Banyak di antara wanita kaum
muslimin saat sekarang ini telah kehilangan rasa malunya. Yaitu ketika mereka
bebas bergaul dan bercampur baur dengan laki-laki yang bukan mahramnya. Mereka
sudah tidak merasa risih dengan penampilan mereka yang mempertontonkan auratnya
yang menyebabkan kaum lelaki banyak yang terjerumus ke dalam dosa dan
kemaksiatan, berpaling dari agama dan mengikuti hawa nafsu.
Di dalam Al Qur’an banyak
memberikan kita pelajaran bagaimana seharusnya seorang wanita bersikap ketika
mereka bergaul dengan laki-laki yang bukan mahramnya. Di antaranya adalah
bagaimana wanita itu menumbuhkan sifat malu dalam dirinya. Malu adalah sifat
wanita yang memilki kemuliaan, ketika sifat ini hilang maka hilanglah pula
kemuliaannya. Begitu pentingnya sifat malu ini bagi seorang wanita, maka Allah subhanahu wata’ala mengabadikan
kisahnya dalam Al Qur’an:
“Dan
tatkala ia sampai di sumber air negeri Mad-yan ia menjumpai di sana sekumpulan
orang yang sedang meminumkan (ternaknya), dan ia men- jumpai di belakang orang
banyak itu, dua orang wanita yang sedang menghambat (ternaknya). Musa berkata:
"Apakah maksudmu (dengan berbuat begitu)?" kedua wanita itu menjawab:
"Kami tidak dapat meminumkan (ternak kami), sebelum pengembala-pengembala
itu memulangkan (ternaknya), sedang bapak Kami adalah orang tua yang telah
lanjut umurnya". (QS. Al Qashash: 23)
Ayat diatas menceritakan kisah
tentang Nabi Musa alaihissalam pada
saat beliau melihat dua wanita yang memiliki akhlak yang mulia. Keduanya tidak berdesak-desakan
dengan kaum lelaki (tatkala hendak memberi minum hewan gembalaannya). Keduanya
menjauhkan kambing-kambing mereka agar tidak tercampur dengan kambing gembala
lain supaya keduanya tidak di ganggu.
Ayat diatas menunjukan bahwa kedua
wanita itu keluar dari rumah yang telah berhasil mendidik keduanya. Rumah yang
mulia, yang mengagungkan kesucian diri dan rasa malu. Maka tatkala Nabi Musa alaihissalam mengetahui sebab kedua
wanita itu keluar dari rumahnya. Yakni karena ayah mereka yang telah uzur,
sehingga mengharuskan keduanya keluar dari pingitan (rumahnya), maka Nabi Musa alaihissalam pun menunaikan
kewajibannya, menolong memberikan hewan gembalaan kedua wanita itu minum.
Al Qur’an melanjutkan kisah
tersebut:
“Kemudian datanglah kepada Musa
salah seorang dari kedua wanita itu berjalan kemalu-maluan, ia berkata:
"Sesungguhnya bapakku memanggil kamu agar ia memberikan Balasan terhadap
(kebaikan)mu memberi minum (ternak) kami". Maka tatkala Musa mendatangi
bapaknya (Syu'aib) dan menceritakan kepadanya cerita (mengenai dirinya),
Syu'aib berkata: "Janganlah kamu takut. kamu telah selamat dari
orang-orang yang zalim itu". (QS. Al
Qashash: 23)
Al Qur’an menjelaskan kepada kita
bagaimana semestinya yang di lakukan oleh seorang wanita dalam budi pekerti dan
rasa malu. Al Qur’an menggambarkan bagaimana wanita mulia ini berjalan dengan
ekspresi malu, bersih dan suci. Karena itulah Allah subhanahu wata’ala memilihkan untuk Nabi Musa alaihissalam istri dari salah satu diantara keduanya.
Demikianlah yang harus di lakukan
oleh para orang tua/wali dalam mendidik anak-anaknya untuk memiliki sifat malu,
karena malu adalah perhiasan wanita. Jika dia meninggalkannya, maka terlepaslah
semua keutamaannya.
Sesungguhnya pada diri
wanita-wanita sahabat juga terdapat contoh dalam hal ini, diataranya adalah
Asama’ binti Abu Bakar ketika sedang
memikul biji-bijian di kepalanya dari kebun suaminya Zubair, yang berjarak kurang lebih 2/3 mil,
dia berpapasan dengan rombongan Rasulullah salallahu’alaihi wasallam dan para
sahabatnya. Ketika beliau salallahu’alaihi wasallam ingin menolongnya, Asma’
menolak ajakan itu karena merasa malu berjalan bersama laki-laki. Padahal dia
bersama Rasulullah salallahu’alaihi
wasallam dan para sahabatnya yang mulia.
Asma’ binti Abu Bakar menolak karena
rasa malunya, dan tahu bahwa suaminya Zubair, sangat pencemburu. Mengetahui hal
itu Nabi salallahu’alaihi wasallam
pun berlalu membiarkannya.
Yang dapat kita ambil dari kisah
Asma’ binti Abu Bakar adalah perkataannya: “Aku malu berjalan bersama laki-laki”
yang menunjukan kesucian dirinya. Rasulullah salallahu’alaihi wasallam
mengetahui sikap itu dan menghargainya.
Maka wajib bagi para wanita-wanita
muslimah, terutama bagi mereka yang bergelar akhwat yang telah mengetahui ilmu syar’i untuk mencontoh para
wanita sahabat. Mereka adalah suri teladan yang selamat dari hawa nafsu yang
buruk.
0 comments:
Post a Comment
Silahkan beri komentar; terimah kasih atas kunjungannya...