pasang iklan
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

Sunday 4 December 2011

Antara Syariat dan Akal


Zaman ini adalah zaman di mana manusia bebas mengeluarkan pendapatnya masing-masing, sampai dalam urusan agama sekalipun. Dari yang paling pintar sampai yang paling bodohpun turut serta dalam mengeluarkan pendapatnya. Sehingga tidak jarang menimbulkan kebingungan di tengah-tengah masyarakat awwam untuk memilih sebuah kebenaran yang hakiki. Oleh karena itulah sebagai jalan tengah, mereka lalu menganggap bahwa semuanya adalah kebenaran, maka semakin suburlah pemahaman pluralisme.
Sebagai seorang muslim, benar dan tidaknya sesuatu itu haruslah di sesuaikan dengan syariat Islam. Namun ada saja di antara umat ini atau lebih tepatnya yang mengaku Islam lebih mengandalkan akalnya dari pada Al Qur’an dan Sunnah. Ketika Al Qur’an dan Sunnah bertentangan dengan akalnya diapun menolaknya dengan mengatakan: “Ini tidak masuk akal!”. Oleh karena itu jika ada pertanyaan, antara syariat dan akal, manakah yang harus di dahulukan? Tentunya jawaban orang-orang yang beriman adalah syariatlah yang harus di dahulukan, adapun akal di gunakan untuk memahami syariat. Allah subhanahu wata’ala memerintahkan orang-orang yang beriman untuk senantiasa kembali kepada Al Qur’an dan Sunnah, Allah subhanahu wata’ala berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An Nisa: 59)
Pada saat terjadi pertentagan antara syariat dan akal maka janganlah anda menyalahkan syariat tapi salahkanlah akal anda. Di sebutkan didalam riwayat imam Bukhari bahwa Ahnaf bin Qais radhiallahu’anhu pernah berkata: “Wahai kaum muslimin, jika terjadi perselisihan antara pikiranmu dengan dalil maka persalahkanlah pikiranmu jangan pernah persalahkan dalil karena saya sudah pernah merasakan kondisi seperti itu yaitu pada saat saya hadir di perjanjian Hudaibiyah.”
Kita sama ketahui bahwa pada saat terjadinya perjanjian Hudaibiyah banyak di antara para sahabat yang tidak setuju dengan hasil perjanjian tersebut di antaranya adalah Ahnaf bin Qais radhiallahu’anhu. Di mana isi perjanjian tersebut menurut para sahabat sangat memihak kepada kaum Quraisy Makkah. Di antara isi perjanjian yang membuat para sahabat merasa berat adalah “Apabila ada orang-orang Makah yang masuk Islam kemudian pergi ke Madinah maka kewajiban orang-orang di Madinah adalah harus mengembalikannya ke Makkah sebaliknya apabila ada orang-orang Madinah yang datang ke Makkah maka dia tidak boleh lagi keluar dari Makkah”.
Jika kita melihat isi perjanjian ini sangat menguntungkan orang-orang Quraisy di Makkah. Namun ternyata kenyataannya berkata lain, karena ketika telah di sepakatinya perjanjian tersebut terjadi dua peristiwa yaitu semakin banyaknya orang-orang Makkah yang masuk kedalam Islam dan kemudian ada seorang sahabat yang bernama Abu Bashir radhiallahu’anhu  yang masuk Islam dan berhijrah ke Madinah namun Rasulullah salallahu’alaihi wasallam menolaknya karena mematuhi isi perjanjian, akhirnya Abu Bashir di pulangkan ke Makkah oleh dua orang kafir Quraisy yang mengejarnya. Namun di tengah perjalanan Abu Bashir radhiallahu’anhu berhasil membunuh salah seorang di antaranya kemudian yang seorang lagi melarikan diri. Abu Bashir tidak pulang ke Makkah namun memilih untuk pergi ke pesisir  pantai yang bernama Al Ish sepanjang jalur Quraisy ke Syam. Orang-orang Islam di Makkah yang ingin berhijrah ke Madinah mendengar keberadaan Abu Bashir, sehingga mereka memutuskan untuk bergabung dengannya, jumlah mereka ketika itu mencapai sekitar 70 orang.
Kemudian mereka mengangkat Abu Bashir menjadi pemimpin mereka dan bersama-sama menghadang setiap orang Makkah terutama kafilah dagang yang lewat di tempat itu. Sehingga kondisi ini benar-benar menyulitkan Quraisy Makkah Karena di satu sisi jumlah  orang yang masuk  Islam di Makkah setiap saat meningkat di sisi lain mereka  harus berhadapan dengan kelompok Abu Bashir yang senantiasa menghadang kafilah dagang mereka.
Sehubungan dengan inilah mereka lalu mengutus orang kepada Nabi salallahu’alaihi wasallam. Dimintanya supaya beliau mau menampung orang-orang Islam itu, dan supaya membiarkan jalan lalu-lintas antara Quraisy ke Syam kembali aman. Dengan demikian Quraisy telah mundur setapak dari apa yang secara gigih disyaratkan bahwa “Muslimin Quraisy yang pergi ke Madinah harus di kembalikan ke Mekah”, dengan sendirinya syarat itu menjadi gugur. Tepat satu tahun orang-orang Makkah meminta agar Nabi Muhammad salallahu’alaihi wasallam membatalkan perjanjian hudaibiyah.
Sehingga setelah perjanjian hudaibiyah di batalkan dan jumlah penduduk Makkah yang masuk Islam sudah banyak maka Nabi salallahu’alaihi wasallam memutuskan untuk  menyerang Makkah, yang berakhir dengan kemenangan di tangan kaum Muslimin. Inilah hikmah dari perjanjian hudaibiyah yang pernah di perselisihkan oleh para sahabat radhiallahu’anhum ajma’in.
Dari kisah di atas kita dapat menarik kesimpulan bahwa tidak setiap apa yang kita anggap baik itulah yang terbaik dan tidak setiap apa yang kita anggap buruk itulah yang buruk. Allah subhanahu wata’’ala berfirman:
“Boleh Jadi kamu membenci sesuatu, Padahal ia Amat baik bagimu, dan boleh Jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, Padahal ia Amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Albaqarah: 216)
Dan mengutamakan Dalil (Al Qur’an dan Sunnah) adalah sebuah keharusan karena kebenaran yang mutlak itu hanyalah datang dari Allah subhanahu wata’ala. Allah subhanahu wata’’ala berfirman:
“Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu Termasuk orang-orang yang ragu.” (QS. Al baqarah: 147)
Oleh Karena itu tidak sepantasnya bagi orang yang beriman kepada Allah lebih mengandalkan akalnya ketimbang dalil Al Qur’an dan Sunnah. Jangan karena tidak masuk kedalam akal kita sehingga kita berani untuk mendhaifkan sebuah hadits apalagi sampai menolak Al Qur’an. Imam Ibnu Khuzaimah rahimahullah berkata: “Siapa yang mendapatkan ada satu hadits shahih yang bertentangan dengan akalnya maka suruh dia kesini maka saya akan bukakan itu sehingga tidak akan bertentangan lagi”.
Jadi ketika ada syariat yang kita rasakan bertentangan dengan akal maka janganlah menyalahkan syariat tapi salahkanlah akal itu karena selama akal itu sehat maka pasti akan sejalan dengan dalil (Al Qur’an dan Sunnah).ketahuilah bahwa sesungguhnya  Al Qur’an dan Sunnah itu masuk akal, hanya saja akallah yang terkadang tidak mampu untuk memahami Al Qur’an dan Sunnah itu sendiri.

0 comments:

Post a Comment

Silahkan beri komentar; terimah kasih atas kunjungannya...

 

Area Backlink

Mau bertukar link? Masukan Link Blogku ke blog kamu Kemudian masukan nama/web dan url blog kamu pada kotak yang tersedia di bawah, lalu tekan enter. Active Search Results
Klik tanda SUKA pada Cahaya Islam, untuk mengetahui postingan terbaru blog ini dari facebookmu

Kunjungan Ke

Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | coupon codes