemahaman yang kuat. Awal ia mencari hadits di mulai dari kitab yang di bacanya sehingga ia terilhami untuk menghapal hadits. Saat itu, ia berumur 10 tahun. Saat berusia 11 tahun dia pernah menegur seorang alim yang salah dalam membacakan periwayatan hadits, dan saat ia berusia 16 tahun dia telah hapal kitab-kitab Ibnul Mubarak.
Tatkala ibu dan saudaranya pergi haji ke makkah, dia ikut. Tetapi tidak pulang bersama dengan mereka, karena memutuskan untuk tetap tinggal di sana mencari hadits. Di usia yang ke 18, dia menulis sebuah kitab berharga berjudul Qadhaya ash Shahabah wa at Tabi’in wa Aqwalihim (Kedudukan para sahabat dan tabi’in serta ucapan-ucapan mereka) hanya dalam waktu beberapa hari. Ia juga menulis kitab at Tarikh (sejarah) yang di lakukannya di samping kuburan Nabi salallahu’alaihi wasallam pada malam purnama.
Dalam usianya yang masih kanak-kanak, Al Bukhari kecil telah menghapal 70.000 hadits, sebgaimana yang di katakana oleh Muhammad bin Salam Al Baikandi kepada Salim bin Mujhid. Tatkala di tanyakan kepadanya apakah benar telah hapal 70.000 hadits, Al Bukhari menjawab: “Ya dan lebih banyak dari itu. Tidaklah saya menyampaikan kepada anda sebuah hadits dari sahabat atau tabi’in melainkan saya tahu banyak mengenai kelahiran, wafat, dan tempat tinggal mereka. Dan tidaklah saya meriwayatkan hadits dari sahabat atau tabi’in melainkan saya mempunyai asal yang saya hapal dari kitabullah dan sunnah Rasulullah salallahu’alaihi wasallam”.
Al Bukhari kecil belajar kepada ulama bersama teman-temannya yang telah dewasa. Ketika teman-temannya mencatat apa yang mereka dengar dari para ulama hadits, Al Bukhari kecil tidak turut mencatatnya, akan tetapi langsung menghapalnya.  Tatkala ia berusia 10 tahun, dan bertemu dengan teman-teman lamanya, Al Bukhari kecil berkata: “Perlihatkan catatan kalian kepadaku”. Maka teman-temannya memperlihatkannya, lalu Al Bukhari kecil menambahkan 15.000 hadits kepada mereka dari hapalannya, sehingga teman-temannya memperbaiki catatan-catatan mereka.
Terbetik dalam pikiran Al Bukhari untuk mengumpulkan sunnah-sunnah Nabi salallahu’alaihi wasallam tatkala beberapa sahabatnya memintanya untuk mengumpulkan hadits di dalam sebuah kitab, yakni kitab Al Jami’ yang kemudian di hadiahkan kepada Ali bin Abu Hamid Al Ashbahani.
Al Bukhari telah menulis kitab (Ash Shahih) dengan memilah-milah dari 600.000 hadits. “Tidaklah saya memasukannya kedalam kitabku Al Jami’ melainkan hadits-hadits yang shahih saja, dan saya meninggalkan (tidak menulis) beberapa hadits shahih khawatir terlalu panjang/tebal”, ujarnya. Bukhari juga mengatakan, “Saya menulis kitab Al Jami sekitar 10 tahun. Saya memilih hadits-hadits tersebut dari 600.000 hadits dan saya menjadikannya hujjah antara aku dan Allah subahanahu wata’ala”. Abdul Qudus mendengar dari beberapa gurunya, bahwa mereka berkata tentang imam Al Bukhari: “Al Bukhari menulis terjemahan kitab Al Jami’nya di antara kubur dan mimbar Nabi salallahu’alaihi wasallam (di masjid Nabawi) dan setiap akan menulis satu penjelasan hadits beliau salat dua rakaat”. Muhammad bin Yusuf mengomentari: “Bahkan dia mandi sebelum shalat”. Telah mendengar kitab Ash Shahih karya Muhammad bin Ismail Al Bukhari 90.000 orang.
Ibadah dan Mu’amalahnya
 Bakar Abu Said berkata: “Ada seseorang yang membawa barang dagangan kepada Muhmmad bin Ismail (Al Bukhari), dan setelah Isya berkumpullah beberapa pedagang untuk mengambil barang dagangan tersebut dengan member untung 5000 dirham, beliau menyetujuinya dan berkata kepada mereka: “Pulanglah kalian malam ini”. Pagi harinya datang para pedagang lain yang ingin mengambil barang dagangan tersebut dengan memberi untung 10.000 dirham. Beliau menolaknya dan berkata: “Saya sudah meniatkan untuk memberikan barang dagangan ini kepada para pedagang yang telah datang tadi malam dan saya tidak senang membatalkan niat saya”.
Bakar Abu Said juga berkata: “Pada suatu hari Muhammad bin Ismail merasa teganggu ketika sedang shalat. Selesai shalat ia berkata kepada para sahabatnya: “Lihatlah ini, apa yang mengangguku ketika aku sedang shalat!” maka mereka melihatnya, ternyata lalat penyengat telah menyengatnya sebanyak 17 tempat, aka tetapi ia tidak memutuskan shalatnya. Tatkala para sahabatnya bertanya, mengapa tidak memutuskan shalatnya sejak awal, dia menjawab: “karena saya sedang shalat, saya lebih suka untuk menyempurnakannya.”
Nasj bin Said berkata: “ketika awal bulan ramdhan, para sahabat Al Bukhari berkumpul bersamanya. Beliau shalat bersama mereka dengan membaca 20 ayat setiap rakaat. Setiap waktu sahur beliau membaca Al Qur’an lebih dari sepertiganya dan mengkhatamkannya selam 3 hari juga pada waktu sahur. Jika pada waktu tersebut beliau tidak mengkhatamkannya maka beliau selesaikan pada waktu ifthar (berbuka puasa) sambil berdoa”. Muhammad bin Yusuf berkata: “Pada suatu malam saya bersama Muhammad bin Ismail Al Bukhari di dalam rumahnya. Saya menghitung dia bangun untuk menyalakan lampu lalu mudzakarah (menelaah) sesuatu sampai berulang 18 kali. Pada waktu sahur beliau melakukan shalat lail 13 rakaat dengan witir 1 rakaat”.
Pujian para ulama
Muhammad bin Abu Hatim mendengar Imam Al Bukhari berkata: “Tatkala masuk ke kota Bashrah, saya bermajelis dengan Muhammad bin Basyar. Tatkala keluar majelis, dia melihatku. Dia bertanya kepadaku: “Darimana kamu wahai pemuda?” maka saya menjawab: “Dari penduduk Bukhara”. Bagaimana engkau justru meninggalkan Abu Abdillah Al Bukhari dan tidak belajar kepadanya?”  keluhnya. Maka para sahabat Muhammad bin Basyir berkata kepadanya: “Semoga Allah merahmati engkau. Dialah Abu Abdillah (Al Bukhari) itu”. Lantas Muhammad bin Basyir memegang tanganku dan memelukku. Kemudian berkata: “Selamat atas kedatangan orang besar lagi mulia yang telah kami tunggu sejak 2 tahun lalu”.
Muhammad bin Isyak berkata: “Saya tidak melihat di bawah kolong langit ini yang alim tentang hdits daripada Muhammad bin Ismail Abu Abdillah (Al Bukhari)”. Abu Ja’far Abdullah bin Muhammad Al Ja’fi berkata: “Muhammad bin Ismail adalah seorang imam. Maka barangsiapa yang tidak menjadikannya imam, maka dia pantas di curigai”.
Kepiawaiannya dalam Ilmu Hadits
Para ulama dari berbagai negri seperti Bashrah, Syam, Hijaz dan Kuffah menaruh hormat kepada imam Al Bukhari.
Pernah imam Al Bukhari datang ke Baghdad dan kedatangannya di dengar oleh para ahlu hadits. Mereka berkumpul untuk bersepakat menguji imam Al Bukhari dengan 100 hadits. Mereka membolak-balik matan (isi hadits) dan sanadnya (Para periwayat hadits) nya, dan menyerahkan hadits yang sudah di bolak-balik tadi kepada 10 orang, sehingga setiap 10 orang mendapatkan jatah 10 hadits. Ketika hari yang sudah di tentukan untuk bermajelis tiba, berdatanganlah para ahli hadits, baik dari maghrib, Khurasan, Baghdat, dan tempat lain. Tatkala suasana majelis sudah tenang, mulailah salah seorang dari 10 orang tadi menyampaikan hadits yang telah di bolak-balik itu, dan setiap selesai membacakan satu hadits dia bertanya kepada imam Al Bukhari tentang hadits tersebut. Maka Imam Al Bukhari menjawab: “Aku tidak tahu tentang hadit tersebut”. Lalu di bacakanlah lagi hadits yang lainnya dan di tanyakan lagi kepadanya, dia menjawab lagi: “Tidak tahu”. Demikan sampai selesai 10 hadits. Para fuqaha yang hadir di majelis tersebut saling berpandangan satu sama lain dan berkata: “Jawaban Al Bukhari itu menunjukan dia orang yang lemah dan sedikit hapalannya”. Lalu mulailah orang kedua, ketiga, keempat sampai selesai 10 orang membacakan semua hadits-hadits tersebut beliau tetap menjawab: “Saya tidak tahu hadits tersebut”. Tidak lebih dari itu. Tatkala imam Al Bukhari mengetahui pembacaan hadits-hadits tersebut sudah selesai, maka beliau menghadap kepada orang yang pertama membacakan hadits tadi dan berkata: “Adapun haditsmu yang pertama yang seperti itu maka yang benar begini. Haditsmu yang kedua begitu, maka yang benar begini. Haditsmu yang ketiga begitu maka yang benar begini”. Dan seterusnya sampai 10 hadits. Beliau mengembalikan matan dan sanad hadits yang telah di bolak-balik sebagaimana semula. Demikianlah yang di perbuat imam Al Bukhari kepada 10 orang tersebut. Hingga akhirnya manusia menetapkan kuatnya hapalan imam Al Bukhari dan keutamaannya.
Majelis imam Al Bukhari
Abu Ali Shalih bin Muhammad Al Baghdadi berkata bahwa ketika Muhammad bin Ismail menyampaikan hadits-haditsnya beberpa kali di Baghdad, yang hadir pada setiap pertemuan lebih dari 20.000 orang. Perkataan serupa juga di sampaikan oleh Muhammad bin Yusuf.
Al Bukhari berkunjung ke Bashrah, dan berada dalam masjid Jami’. Tatkala ada orang yang mengetahuinya, maka dia umumkan kedatangannya kepada penduduk Bashrah. Mereka meminta kepadanya untuk membuat suatu majelis ilmu. Maka berkumpulah para penuntut ilmu termasuk orang-orang tua, para ahli fiqih, ahli hadits, para hufazh hingga berjumlah ribuan orang, sehingga keluarlah ungkapan, “Telah hadir pada  hari ini sayyidul fuqaha’ (penghulu ahli fiqih)”.
Hikmah
Abu Said Bakar bin Munir berkata bahwa Al Amir (penguasa) Khalid bin Ahmad Adz Dzuhli mengirim utusan ke Bukhara kepada Muhammad bin Ismail, agar mengajar kitab al Jami’, At Tarikh dan selainnya (secara privat). Maka Muhammad bin Ismail berkata kepada utusan tersebut: “Sesungguhnya kami tidak merendahkan ilmu, dan tidak mengajarkan ke rumah-rumah. Jika engkau membutuhkan ilmu tersebut, maka datanglah ke masjid saya atau rumah saya. Jika tidak, maka engkau adalah penguasa, mampu melarang saya untuk bermajelis, sehingga sayapu udzur di hadapan Allah subhanahu wata’ala pada hari kiamat. Karena saya tidak akan menyembunyikan ilmu, sebab Nabi salallahu’alaihi wasallam bersabda:
“Barangsiapa ditanya tentang suatu ilmu lantas dia menyembunyikannya maka ia akan di kekang dengan tali kekang dari neraka”.
Imam Al Bukhari berkata tentang Al Qur’an, “Gerakan, suara, usaha dan tulisan mereka adalah makhluk, adapun Al Qur’an  yang di baca tetap dalam mushaf yang tertulis dan terjaga (di hapal) dalam hati, maka itu adalah kalam Allah dan bukan makhluk, Allah berfirman:
“Sebenarnya, Al Qur’an adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang berilmu.” (QS. Al Ankabut: 49)
Ibrahim bin Muhammad setelah menyelenggarakan jenazah Muhammad bin Ismail berkata bahwa shahibul Qishar kemarin aku bertanya kepada Muhammad bin Ismail: “Wahai Abu Abdillah apa yang engkau katakana tentang Al Qur’an?”. Lalu beliau menjawab: “Al Qur’an adalah kalamullah bukan makhluk”. Kemudian aku (Ibrahim bin Muhammad) katakana kepadanya: “Manusia menyangka engkau mengatakan apa-apa yang terdapat dalam mushaf itu bukan Al Qur’an! Dan ayat-ayat yang berada di dalam dada-dada manusia juga bukan Al Qur’an”. Maka ia menjawab: “Astaghfirullah, engkau bersaksi terhadap sesuatu yang tidak kau dengar dariku. Maka aku katakana sebagaimana Allah subhanahu wata’ala berfirman:
“Demi Thur dan demi kitab yang tertulis”. (QS. At Thur: 1-2)
Abu Hasan Muhim bin Salim mendengar Muhammad bin Ismail berkata: “Pujian dan celaan di sisiku itu satu atau sama”.
Wafat beliau
Abdul Wahin bin Adam berkata: “Saya melihat Nabu salallahu’alaihi wasallam di dalam mimpi bersama para sahabatnya. Beliau berhenti/berdiri pada suatu tempat. Aku mengucapkan salam kepadanya dan beliaupun menjawab salamku. Aku bertanya: “Mengapa berhenti di sini wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Aku menunggu Muhammad bin Ismail Al Bukhari”. Setelah beberapa hari datanglah kabar tentang kematian imam Al Bukhari. Tatkala saya perhatikan waktu kematian beliau, ternyata tepat pada saat aku bermimpi bertemu dengan Rasulullah salallahu’alaihi wasallam tersebut.
Abul Hasan bin Salim berkata: “Abu Abidillah Muhammad bin Ismail meninggal pada malam sabtu malam Idul Fitri tahun 256 H”.
Yahya bin Ja’far berkata: “Seandainya saya mampu untuk menambah usia Muhammad bin Ismail (imam Al Bukhari) maka akan aku lakukan, karena kematianku adalah kematian seorang biasa, sedang kematian Muhammad bin Ismail adalah hilangnya ilmu.”

Friday 25 November 2011

Misteri Piring Terbang (UFO)


Sejak lama, persoalan UFO (Unidentified Flying Objeck) atau sering di sebut dengan “piring terbang” masih menjadi misteri. Baik di kalangan ilmuan, ataupun di kalangan ulama Islam. Sementara, topik tentangnya selalu di perbaharui oleh kabar tentang munculnya UFO, tentang kesaksian seseorang yang mengklaim melihat piring terbang, serta Crop circle yang sebagian kalangan meyakini sebaggai hasil karya UFO.
Kepastian tentang wujudnyapun masih simpang siur. Sebagian masih menyangsikan, dan menggap itu hanyalah  rekayasa yang di buat-buat, atau hanya kabar burung yang tatkala di cek kebenaran dan keberadaannya sudah lenyap. Dan memang tidak mudah di buktikan, karena mereka (jika ada) tidak bisa di undang untuk di temui sesuka manusia.
Adanya makhluk yang bisa bergerak cepat, bisa menghilang atau terbang keangkasa, tidak di tentang kemungkinannya oleh syariat. Lalu, jika memang UFO itu ada, makhluk dari jenis apakah itu? Wacana yang sudah berkembang, ada yang mengatakan UFO adalah makhluk luar angkasa, ada yang mengatakan mereka adalah arwah yang telah mati, satelit untuk memata-matai dan ada juga yang mengatakan bahwa mereka adalah makhluk dari kedalaman segita Bermuda.
Dalil-dalil syar’i dan kauni menyebutkan, bahwa jenis makhluk yang kita kenal adalah malaikat, jin dan manusia, hewan tumbuhan dan selebihnya adalah benda mati. Dari beberapa kemungkinan tersebut, Abdul Kariem Ubaidat dalam bukunya ‘Alamul Jin’ berpendapat bahwa yang paling dekat dengan jawaban adalah mereka dari golongan jin.
Kemampuan mereka untuk menembus langit adalah kemampuan yang dimiliki oleh jin, sebagaimana diindikasikan dalam Al Qur’an:
“Hai jama'ah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, Maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya kecuali dengan kekuatan.” (QS. Ar Rahman: 33)
Penyebutan jin di dahulukan, bisa jadi karena jin lebih dahulu mampu menembus langit daripada manusia. Sebagaimana pengakuan jin dalam firman Allah:
“Dan Sesungguhnya Kami dahulu dapat menduduki beberapa tempat di langit itu untuk mendengar-dengarkan (berita-beritanya).” (QS. Al Jin: 9)
Dari keterangan dan kabar yang berkembang, mereka di gambarkan memilki kemampuan teknologi yang canggih. Berarti mereka adalah makhluk yang berakal, dan karenanya mereka terkena taklif (beban syariat). Sedangkan yang diberi taklif adalah manusia dan jin (Ats Tsaqalain) maka kemungkinan yang paling dekat, mereka adalah jin. Meskipun, masih ada satu spekulasi lagi, kemungkinan mereka juga disebut sebagai manusia di planet lain. Namun hal ini lebih jauh kemungkinannya bila di  kaji dari dalil-dali. [ar risalah hal. 36 Vol. 12 Jumadal Ukhro-Rajab 1432 H/ Juni 2011]

 

Area Backlink

Mau bertukar link? Masukan Link Blogku ke blog kamu Kemudian masukan nama/web dan url blog kamu pada kotak yang tersedia di bawah, lalu tekan enter. Active Search Results
Klik tanda SUKA pada Cahaya Islam, untuk mengetahui postingan terbaru blog ini dari facebookmu

Kunjungan Ke

Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | coupon codes