pasang iklan
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

Thursday 16 April 2015

Wajibnya Sholat Berjama’ah di Masjid



Oleh: Al Ustadz Abu Rosyid  
Shalat berjama’ah adalah termasuk dari sunnah Rasulullah dan para shahabatnya. Rasulullah dan para shahabatnya selalu melaksanakannya, tidak pernah meninggalkannya kecuali jika ada ‘udzur yang syar’i. Bahkan ketika Rasulullah sakit pun beliau tetap melaksanakan shalat berjama’ah di masjid dan ketika sakitnya semakin parah beliau memerintahkan Abu Bakar untuk mengimami para shahabatnya. Para shahabat pun bahkan ada yang dipapah oleh dua orang (karena sakit) untuk melaksanakan shalat berjama’ah di masjid.
Kalau kita membaca dan memperhatikan dengan sebaik-baiknya Al-Qur`an, As-Sunnah serta pendapat dan amalan salafush shalih maka kita akan mendapati bahwa dalil-dalil tersebut menjelaskan kepada kita akan wajibnya shalat berjama’ah di masjid. Di antara dalil-dalil tersebut adalah:
1. Perintah Allah Ta’ala untuk Ruku’ bersama Orang-orang yang Ruku’
Dari dalil yang menunjukkan wajibnya shalat berjama’ah adalah firman Allah Ta’ala (yang artinya): "Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat serta ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’." (Al-Baqarah:43).
Berkata Al-Imam Abu Bakr Al-Kasaniy Al-Hanafiy ketika menjelaskan wajibnya melaksanakan shalat berjama’ah: "Adapun (dalil) dari Al-Kitab adalah firman-Nya (yanga artinya): "Dan ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’." (Al-Baqarah:43), Allah Ta’ala memerintahkan ruku’ bersama-sama orang-orang yang ruku’, yang demikian itu dengan bergabung dalam ruku’ maka ini merupakan perintah menegakkan shalat berjama’ah. Muthlaqnya perintah menunjukkan wajibnya mengamalkannya." (Bada`i’ush-shana`i’ fi Tartibisy-Syara`i’ 1/155 dan Kitabush-Shalah hal.66).
2. Perintah Melaksanakan Shalat Berjama’ah dalam Keadaan Takut
Tidaklah perintah melaksanakan shalat berjama’ah dalam keadaan biasa saja, bahkan Allah telah memerintahkannya hingga dalam keadaan takut. Allah berfirman (yang artinya): "Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (shahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata". (An-Nisa`:102).
Maka apabila Allah Ta’ala telah memerintahkan untuk melaksanakan shalat berjama’ah dalam keadaan takut maka dalam keadaan aman adalah lebih ditekankan lagi (kewajibannya). Dalam masalah ini berkata Al-Imam Ibnul Mundzir: "Ketika Allah memerintahkan shalat berjama’ah dalam keadaan takut menunjukkan dalam keadaan aman lebih wajib lagi." (Al-Ausath fis Sunan Wal Ijma’ Wal Ikhtilaf 4/135; Ma’alimus Sunan karya Al-Khithabiy 1/160 dan Al-Mughniy 3/5).
3. Perintah Nabi untuk Melaksanakan Shalat Berjama’ah
Al-Imam Al-Bukhariy telah meriwayatkan dari Malik bin Al-Huwairits: “Saya mendatangi Nabi dalam suatu rombongan dari kaumku, maka kami tinggal bersamanya selama 20 hari, dan Nabi adalah seorang yang penyayang dan lemah lembut terhadap shahabatnya, maka ketika beliau melihat kerinduan kami kepada keluarga kami, beliau bersabda (yanga artinya): "Kembalilah kalian dan jadilah bersama mereka serta ajarilah mereka dan shalatlah kalian, apabila telah datang waktu shalat hendaklah salah seorang di antara kalian adzan dan hendaklah orang yang paling tua (berilmu tentang Al-Kitab & As-Sunnah dan paling banyak hafalan Al-Qur`annya) di antara kalian mengimami kalian." (Hadits Riwayat Al-Bukhari no. 628, 2/110 dan Muslim semakna dengannya no. 674, 1/465-466).
Maka Nabi yang mulia memerintahkan adzan dan mengimami shalat ketika masuknya waktu shalat yakni beliau memerintahkan pelaksanakannya secara berjama’ah dan perintahnya terhadap sesuatu menunjukkan atas kewajibannya.
4. Larangan Keluar dari Masjid setelah Dikumandangkan Adzan
Sesungguhnya Rasulullah melarang keluar setelah dikumandangkannya adzan dari masjid sebelum melaksanakan shalat berjama’ah. Al-Imam Ahmad telah meriwayatkan dari Abu Hurairah ia berkata: "Rasulullah memerintahkan kami, apabila kalian di masjid lalu diseru shalat (dikumandangkan adzan-pent) maka janganlah keluar salah seorang di antara kalian sampai dia shalat (di masjid secara berjama’ah-pent) (Al-Fathur-Rabbani Li Tartib Musnad Al-Imam Ahmad no. 297, 3/43).
5. Tidak Ada Keringanan dari Nabi bagi Orang yang Meninggalkan Shalat Berjama’ah
Sesungguhnya Nabi yang mulia tidak memberikan keringanan kepada ‘Abdullah Ibnu Ummi Maktum untuk meninggalkan shalat berjama’ah dan melaksanakannya di rumah, padahal Ibnu Ummi Maktum mempunyai beberapa ‘udzur sebagai berikut:
a.       Keadaannya yang buta,
b.      Tidak adanya penuntun yang mengantarkannya ke masjid,
c.       Jauhnya rumahnya dari masjid,
d.      Adanya pohon kurma dan pohon-pohon lainnya yang menghalanginya antara rumahnya dan masjid,
e.       Adanya binatang buas yang banyak di Madinah dan
f.       Umurnya yang sudah tua serta tulang-tulangnya sudah rapuh.
Al-Imam Muslim telah meriwayatkan dari Abu Hurairah ia berkata: Seorang laki-laki buta mendatangi Nabi lalu berkata: "Ya Rasulullah, sesungguhnya saya tidak mempunyai seorang penuntun yang mengantarkanku ke masjid". Lalu ia meminta Rasulullah untuk memberi keringanan baginya untuk shalat di rumahnya maka Rasulullah memberikannya keringanan. Ketika Ibnu Ummi Maktum hendak kembali, Rasulullah memanggilnya lalu berkata: "Apakah Engkau mendengar panggilan (adzan) untuk shalat?" ia menjawab "benar", maka Rasulullah bersabda: "Penuhilah panggilan tersebut."
Dan juga banyak dalil-dalil lainnya yang menunjukkan akan wajibnya shalat berjama’ah di masjid bagi setiap muslim yang baligh, berakal dan tidak ada ‘udzur syar’i baginya.
Kaum Muslimah Lebih Utama Shalat di Rumahnya
Adapun bagi kaum muslimah maka yang lebih utama baginya adalah shalat di rumahnya daripada di masjid, sebagaimana disebutkan di dalam Al-Qur`an: "Wa buyuutuhunna khairullahunna" (dan rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka) dan juga hadits-hadits yang sangat banyak yang menjelaskan keutamaan shalat di rumah bagi kaum muslimah. Tapi apabila kaum muslimah meminta idzin untuk shalat di masjid maka tidak boleh dilarang bahkan harus diidzinkan. Tetapi ketika dia keluar ke masjid harus memenuhi syarat-syaratnya yaitu menutupi aurotnya secara sempurna, tidak memakai wangi-wangian, tidak ditakutkan menimbulkan fitnah dan yang lainnya yang telah dijelaskan para ‘ulama.
Syaikhul Islam menjelaskan bahwa dalam keadaan tertentu shalatnya muslimah di masjid lebih utama dari pada di rumah ketika di masjid terdapat pelajaran (ta’lim) yang disampaikan oleh ahlus sunnah, tetapi jika di masjid tidak ada kajian ‘ilmu maka shalat di rumah lebih baik daripada di masjid.
Mengambil Ilmu Agama Harus dari Orang yang Benar Manhajnya
Dan perlu di ketahui bahwa kita tidak boleh mengambil ‘ilmu dari sembarang orang, tapi harus dari orang yang sudah jelas manhajnya dan terbukti berpegang teguh dengan Al-Qur`an dan As-Sunnah dengan pemahaman para shahabat. Kalau ia belum jelas manhajnya dan bahkan dia menyelisihi sunnah (seperti merokok, memotong jenggot, menurunkan kain di bawah mata kaki, bercampur baur dengan orang yang bukan mahramnya dan lainnya dari perkara-perkara yang menyelisihi Sunnah Rasulullah) maka tidak sepantasnya kita mengambil ‘ilmu darinya. Hal ini telah dijelaskan oleh Al-Imam Ibnu Sirin, di mana dia berkata: "Sesungghunya ilmu ini adalah agama maka hendaklah salah seorang dari kalian melihat dari mana ia mengambil agamanya.", dalam lafazh yang lain ia berkata: "Mereka (salafush-shalih) tidak menanyakan tentang isnad (suatu hadits) tetapi ketika terjadinya fitnah (setelah terbunuhnya ‘Utsman bin ‘Affan-pent) maka mereka mengatakan: "sebutkan sanad kalian!" Maka ketika itu dilihat, apabila ‘ilmu (hadits) itu datang dari Ahlus Sunnah maka diambil haditsnya tetapi apabila datang dari Ahlul Bid’ah maka ditolak haditsnya." (Lihat Muqaddimah Shahih Muslim).
Akibat Yang Jelek Bagi Orang yang Tidak Memenuhi Panggilan untuk Sujud
Dari dalil-dalil yang menunjukkan atas wajibnya shalat berjama’ah adalah apa yang telah dijelaskan oleh Allah Ta’ala dari jeleknya akibat orang yang tidak memenuhi/menjawab panggilan untuk sujud. Allah berfirman (yanga artinya): "Pada hari betis disingkapkan dan mereka dipanggil untuk bersujud maka mereka tidak mampu (untuk sujud). (Dalam keadaan) pandangan mereka tunduk ke bawah lagi mereka diliputi kehinaan. Dan sesungguhnya mereka dahulu (di dunia) diseru untuk bersujud dan mereka dalam keadaan sejahtera." (Al-Qalam:42-43).
Yang dimaksud dengan "seruan untuk sujud" adalah seruan untuk melaksanakan shalat berjama’ah. Berkata Turjumanul Qur`an ‘Abdullah bin ‘Abbas dalam menafsirkan ayat ini: "Mereka mendengar adzan dan panggilan untuk shalat tetapi mereka tidak menjawabnya" (Ruhul Ma’ani 29/36).
Dan sungguh tidak hanya seorang dari salafnya ummat ini yang menguatkan tafsiran ini, atas dasar inilah berkata Ka’ab Al-Ahbar: "Demi Allah tidaklah ayat ini diturunkan kecuali terhadap orang-orang yang menyelisihi dari (shalat) berjama’ah." (Tafsir Al-Baghawiy 4/283, Zadul Masir 8/342 dan Tafsir Al-Qurthubiy 18/251).
Telah Berkata Sa’id bin Jubair: "Mereka mendengar (panggilan) ‘Hayya ‘alal falaah’ tetapi tidak memenuhi panggilan tersebut." (Tafsir Al-Qurthubiy 18/151 dan Ruhul Ma’ani 29/36).
Berkata Ibrahim An-Nakha’iy: "Yaitu mereka diseru dengan adzan dan iqamah tetapi mereka enggan (memenuhi seruan tersebut)." (Ibid).
Berkata Ibrahim At-Taimiy: "Yakni (mereka diseru) kepada shalat yang wajib dengan adzan dan iqamah." (Tafsir Al-Baghawiy 4/283).
Dan sejumlah ahli tafsir telah menjelaskan juga bahwasanya dalam ayat ini terdapat ancaman bagi orang yang meninggalkan shalat berjama’ah. Atas dasar/jalan ini berkata Al-Hafizh Ibnul Jauziy: "Dan dalam ayat ini terdapat ancaman bagi orang yang meninggalkan shalat berjama’ah." (Zadul Masir 8/342).
Berkata Al-Imam Fakhrurraziy (tentang ayat): "Dan sungguh mereka pada waktu di dunia telah diseru untuk sujud sedang mereka dalam keadaan sejahtera." (Al-Qalam:43), yakni ketika mereka diseru kepada shalat-shalat (yang wajib) dengan adzan dan iqamah sedang mereka dalam keadaan sejahtera, mampu untuk melaksanakan shalat. Dalam ayat ini terdapat ancaman terhadap orang yang duduk (tidak menghadiri) dari shalat berjama’ah dan tidak memenuhi panggilan mu`adzdzin sampai ditegakkannya iqamah shalat berjama’ah." (At-Tafsirul-Kabir 30/96).
Dan berkata Al-Imam Ibnul Qayyim: "Dan telah berkata lebih dari satu dari salafush shalih tentang firman Allah Ta’ala: "Dan sungguh mereka pada waktu di dunia telah diseru untuk sujud sedang mereka dalam keadaan sejahtera." (Al-Qalam:43), yaitu ucapan mu`adzdzin: "hayya ‘alash-shalaah hayya ‘alal-falaah".
Dan ini merupakan dalil yang dibangun di atas dua perkara:
Yang pertama: bahwasanya memenuhi panggilan itu adalah wajib
Yang kedua: tidak bisa memenuhi panggilan tersebut kecuali dengan hadir dalam shalat berjama’ah.
Hal tersebut di atas (kewajiban shalat berjama’ah di masjid-pent) adalah yang telah difahami oleh golongan yang paling ‘alim dari ummat ini dan yang paling fahamnya yaitu dari kalangan para shahabat radhiyallahu ‘anhum. (Ibnul Qayyim, Kitabush shalah hal. 65).
Dan yang menguatkan akan wajibnya shalat berjama’ah juga adalah apa yang telah disebutkan oleh ‘Abdullah bin ‘Abbas dari jeleknya akibat orang yang meninggalkannya. Sungguh Al-Imam Ibnu Abi Syaibah telah meriwayatkan dari Mujahid dari Ibnu ‘Abbas ia berkata: Telah berselisih atasnya seorang laki-laki yang berpuasa sepanjang siang dan shalat sepanjang malam tapi tidak menghadiri shalat jum’at dan tidak pula shalat berjama’ah, maka ia berkata: "Dia di neraka." (Al-Mushannaf 1/346 dan Jami’ut-Tirmidzi 1/188 dicetak dengan Tuhfatul Ahwadzi).
Sebagai penutup kami bawakan ucapannya Ibrahim bin Yazid At-Taimiy, ia berkata: "Apabila Engkau melihat/mendapatkan orang yang mengenteng-entengkan (bermudah-mudahan) dalam masalah takbiratul ihram, maka bersihkanlah badanmu darinya." (Siyar A’lamin Nubala` 5/62, lihat Dharuratul Ihtimam hal. 83).
Dari ucapan beliau ini, terdapat isyarat agar kita berusaha semaksimal mungkin untuk mendapatkan takbiratul ihram dalam shalat berjama’ah. Maka seyogyanya bagi kita untuk memperhatikan aktivitasnya masing-masing. Hendaklah ketika keluar atau bepergian melihat waktu shalat. Ketika waktu adzan dikumandangkan sebentar lagi sekitar 5 atau 10 menit maka kita selayaknya memperhatikannya, apakah keluarnya kita bisa mengejar untuk mendapatkan takbiratul ihram atau tidak? Jika tidak, lebih baik kita menunggu sampai kita selesai melaksanakan shalat. Semoga Allah menjadikan kita termasuk orang-orang yang mencintai Sunnah Rasulullah, mengamalkannya, menjaganya dengan sebaik-baiknya dan membelanya dari para penentangnya, Amin. Wallahu a’lamu bish-shawab.

Maraji’:
1.      Ahammiyyatu Shalatil Jama’ah, Dr. Fadhal Ilahi
2.      Dharuratul Ihtimam bissunnanin Nabawiyyah, Asy-Syaikh ‘Abdussalam bin Barjas
3.      Shahih Muslim
4.      Fatwa-fatwa Asy-Syaikh Al-Albani
Penulis adalah Asisten Ustadz Abu Hamzah Yusuf
Sumber: Buletin Al Wala’ Wal Bara’
Judul Asli: Sholat Berjamaah di Masjid, Wajibkah?
Edisi ke-37 Tahun ke-1 / 29 Agustus 2003 M / 01 Rajab 1424 H 


Sunday 12 April 2015

Paku



Suatu ketika, ada seorang anak laki-laki yang bersifat sangat pemarah. Untuk mengurangi kebiasaan marah sang anak, ayahnya memberikan sekantong paku dan mengatakan pada anak itu untuk memakukan sebuah paku di pagar belakang setiap kali dia marah.
Hari pertama anak itu telah memakukan 48 paku ke pagar setiap kali dia marah. Lalu secara bertahap jumlah itu berkurang. Dia mendapati ternyata lebih mudah menahan amarahnya daripada memakukan paku kepagar.
Akhirnya tibalah hari dimana anak tersebut merasa sama sekali bisa mengendalikan amarahnya dan tidak cepat kehilangan kesabarannya. Dia memberitahukan hal ini kepada ayahnya, yang mengusulkan agar ia mencabut satu paku untuk setiap hari dimana dia tidak marah.
Hari-hari berlalu dan anak laki-laki itu akhirnya memberitahu ayahnya bahwa semua paku telah tercabut olehnya. Lalu sang ayah menuntun anaknya kepagar. “Hmm, kamu telah berhasil dengan baik anakku, tapi lihatlah dengan baik lubang yang ada di pagar ini. Pagar ini tidak akan bisa sama seperti sebelumnya. “Ketika kamu mengatakan sesuatu dalam kemarahan. Kata-katamu meninggalkan bekas seperti lubang ini dihati orang lain.
Kamu dapat menusukkan pisau pada seseorang, lalu mencabut pisau itu. Tetapi tidak peduli berapa kali kamu minta maaf, luka itu akan tetap ada...dan luka karena kata-kata adalah sama buruknya dengan luka fisik.

Sumber: Kumpulan motivasi

Wednesday 8 April 2015

Usaha Pendekatan Antara Sunni dan Syiah



Sudah menjadi hal yang wajar kalau dalam masyarakat Islam terdapat usaha-usaha yang ditujukan unutk menyelesaikan segala perselisihan dan  perbedaan  yang terjadi.  Dikarenakan termasuk dalam pokok ajaran islam berpegang teguh dengan tali Allah  dan menghindari perpecahan. Dan  merupakan hal yang menggembirakan bagi seorang muslim yang mukhlish apabila kaum muslimin bisa bersatu di bawah kepemimpinan satu orang. Pendekatan adalah sarana untuk mencapai  persatuan itu dan menghindari perpecahan serta saling berprasangka baik  guna menjaga persatuan umat.
Dan pendekatan yang kita idam-idamkan adalah pendekatan  yang benar-benar hidup dan berdasarkan alasan yang jelas. Yang  berdasarkan pada dalil-dalil yang ilmiah dan berdasarkan pada pengalaman lapangan.  Bukan pendekatan yang hanya sebatas dalam tataran diskusi, perkumpulan  yang hanya dihiasi dengan  hal-hal yang semu, akan tetapi kenudian tidak kita dapati dalam dunia nyata sebuah dampak atau pengaruh.
Oleh karena itu saya pribadi memandang bahwa pendekatan yang benar adalah: Dengan mendekatkan sunnah dan syiah melalui pokok ajaran Islam  (Al Quran dan Sunnah) dan saya tidak mendukung usaha pendekatan yang diarahkan kepada kelompok yang sudah jelas beda di atas kebenaran untuk berdekatan dengan kelompok yang  tidak berpijak pada kebenaran. Dan kami memandang bahwa pendekatan yang benar adalah pendekatan kepada al Kitab dan Sunnah. Dan sekarang marilah kita lihat sejauh mana kedekatan atau kejauhan syiah dengan dua pokok ini. Untuk menjelaskan itu kami katakan:
 Pertama: Al Quran
Saya tidak akan mengulang-ulang tentang aqidah para ulama syiah yang menganggap bahwa al Quran sudah dirubah. Akan tetapi saya akan  menjelaskan bebrapa poin yang memiliki kaitan dengan hal ini.
1.      Dengan asumsi  bahwa sebagian ulama syiah ada yang tidak sependapat dengan keyakinan bahwa al Quran sudah diubah, akan tetapi kita masih melihat bahwa kaum syiah masih terus menerus   mencetak dan menggandakan  buku-buku yang memmuat alur pikiran ini, sebagai contoh:
-   Al Kafi karya al Kulani, 'Mahdi' mengatakannya, "al Kafi sudah cukup bagi Syiah."  (dalam Raoudhotul Jannat Khunsariy juz 6 hal 116)
-    Biharul Anwar karya al Majlisi, dicetak dalam bentuk CD.
-   Al Anwarur Ridhowiyah karya Syeikh Ahmad Ali Ashfur al Bahrani.
-  Tahriful Qur’an karya Sayyid Ali Naqiy ibn Abil Hasan  dalam bahasa Urdu.
2.      Penghormatan kaum syiah terhadap ulama mereka yang berpendapat bahwa al Quran sudah tidak asli. Seperti An Nur Thobrisi, Salim ibn Qois al Hilali, Muhammad al Faidh al Kasyani, Muhammad Baqir al Majlisi, Yusuf Bahrani, Nikmatullah al Jazairiy. Berkata Abul Hasan  al ‘Amili:  "Menurut  kami pendapat yang mengatakan bawa al Quran sudah dirubah, sudah tidak asli adalah pendapat yang benar, apalagi setelah penelitian di berbagai   atsar dan periwayatan. Yang mana sangat mungkin dikatakan itu sebagai dhoruriyat madzhab syiah, dan  juga merupakan salah satu  sarana guna merebut kekholifahan." (dalam muqoddimah kedua, bagian keempat  Miratul Anwar wa Misykatul Asrar).  Berkata Syeikh Nikmatullah al Jazairi: "Sesungguhnya menerima begitu saja bahwa al Quran adalah mutawatir yang merupakan wahyu ilahi, dan keyakinan bahwa semuanya diturunkan melalui Jibril. Mengakibatakan menolak semua riwayat yang mutawatir yang menyatakan dengan tegas bahwa al Quran telah diubah baik secara harfiah, makna maupun materinya. Meskipun sebagaian besar kita telah menyatakan  akan kebenaran hal itu." (dalam al Anwarun Nu’maniyah juz 2 hal 357)
3.      Masih banyak kalangan ulama syiah modern yang berkeyakainan bahwa al Quran sudah tidak asli lagi, sebagai contoh: Syeikh Dr. Adnan Wail, Syeikh Husein Fuhaid, mereka memiliki kaset dan video yang menunjukkan bahwa pendapat ini masih diyakini di kalangan syiah.
4.      Kaum syiah tidak memperhatikan tilawah dan ta’allumulquran meskipun sampai pada jenjang perguruan tinggi dan pada lembaga-lembaga intelektual keagamaan. Apa yang akan kami paparkan disini bukanlah kami ambilkan dari pendapat ulama kalangan sunni seperti syeikh Musa Jarullah atau syeikh Nadawi, akan tetapi saya ambilkan dari figur kepemimpinan syiah  yang tertinggi hari ini, yaitu Ayatullah Khomeni dan yang lainnya dari ulama besar syiah... mereka mengatakan:  "Yang menjadi keprihatinan adalah  bahwasanya kita sebenarnya mampu untuk memulai studi atau melanjutkannya begitu kita menerima ijazah ijtihad  tanpa harus ada  kewajiban untuk ujian al Quran, meskipun hanya sekali!!!! mengapa demikian??? Dikarenakan studi kita tidak mengacu pada al Quran." (dalam Tsawabit wa Mutaghoyyirot Gauzah Ilmiah oleh Dr. Ja’far al Baqir hal 110). Dia juga mengatakan: "Jika seseorang ingin mendapatkan peredikat tertentu dalam jenjang pendidikan, maka dia tidak perlu belajar tafsir al Quran,  supaya tidak disangka orang bodoh. Karena dia mempunyai keyakinan bahwa para ahli tafsir yang mana umat sudah banyak mendapatkan manfaat dari mereka, dia katakan sebagai orang yang bodoh, tidak mempunyai bobot ilmu. Oleh karena itu   kita harus meninggalkan al Quran, kalau tidak ingin mencoreng aib pada kita." (dalam  Tsawabit wa Muaghoyyirot hal. 112) Berkata Dr. Baqiry:  "Seorang murid bisa sampai pada puncak jenjang studinya, yaitu “Ijtihad” tanpa harus mendalami ilmu-ilmu tentang al Quran. Atau hanya  sekedar mempelajari bagaimana cara membaca dengan benar. Cukup baginya untuk mengetahui bagaimana cara pengambilan hukum (istimbathul ahkam) syariat ketika dalil-dalil disodorkan kepadanya. Sehingga dia bisa menyimpulkannya dari sisi fiqhnya dengan kemampuan akal dan kaidah ushul yang khusus." (dalam buku yang sama hal 110) Berkata Atyatullah Muhammad Husein Fadhl:  "Sungguh kami terkejut dengan kurikulum studi di Najf dan Qum dan pada tempat yang  lainnya, yang tidak memasukkan studi al Quran dalam  kurikulum nya." (dalam buku yang sama hal 111)
Kedua: Pendapat Kalangan Syiah Tentang Sahabat
Allah ta’ala dan Rasul salallahu’alaihi wasallam sudah menjelaskan posisi para sahabat yang merupakan pembawa panji-panji Islam dan merupakan penopang agama ini. Akan tetapi kalangan syiah mengatakan: "Sesungguhnya seluruh sahabat telah keluar dari agamanya “murtad” sepeninggal Nabi salallahu’alaihi wasallam, kecuali hanya empat orang saja". Pendapat ini bisa dilihat  dalam:
-  Kitab Salim ibn Qois al ‘Amiri, hal. 92 cetakan Darul Funun.
-  Raodhothul Kafi juz. 8 hal 245
-  Hayatul Qulub,  oleh Al Majlisi juz 2 hal 640
Mereka juga mengkafirkan dan juga melaknat Ummul Mukminin Aisyah. Al Majlisi berkata:  "Kita semua berlepas diri dari empat berhala... Aisyah dan Hafshoh... mereka adalah seburuk-buruk makhluk Allah yang ada di muka bumi. Dan seorang imannnya tidak dianggap sempurna sebelum berlepas diri dari mereka." (dalam  Hidayah oleh Ash Shoduq hal 110 dan dalam Haqqul Yakin karya al Majlisi hal 519)  Berkata Syeikh Abdul Wahid al Anashori – dia adalah tokoh pendekatan antara sunni dan syiah -: "Kaum syiah mengkategorikan sebagai pelecehan terhadap Islam apabila seseorang mengambil tafsir melalui Abu Hurairah, Samurah ibn Jundub atau Anas ibn Malik dan yang sekelas dengan  mereka. Mereka menyakini bahwa mereka telah memalsukan agama dan telah berdusta." (dalam Adhwau ala Khuthuth, oleh Muhibbudin al Khothib, hal 65).
Kaum syiah juga berbeda dengan kaum muslimin, mereka berkeyakinan bahwa  sumber wahyu  tidak hanya berasal dari Nabi  salallahu’alaihi wasallam.   Ayatullah Husein al Khorsani berkata tentang persatuan dan pendekatan: “Kami kaum syiah memandang sebagai satu kewajiban dan hal penting untuk menyatukan Islam dan meninggalkan segala hal yang bisa menimbulkan perpecahan dalam Islam". Akan tetapi dalam halaman yang sama dia berkata: "Adapun alasan Syiah melaknat Abu Bakar dan Umar  dan para pengikutnya  dikarenakan akan hanya mengikuti  Rasulullah salallahu’alaihi wasallam!!! Sesungguhnya mereka – tidak diragukan lagi-  mereka sudah tertolak dari  Nabi dan dilaknat Allah." (dalam Islah ala Dhouit Tasyayu’ hal 88).
Sumber: www.hakekat.com

Saturday 4 April 2015

Jenggot Bantu Jaga Kelembaban Kulit Wajah



Sebuah penelitian menyebutkan bahwa pria berjenggot lebih sehat kulit wajahnya. Adalah University Southern Queensland mempublikasikan bahwa wajah yang tertutup jenggot rata-rata sehat.
Alasannya, pria brewokan lebih rendah terpapar sinar ultra violet yang membahayakan, ketimbang yang tidak memiliki brewok.
Dalam penelitian yang menggunakan tehnik dosimetrik (pengukur jumlah sinar atau radiasi yang diserap tubuh), diperoleh fakta bahwa jenggot memberikan perlindungan terhadap sinar ultra violet matahari hingga sekitar 90-95%.
Selain melindungi dari sinar ultra violet, jenggot juga diyakini membuat seseorang lebih awet muda. Dr. Nick Lowe, pakar dermatologi (ahli penyakit kulit) dari London mengatakan, jenggot membantu kulit agar tetap lembab.
“Jenggot menjaga kulit dari terpaan angin yang bisa menyebabkan kulit kering. Kulit yang terjaga kelembabannya tentu lebih sehat dibandingkan kulit kering”
Spesialis kulit dan kelamin, RS Wahidin Sudirohusodo (RSWS), Dr. dr. Khaeruddin Djawad, Sp.KK menuturkan, masuk akal jika jenggot mampu mengurangi paparan sinar ultra violet. Logikanya, dengan jenggot, sinar yang bebahaya bagi kulit tersebut terhalangi menembus secara langsung kewajah.
“Masuk akal kalau jenggot membantu menurunkan kadar paparan sinar ultra violet kewajah,” katanya. Khaeruddin juga membenarkan kulit orang berjenggot lebih lembab. Ini karena kulit yang ditumbuhi bulu tersebut mengandung minyak yang membuatnya lembab dan tidak kering.
Tapi, terkadang brewok juga membawa masalah bagi kesehatan kulit, jika dicukur dengan alat atau bahan yang tidak cocok, bisa berakibat ruam dikulit,” kata Khaeruddin.
Spesialis kulit dan kelamin lainnya, dr Andi Sastri zainuddin Sp.KK menambahkan, brewok bisa membantu  mencegah paparan sinar ultra violet. Selain itu, menurutnya dari segi  estetika, beberapa orang juga lebih tertarik pada cowok brewokan.
Kelebihan lainnya, cowok brewokan lebih minimal terkena dermatitis kontak. Yakni dermatitis akibat tersentuh zat-zat kimia. “Cowok brewok lebih terjaga dari produk bahan kimia,” kuncinya. [FAJAR]

 

Area Backlink

Mau bertukar link? Masukan Link Blogku ke blog kamu Kemudian masukan nama/web dan url blog kamu pada kotak yang tersedia di bawah, lalu tekan enter. Active Search Results
Klik tanda SUKA pada Cahaya Islam, untuk mengetahui postingan terbaru blog ini dari facebookmu

Kunjungan Ke

Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | coupon codes