Oleh: Al Ustadz Abu Rosyid
Shalat
berjama’ah adalah termasuk dari sunnah Rasulullah dan para shahabatnya.
Rasulullah dan para shahabatnya selalu melaksanakannya, tidak pernah
meninggalkannya kecuali jika ada ‘udzur yang syar’i. Bahkan ketika Rasulullah
sakit pun beliau tetap melaksanakan shalat berjama’ah di masjid dan ketika
sakitnya semakin parah beliau memerintahkan Abu Bakar untuk mengimami para
shahabatnya. Para shahabat pun bahkan ada yang dipapah oleh dua orang (karena
sakit) untuk melaksanakan shalat berjama’ah di masjid.
Kalau kita
membaca dan memperhatikan dengan sebaik-baiknya Al-Qur`an, As-Sunnah serta
pendapat dan amalan salafush shalih maka kita akan mendapati bahwa dalil-dalil
tersebut menjelaskan kepada kita akan wajibnya shalat berjama’ah di masjid. Di
antara dalil-dalil tersebut adalah:
1. Perintah Allah Ta’ala
untuk Ruku’ bersama Orang-orang yang Ruku’
Dari dalil
yang menunjukkan wajibnya shalat berjama’ah adalah firman Allah Ta’ala (yang artinya): "Dan
dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat serta ruku’lah bersama orang-orang yang
ruku’." (Al-Baqarah:43).
Berkata
Al-Imam Abu Bakr Al-Kasaniy Al-Hanafiy ketika menjelaskan wajibnya melaksanakan
shalat berjama’ah: "Adapun (dalil)
dari Al-Kitab adalah firman-Nya (yanga artinya): "Dan ruku’lah
bersama orang-orang yang ruku’." (Al-Baqarah:43), Allah Ta’ala memerintahkan ruku’ bersama-sama
orang-orang yang ruku’, yang demikian itu dengan bergabung dalam ruku’ maka ini
merupakan perintah menegakkan shalat berjama’ah. Muthlaqnya perintah
menunjukkan wajibnya mengamalkannya." (Bada`i’ush-shana`i’ fi Tartibisy-Syara`i’
1/155 dan Kitabush-Shalah hal.66).
2. Perintah Melaksanakan
Shalat Berjama’ah dalam Keadaan Takut
Tidaklah
perintah melaksanakan shalat berjama’ah dalam keadaan biasa saja, bahkan Allah
telah memerintahkannya hingga dalam keadaan takut. Allah berfirman (yang
artinya): "Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (shahabatmu)
lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah
segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata".
(An-Nisa`:102).
Maka
apabila Allah Ta’ala telah
memerintahkan untuk melaksanakan shalat berjama’ah dalam keadaan takut maka
dalam keadaan aman adalah lebih ditekankan lagi (kewajibannya). Dalam masalah
ini berkata Al-Imam Ibnul Mundzir: "Ketika
Allah memerintahkan shalat berjama’ah dalam keadaan takut menunjukkan dalam
keadaan aman lebih wajib lagi." (Al-Ausath fis Sunan Wal Ijma’ Wal
Ikhtilaf 4/135; Ma’alimus Sunan karya Al-Khithabiy 1/160 dan Al-Mughniy 3/5).
3. Perintah Nabi untuk
Melaksanakan Shalat Berjama’ah
Al-Imam
Al-Bukhariy telah meriwayatkan dari Malik bin Al-Huwairits: “Saya mendatangi Nabi dalam suatu rombongan
dari kaumku, maka kami tinggal bersamanya selama 20 hari, dan Nabi adalah
seorang yang penyayang dan lemah lembut terhadap shahabatnya, maka ketika
beliau melihat kerinduan kami kepada keluarga kami, beliau bersabda (yanga
artinya): "Kembalilah kalian dan jadilah bersama mereka serta
ajarilah mereka dan shalatlah kalian, apabila telah datang waktu shalat
hendaklah salah seorang di antara kalian adzan dan hendaklah orang yang paling
tua (berilmu tentang Al-Kitab & As-Sunnah dan paling banyak hafalan
Al-Qur`annya) di antara kalian mengimami kalian." (Hadits Riwayat
Al-Bukhari no. 628, 2/110 dan Muslim semakna dengannya no. 674, 1/465-466).
Maka Nabi
yang mulia memerintahkan adzan dan mengimami shalat ketika masuknya waktu
shalat yakni beliau memerintahkan pelaksanakannya secara berjama’ah dan
perintahnya terhadap sesuatu menunjukkan atas kewajibannya.
4. Larangan Keluar dari
Masjid setelah Dikumandangkan Adzan
Sesungguhnya
Rasulullah melarang keluar setelah dikumandangkannya adzan dari masjid sebelum
melaksanakan shalat berjama’ah. Al-Imam Ahmad telah meriwayatkan dari Abu
Hurairah ia berkata: "Rasulullah memerintahkan kami, apabila kalian di
masjid lalu diseru shalat (dikumandangkan adzan-pent) maka janganlah keluar
salah seorang di antara kalian sampai dia shalat (di masjid secara
berjama’ah-pent) (Al-Fathur-Rabbani Li Tartib Musnad Al-Imam Ahmad no. 297,
3/43).
5. Tidak Ada Keringanan
dari Nabi bagi Orang yang Meninggalkan Shalat Berjama’ah
Sesungguhnya
Nabi yang mulia tidak memberikan keringanan kepada ‘Abdullah Ibnu Ummi Maktum
untuk meninggalkan shalat berjama’ah dan melaksanakannya di rumah, padahal Ibnu
Ummi Maktum mempunyai beberapa ‘udzur sebagai berikut:
a.
Keadaannya yang buta,
b.
Tidak adanya penuntun yang
mengantarkannya ke masjid,
c.
Jauhnya rumahnya dari masjid,
d.
Adanya pohon kurma dan
pohon-pohon lainnya yang menghalanginya antara rumahnya dan masjid,
e.
Adanya binatang buas yang
banyak di Madinah dan
f.
Umurnya yang sudah tua serta
tulang-tulangnya sudah rapuh.
Al-Imam
Muslim telah meriwayatkan dari Abu Hurairah ia berkata: Seorang laki-laki
buta mendatangi Nabi lalu berkata: "Ya Rasulullah, sesungguhnya saya tidak
mempunyai seorang penuntun yang mengantarkanku ke masjid". Lalu ia meminta
Rasulullah untuk memberi keringanan baginya untuk shalat di rumahnya maka
Rasulullah memberikannya keringanan. Ketika Ibnu Ummi Maktum hendak kembali,
Rasulullah memanggilnya lalu berkata: "Apakah Engkau mendengar panggilan
(adzan) untuk shalat?" ia menjawab "benar", maka Rasulullah
bersabda: "Penuhilah panggilan tersebut."
Dan juga
banyak dalil-dalil lainnya yang menunjukkan akan wajibnya shalat berjama’ah di
masjid bagi setiap muslim yang baligh, berakal dan tidak ada ‘udzur syar’i
baginya.
Kaum Muslimah Lebih Utama
Shalat di Rumahnya
Adapun bagi
kaum muslimah maka yang lebih utama baginya adalah shalat di rumahnya daripada
di masjid, sebagaimana disebutkan di dalam Al-Qur`an: "Wa buyuutuhunna
khairullahunna" (dan rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka) dan
juga hadits-hadits yang sangat banyak yang menjelaskan keutamaan shalat di
rumah bagi kaum muslimah. Tapi apabila kaum muslimah meminta idzin untuk shalat
di masjid maka tidak boleh dilarang bahkan harus diidzinkan. Tetapi ketika dia
keluar ke masjid harus memenuhi syarat-syaratnya yaitu menutupi aurotnya secara
sempurna, tidak memakai wangi-wangian, tidak ditakutkan menimbulkan fitnah dan
yang lainnya yang telah dijelaskan para ‘ulama.
Syaikhul
Islam menjelaskan bahwa dalam keadaan tertentu shalatnya muslimah di masjid
lebih utama dari pada di rumah ketika di masjid terdapat pelajaran (ta’lim)
yang disampaikan oleh ahlus sunnah, tetapi jika di masjid tidak ada kajian
‘ilmu maka shalat di rumah lebih baik daripada di masjid.
Mengambil Ilmu Agama
Harus dari Orang yang Benar Manhajnya
Dan perlu
di ketahui bahwa kita tidak boleh mengambil ‘ilmu dari sembarang orang, tapi
harus dari orang yang sudah jelas manhajnya dan terbukti berpegang teguh dengan
Al-Qur`an dan As-Sunnah dengan pemahaman para shahabat. Kalau ia belum jelas
manhajnya dan bahkan dia menyelisihi sunnah (seperti merokok, memotong jenggot,
menurunkan kain di bawah mata kaki, bercampur baur dengan orang yang bukan
mahramnya dan lainnya dari perkara-perkara yang menyelisihi Sunnah Rasulullah)
maka tidak sepantasnya kita mengambil ‘ilmu darinya. Hal ini telah dijelaskan
oleh Al-Imam Ibnu Sirin, di mana dia berkata: "Sesungghunya ilmu ini
adalah agama maka hendaklah salah seorang dari kalian melihat dari mana ia
mengambil agamanya.", dalam lafazh yang lain ia berkata: "Mereka
(salafush-shalih) tidak menanyakan tentang isnad (suatu hadits) tetapi ketika
terjadinya fitnah (setelah terbunuhnya ‘Utsman bin ‘Affan-pent) maka mereka
mengatakan: "sebutkan sanad kalian!" Maka ketika itu dilihat, apabila
‘ilmu (hadits) itu datang dari Ahlus Sunnah maka diambil haditsnya tetapi
apabila datang dari Ahlul Bid’ah maka ditolak haditsnya." (Lihat
Muqaddimah Shahih Muslim).
Akibat Yang Jelek Bagi
Orang yang Tidak Memenuhi Panggilan untuk Sujud
Dari dalil-dalil
yang menunjukkan atas wajibnya shalat berjama’ah adalah apa yang telah
dijelaskan oleh Allah Ta’ala dari
jeleknya akibat orang yang tidak memenuhi/menjawab panggilan untuk sujud. Allah
berfirman (yanga artinya): "Pada hari betis disingkapkan dan mereka
dipanggil untuk bersujud maka mereka tidak mampu (untuk sujud). (Dalam keadaan)
pandangan mereka tunduk ke bawah lagi mereka diliputi kehinaan. Dan
sesungguhnya mereka dahulu (di dunia) diseru untuk bersujud dan mereka dalam
keadaan sejahtera." (Al-Qalam:42-43).
Yang
dimaksud dengan "seruan untuk sujud" adalah seruan untuk melaksanakan
shalat berjama’ah. Berkata Turjumanul Qur`an ‘Abdullah bin ‘Abbas dalam
menafsirkan ayat ini: "Mereka mendengar adzan dan panggilan untuk shalat
tetapi mereka tidak menjawabnya" (Ruhul Ma’ani 29/36).
Dan sungguh
tidak hanya seorang dari salafnya ummat ini yang menguatkan tafsiran ini, atas
dasar inilah berkata Ka’ab Al-Ahbar: "Demi Allah tidaklah ayat ini
diturunkan kecuali terhadap orang-orang yang menyelisihi dari (shalat)
berjama’ah." (Tafsir Al-Baghawiy 4/283, Zadul Masir 8/342 dan Tafsir
Al-Qurthubiy 18/251).
Telah
Berkata Sa’id bin Jubair: "Mereka
mendengar (panggilan) ‘Hayya ‘alal falaah’ tetapi tidak memenuhi panggilan
tersebut." (Tafsir Al-Qurthubiy 18/151 dan Ruhul Ma’ani 29/36).
Berkata
Ibrahim An-Nakha’iy: "Yaitu mereka
diseru dengan adzan dan iqamah tetapi mereka enggan (memenuhi seruan
tersebut)." (Ibid).
Berkata
Ibrahim At-Taimiy: "Yakni (mereka
diseru) kepada shalat yang wajib dengan adzan dan iqamah." (Tafsir
Al-Baghawiy 4/283).
Dan
sejumlah ahli tafsir telah menjelaskan juga bahwasanya dalam ayat ini terdapat
ancaman bagi orang yang meninggalkan shalat berjama’ah. Atas dasar/jalan ini
berkata Al-Hafizh Ibnul Jauziy: "Dan
dalam ayat ini terdapat ancaman bagi orang yang meninggalkan shalat
berjama’ah." (Zadul Masir 8/342).
Berkata
Al-Imam Fakhrurraziy (tentang ayat): "Dan
sungguh mereka pada waktu di dunia telah diseru untuk sujud sedang mereka dalam
keadaan sejahtera." (Al-Qalam:43), yakni ketika mereka diseru kepada
shalat-shalat (yang wajib) dengan adzan dan iqamah sedang mereka dalam keadaan
sejahtera, mampu untuk melaksanakan shalat. Dalam ayat ini terdapat ancaman
terhadap orang yang duduk (tidak menghadiri) dari shalat berjama’ah dan tidak
memenuhi panggilan mu`adzdzin sampai ditegakkannya iqamah shalat
berjama’ah." (At-Tafsirul-Kabir 30/96).
Dan berkata
Al-Imam Ibnul Qayyim: "Dan telah
berkata lebih dari satu dari salafush shalih tentang firman Allah Ta’ala:
"Dan sungguh mereka pada waktu di dunia telah diseru untuk sujud sedang
mereka dalam keadaan sejahtera." (Al-Qalam:43), yaitu ucapan
mu`adzdzin: "hayya ‘alash-shalaah
hayya ‘alal-falaah".
Dan ini
merupakan dalil yang dibangun di atas dua perkara:
Yang pertama: bahwasanya memenuhi panggilan itu
adalah wajib
Yang kedua: tidak bisa memenuhi panggilan tersebut
kecuali dengan hadir dalam shalat berjama’ah.
Hal
tersebut di atas (kewajiban shalat berjama’ah di masjid-pent) adalah yang telah
difahami oleh golongan yang paling ‘alim dari ummat ini dan yang paling
fahamnya yaitu dari kalangan para shahabat radhiyallahu
‘anhum. (Ibnul Qayyim, Kitabush shalah hal. 65).
Dan yang
menguatkan akan wajibnya shalat berjama’ah juga adalah apa yang telah
disebutkan oleh ‘Abdullah bin ‘Abbas dari jeleknya akibat orang yang
meninggalkannya. Sungguh Al-Imam Ibnu Abi Syaibah telah meriwayatkan dari
Mujahid dari Ibnu ‘Abbas ia berkata: Telah
berselisih atasnya seorang laki-laki yang berpuasa sepanjang siang dan shalat
sepanjang malam tapi tidak menghadiri shalat jum’at dan tidak pula shalat
berjama’ah, maka ia berkata: "Dia di neraka." (Al-Mushannaf 1/346
dan Jami’ut-Tirmidzi 1/188 dicetak dengan Tuhfatul Ahwadzi).
Sebagai
penutup kami bawakan ucapannya Ibrahim bin Yazid At-Taimiy, ia berkata: "Apabila Engkau melihat/mendapatkan
orang yang mengenteng-entengkan (bermudah-mudahan) dalam masalah takbiratul
ihram, maka bersihkanlah badanmu darinya." (Siyar A’lamin Nubala`
5/62, lihat Dharuratul Ihtimam hal. 83).
Dari ucapan
beliau ini, terdapat isyarat agar kita berusaha semaksimal mungkin untuk
mendapatkan takbiratul ihram dalam shalat berjama’ah. Maka seyogyanya bagi kita
untuk memperhatikan aktivitasnya masing-masing. Hendaklah ketika keluar atau
bepergian melihat waktu shalat. Ketika waktu adzan dikumandangkan sebentar lagi
sekitar 5 atau 10 menit maka kita selayaknya memperhatikannya, apakah keluarnya
kita bisa mengejar untuk mendapatkan takbiratul ihram atau tidak? Jika tidak,
lebih baik kita menunggu sampai kita selesai melaksanakan shalat. Semoga Allah
menjadikan kita termasuk orang-orang yang mencintai Sunnah Rasulullah,
mengamalkannya, menjaganya dengan sebaik-baiknya dan membelanya dari para
penentangnya, Amin. Wallahu a’lamu bish-shawab.
Maraji’:
1. Ahammiyyatu Shalatil
Jama’ah, Dr. Fadhal Ilahi
2. Dharuratul Ihtimam
bissunnanin Nabawiyyah, Asy-Syaikh ‘Abdussalam bin Barjas
3. Shahih Muslim
4. Fatwa-fatwa Asy-Syaikh
Al-Albani
Penulis adalah Asisten Ustadz Abu Hamzah Yusuf
Sumber: Buletin Al Wala’ Wal Bara’
Judul Asli: Sholat Berjamaah di Masjid, Wajibkah?
Edisi ke-37 Tahun ke-1 / 29 Agustus 2003 M / 01 Rajab
1424 H