pasang iklan
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

Tuesday 28 April 2015

Keutamaan Ikhlas



Ikhlas artinya memurnikan tujuan bertaqarrub kepada Allah subhanahu wata’ala dari hal-hal yang mengotorinya. Ilhlas adalah menjadikan Allah subhanahu wata’ala sebagai satu-satunya tujuan dalam segala bentuk ketaatan atau mengabaikan pandangan makhluk dengan cara selalu berkonsentrasi kepada Al Khaliq.
Begitu pentingnya keutamaan ikhlas sehingga Allah memerintahkan ummat manusia untuk beribadah kepadaNya dengan ikhlas semata-mata mencari keridhaanNya. Allah subhanahu wata’ala berfirman:
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus. (QS. Al Bayyinah: 5)
Berikut ini beberapa keutamaan ikhlas diantaranya:
1.      Ikhlas adalah syarat diterimanya amalan
Amalan yang dimaksudkan tentunya adalah amalan shaleh yang dikerjakan sesuai dengan sunnah Rasulullah salallahu’alaihi wasallam. Sebagaimana ketika Abu Umamah radhiallahu’anhu meriwayatkan bahwa telah datang seseorang menemui Rasulullah salallahhu’alaihi wasallam dan bertanya, “Bagaimana pendapatmu tentang seseorang yang berjihad untuk mendapatkan upah dan pujian? Apakah ia mendapatkan pahala? Maka Rasulullah menjawab, “Ia tidak mendapatkan apa-apa.” Orang tadi mengulangi pertanyaannya sampai tiga kali dan Rasulullah salallahu’alaihi wasallam tetap menjawab, “Ia tidak mendapatkan apa-apa.” Lalu Beliau bersabda: Sesungguhnya Allah ‘azza wajalla tidak menerima suatu amalan kecuali jika dikerjakan murni karenaNya dan mengharapkan wajahnya. (HR. Abu Dawud dan Nasa’i dengan sannad yang jayyid).
Perhatikanlah hadits diatas, amalan sebesar apapun jika tidak didasari dengan keikhlasan kepada Allah ‘azza wajalla maka tidak akan diterima amalan tersebut dariNya. Oleh karena itu hendaknya kita membersihkan hati kita dari segala bentuk kotoran, sedkit ataupun banyak, besar ataupun kecil sehingga tujuan dari bertaqarrub benar-benar murni Karena Allah ‘azza wajalla.
Apabila suatu amalan telah dicampuri oleh harapan-harapan duniawi, yang disenangi oleh diri dan hati, sedikit ataupun banyak, maka kejernihan amalan itu telah tercemari dan hilang pulalah keikhlasannya. Maka perbaharuilah keikhlasan anda sebelum bertemu dengan Allah ‘azza wajalla dalam keadaan Allah ‘azza wajalla menggolongkan kita sebagai orang-orang yang merugi, sebagaimana Allah berfirman:
Katakanlah: "Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?"Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya. (QS. Al Kahfi: 103-104)
2.      Selamat dari godaan Syaitan
Orang yang ikhlas akan selamat dari godaan Syaitan hal di ucapkan oleh Iblis sendiri yaitu ketika Iblis di keluarkan dari Syurga, kemudian Iblis bersumpah kepada Allah bahwa dia akan menyesatkan semua anak cucu Adam disebabkan karena dengki dan dendam kepada Adam alaihissalam, namun iblis mengecualikan satu golongan yang tidak dapat disesatkannya yaitu hamba Allah yang iklhas kepad Allah. Hal ini ditunjukan oleh firman Allah dalam surat Shaad. Allah ‘azza wajalla berfirman: 
Iblis menjawab: "Demi kekuasaan Engkau aku akan menyesatkan mereka semuanya,
kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlis (ikhlas) di antara mereka. (QS. Shaad: 82-83)
Oleh karena itu orang yang ikhlas adalah orang yang akan selamat didunia dan selamat diakhirat. Maka diriwayatkan bahwa ada seorang shaleh berkata kepada dirinya, “Wahai diriku ikhlaslah, maka kamu akan selamat!”.

Friday 24 April 2015

Siapakah Mirza Ghulam Ahmad?



Mirza Ghulam Ahmad yang oleh pengikutnya dikatakan sebagai nabi sesudah Rasulullah salallahu’alaihi wasallam, hidup pada tahun 1839-1908 M. Dia dilahirkan didesa Qadian, diwilayah Punjab, India tahun 1839 M. Dia tumbuh di keluarga yang suka khianat kepada agama dan negara. Begitulah dia tumbuh, mengabdi kepada penjajahan Inggris dan senantiasa mentaatinya. Ketika dia mengangkat dirinya menjadi nabi, kaum muslimin bergabung dan menyibukan diri dengannya sehingga mengalihkan perhatian dari jihad melawan pemerintahan Inggris. Oleh pengikutnya dia dikenal sebagai orang suka menghasut/berbohong, banyak penyakit dan pecandu narkotik.
Pemerintah Inggris banyak berbuat baik kepada mereka. Sehingga dia dan pengikutnya pun memperlihatkan loyalitas kepada pemerintah Inggris.
Pada awalnya Mirza berdakwah sebagaimana dakwahnya para da’i Islam yang lain, sehingga berkumpul orang-orang disekelilingnya yang kemudian mendukungnya. Selanjutnya dia mengklaim bahwa dirinya adalah seorang mujaddid (pembahru). Pada tahap berikutnya dia mengklaim dirinya sebagai Mahdi al Mudatsar dan Masih al Ma’ud.  Lalu setelah itu mengaku sebagai nabi dan menyatakan bahwa kenabiannya lebih tinggi dan agung dari kenabian Nabi kita Muhammad salallahu’alaihi wasallam.
Diantara yang melawan dakwah Mirza Ghulam Ahmad adalah Syaikh Abdul Wafa’, seorang pemimpin Jami’ah Ahlu Hadits di India. Beliau mendebat dan membantah hujjah Mirza Ghulam Ahmad, menyingkap keburukan yang disembunyikannya, kekufuran serta penyimpangan pengakuannya.
Ketika Mirza masih belum mau kembali kepada petunjuk kebenaran, Syaikh Abdul Wafa’ mengajaknya bermubahalah (berdoa bersama), Agar Allah subahanahu wata’ala mematikan siapa yang berdusta diantara mereka, dan yang benar tetap hidup. Tak lama setelah bemubahalah, Mirza Ghulam Ahmad menemui Ajalnya tahun 1908.
Dia mati meninggalkan lebih dari dari 50 buku, bulletin serta artikel hasil karyanya. Diantara kitab yang terpenting (menurut pengikutnya tentunya) yang dimilkinya berjudul Izalatul Auham, I’jaz Ahmadi, Barohin Ahmadiyah, An Warul Islam, I’jazul Masih, at Tabligh dan Tajliat Ilahiyah.
Maka untuk orang-orang yang selalu membela Ahmadiyah, mubahalahlah yang pantas buat kalian. Agama ini bukanlah agama yang berasal dari adat dan kebiasaan atau perkataan manusia. Tetapi berasal dari langit yang ketujuh yaitu dari Allah ‘azza wajalla, oleh karena itu butuh dalil dan keterangan yang jelas dalam setiap pengakuan kita. Wasallam.

Sumber: Majalah Fatawa Hal. 53-54 Vol. 06 Th. II

Monday 20 April 2015

Saudaraku, Jagalah Lisanmu



Lidah bisa menjadi kunci kebaikan bagi seseorang, ketika dia mampu untuk memelihara atau mengendalikannya, namun sebaliknya lidah juga bisa menjadi kunci keburukan seseorang yaitu ketika ia tidak mampu untuk mejaganya dari perkataan sia-sia maupun perkataan dusta. Hal ini ditunjukan oleh riwayat dari Mu’adz bin Jabbal radhiallahu’anhu yaitu ketika Rasulullah salallahu’alaihi wasallam mengajarkan kepada Mu’adz pintu-pintu  kebaikan kemudian di akhir haditsnya Beliau bertanya: “Maukah kamu kuberitahu kunci dari semua itu? Aku (Mu’adz) menjawab: “Tentu wahai Rasulullah”. Lalu Nabi salallahu’alaihi wasallam memegang lidahnya dan berkata: “Jagalah ini! “Akupun bertanya, “Wahai Nabi Allah, apakah kita akan disiksa karena pembicaraan kita? “Rasul menjawab: “Ibumu telah kehilanganmu, Mu’adz! Bukankah manusia itu diseret keneraka pada wajah-wajah mereka atau hidung-hidung mereka hanya disebabkan oleh buah perkataan lidah mereka? (HR. Tirmidzy)
Yang dimaksud dengan buah perkataan dalam hadits ini adalah balasan atas perkataan yang haram dan berbagai akibatnya. Selain itu yang paling banyak menjerumuskan manusia kedalam api neraka adalah karena ucapannya.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu bahwa Rasululllah salallahu’alaihi wasallam bersabda: “Yang paling banyak menjerumuskan manusia ke neraka adalah dua lubang: “Mulut dan kemaluan”. (HR. At Tirmidzy)
Hal ini di sebabkan karena terkadang kita mengucapkan suatu perkataan yang mungkin kita anggap biasa, namun dihadapan Allah itu adalah perkara yang luar biasa. Sehingga Rasulullah salallahu’alaihi wasallam bersabda:
“Sesungguhnya ada seorang yang mengucapkan sebuah kalimat yang ia anggap biasa namun karenanya ia terjun kedalam neraka sejauh 70 tahun.” (HR. Tirmidzy; shahih gharib)
Maka dari itu kita di perintahkan untuk berbicara yang baik-baik, kalau tidak mampu untuk berbicara yang baik-baik maka sebaiknya kita diam. Rasulullah salallahu’alaihi wasallam bersabda:
 “Barangsipa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Suatu ketika Umar bin Khattab radhiallahu’anhu, mengunjungi Abu Bakar radhiallahu’anhu. Umar mendapatinya sedang menarik lidahnya dengan tangannya. Umar bertanya: “Apa yang  anda lakukan? Semoga Allah mengampunimu!” Abu Bakar menjawab: “Inilah benda yang akan menjerumuskan aku ke neraka.”
Abdullah bin Mas’ud radhiallhu’anhu berkata: “Demi Allah yang tidak ada Illah selain Dia! Tidak ada sesuatupun yang lebih perlu untuk di penjarakan selain lisanku!” Dia juga mengatakan: “Wahai lisan, ucapkanlah yang baik-baik, niscaya kamu akan beruntung! Berhentilah dari mengucapkan yang buruk-buruk, niscaya kamu akan selamat sebelum menyesal!”
Begitulah para sahabat Nabi dalam menjaga lisan-lisan mereka dari perkataan yang sia-sia dan mengandung dosa. Mereka begitu takut jika nanti mereka bertemu dengan Allah subhanahu wata’ala dalam keadaan lidah mereka tidak selamat.
Oleh karena itu hendaklah tiap-tiap diri memperhatikan ucapannya, apakah ucapan itu bermanfaat atau tidak. Apakah ucapan itu mengajak kepada kebaikan ataukah malah berisi fitnah, kedustaan, ghibah atau perkataan-perkataan tercela lainnya. Hendaklah kita berusaha untuk menjaga lisan kita dari membicarakan aib orang lain, menuduh saudara kita melakukan keburukan padahal kita tidak mengetahui hakekat yang sebenarnya!
Karena semua itu akan dimintai pertanggung jawabannya di akhirat kelak. Saudaraku jagalah lisanmu! Barakallahu fikum.

Thursday 16 April 2015

Wajibnya Sholat Berjama’ah di Masjid



Oleh: Al Ustadz Abu Rosyid  
Shalat berjama’ah adalah termasuk dari sunnah Rasulullah dan para shahabatnya. Rasulullah dan para shahabatnya selalu melaksanakannya, tidak pernah meninggalkannya kecuali jika ada ‘udzur yang syar’i. Bahkan ketika Rasulullah sakit pun beliau tetap melaksanakan shalat berjama’ah di masjid dan ketika sakitnya semakin parah beliau memerintahkan Abu Bakar untuk mengimami para shahabatnya. Para shahabat pun bahkan ada yang dipapah oleh dua orang (karena sakit) untuk melaksanakan shalat berjama’ah di masjid.
Kalau kita membaca dan memperhatikan dengan sebaik-baiknya Al-Qur`an, As-Sunnah serta pendapat dan amalan salafush shalih maka kita akan mendapati bahwa dalil-dalil tersebut menjelaskan kepada kita akan wajibnya shalat berjama’ah di masjid. Di antara dalil-dalil tersebut adalah:
1. Perintah Allah Ta’ala untuk Ruku’ bersama Orang-orang yang Ruku’
Dari dalil yang menunjukkan wajibnya shalat berjama’ah adalah firman Allah Ta’ala (yang artinya): "Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat serta ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’." (Al-Baqarah:43).
Berkata Al-Imam Abu Bakr Al-Kasaniy Al-Hanafiy ketika menjelaskan wajibnya melaksanakan shalat berjama’ah: "Adapun (dalil) dari Al-Kitab adalah firman-Nya (yanga artinya): "Dan ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’." (Al-Baqarah:43), Allah Ta’ala memerintahkan ruku’ bersama-sama orang-orang yang ruku’, yang demikian itu dengan bergabung dalam ruku’ maka ini merupakan perintah menegakkan shalat berjama’ah. Muthlaqnya perintah menunjukkan wajibnya mengamalkannya." (Bada`i’ush-shana`i’ fi Tartibisy-Syara`i’ 1/155 dan Kitabush-Shalah hal.66).
2. Perintah Melaksanakan Shalat Berjama’ah dalam Keadaan Takut
Tidaklah perintah melaksanakan shalat berjama’ah dalam keadaan biasa saja, bahkan Allah telah memerintahkannya hingga dalam keadaan takut. Allah berfirman (yang artinya): "Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (shahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata". (An-Nisa`:102).
Maka apabila Allah Ta’ala telah memerintahkan untuk melaksanakan shalat berjama’ah dalam keadaan takut maka dalam keadaan aman adalah lebih ditekankan lagi (kewajibannya). Dalam masalah ini berkata Al-Imam Ibnul Mundzir: "Ketika Allah memerintahkan shalat berjama’ah dalam keadaan takut menunjukkan dalam keadaan aman lebih wajib lagi." (Al-Ausath fis Sunan Wal Ijma’ Wal Ikhtilaf 4/135; Ma’alimus Sunan karya Al-Khithabiy 1/160 dan Al-Mughniy 3/5).
3. Perintah Nabi untuk Melaksanakan Shalat Berjama’ah
Al-Imam Al-Bukhariy telah meriwayatkan dari Malik bin Al-Huwairits: “Saya mendatangi Nabi dalam suatu rombongan dari kaumku, maka kami tinggal bersamanya selama 20 hari, dan Nabi adalah seorang yang penyayang dan lemah lembut terhadap shahabatnya, maka ketika beliau melihat kerinduan kami kepada keluarga kami, beliau bersabda (yanga artinya): "Kembalilah kalian dan jadilah bersama mereka serta ajarilah mereka dan shalatlah kalian, apabila telah datang waktu shalat hendaklah salah seorang di antara kalian adzan dan hendaklah orang yang paling tua (berilmu tentang Al-Kitab & As-Sunnah dan paling banyak hafalan Al-Qur`annya) di antara kalian mengimami kalian." (Hadits Riwayat Al-Bukhari no. 628, 2/110 dan Muslim semakna dengannya no. 674, 1/465-466).
Maka Nabi yang mulia memerintahkan adzan dan mengimami shalat ketika masuknya waktu shalat yakni beliau memerintahkan pelaksanakannya secara berjama’ah dan perintahnya terhadap sesuatu menunjukkan atas kewajibannya.
4. Larangan Keluar dari Masjid setelah Dikumandangkan Adzan
Sesungguhnya Rasulullah melarang keluar setelah dikumandangkannya adzan dari masjid sebelum melaksanakan shalat berjama’ah. Al-Imam Ahmad telah meriwayatkan dari Abu Hurairah ia berkata: "Rasulullah memerintahkan kami, apabila kalian di masjid lalu diseru shalat (dikumandangkan adzan-pent) maka janganlah keluar salah seorang di antara kalian sampai dia shalat (di masjid secara berjama’ah-pent) (Al-Fathur-Rabbani Li Tartib Musnad Al-Imam Ahmad no. 297, 3/43).
5. Tidak Ada Keringanan dari Nabi bagi Orang yang Meninggalkan Shalat Berjama’ah
Sesungguhnya Nabi yang mulia tidak memberikan keringanan kepada ‘Abdullah Ibnu Ummi Maktum untuk meninggalkan shalat berjama’ah dan melaksanakannya di rumah, padahal Ibnu Ummi Maktum mempunyai beberapa ‘udzur sebagai berikut:
a.       Keadaannya yang buta,
b.      Tidak adanya penuntun yang mengantarkannya ke masjid,
c.       Jauhnya rumahnya dari masjid,
d.      Adanya pohon kurma dan pohon-pohon lainnya yang menghalanginya antara rumahnya dan masjid,
e.       Adanya binatang buas yang banyak di Madinah dan
f.       Umurnya yang sudah tua serta tulang-tulangnya sudah rapuh.
Al-Imam Muslim telah meriwayatkan dari Abu Hurairah ia berkata: Seorang laki-laki buta mendatangi Nabi lalu berkata: "Ya Rasulullah, sesungguhnya saya tidak mempunyai seorang penuntun yang mengantarkanku ke masjid". Lalu ia meminta Rasulullah untuk memberi keringanan baginya untuk shalat di rumahnya maka Rasulullah memberikannya keringanan. Ketika Ibnu Ummi Maktum hendak kembali, Rasulullah memanggilnya lalu berkata: "Apakah Engkau mendengar panggilan (adzan) untuk shalat?" ia menjawab "benar", maka Rasulullah bersabda: "Penuhilah panggilan tersebut."
Dan juga banyak dalil-dalil lainnya yang menunjukkan akan wajibnya shalat berjama’ah di masjid bagi setiap muslim yang baligh, berakal dan tidak ada ‘udzur syar’i baginya.
Kaum Muslimah Lebih Utama Shalat di Rumahnya
Adapun bagi kaum muslimah maka yang lebih utama baginya adalah shalat di rumahnya daripada di masjid, sebagaimana disebutkan di dalam Al-Qur`an: "Wa buyuutuhunna khairullahunna" (dan rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka) dan juga hadits-hadits yang sangat banyak yang menjelaskan keutamaan shalat di rumah bagi kaum muslimah. Tapi apabila kaum muslimah meminta idzin untuk shalat di masjid maka tidak boleh dilarang bahkan harus diidzinkan. Tetapi ketika dia keluar ke masjid harus memenuhi syarat-syaratnya yaitu menutupi aurotnya secara sempurna, tidak memakai wangi-wangian, tidak ditakutkan menimbulkan fitnah dan yang lainnya yang telah dijelaskan para ‘ulama.
Syaikhul Islam menjelaskan bahwa dalam keadaan tertentu shalatnya muslimah di masjid lebih utama dari pada di rumah ketika di masjid terdapat pelajaran (ta’lim) yang disampaikan oleh ahlus sunnah, tetapi jika di masjid tidak ada kajian ‘ilmu maka shalat di rumah lebih baik daripada di masjid.
Mengambil Ilmu Agama Harus dari Orang yang Benar Manhajnya
Dan perlu di ketahui bahwa kita tidak boleh mengambil ‘ilmu dari sembarang orang, tapi harus dari orang yang sudah jelas manhajnya dan terbukti berpegang teguh dengan Al-Qur`an dan As-Sunnah dengan pemahaman para shahabat. Kalau ia belum jelas manhajnya dan bahkan dia menyelisihi sunnah (seperti merokok, memotong jenggot, menurunkan kain di bawah mata kaki, bercampur baur dengan orang yang bukan mahramnya dan lainnya dari perkara-perkara yang menyelisihi Sunnah Rasulullah) maka tidak sepantasnya kita mengambil ‘ilmu darinya. Hal ini telah dijelaskan oleh Al-Imam Ibnu Sirin, di mana dia berkata: "Sesungghunya ilmu ini adalah agama maka hendaklah salah seorang dari kalian melihat dari mana ia mengambil agamanya.", dalam lafazh yang lain ia berkata: "Mereka (salafush-shalih) tidak menanyakan tentang isnad (suatu hadits) tetapi ketika terjadinya fitnah (setelah terbunuhnya ‘Utsman bin ‘Affan-pent) maka mereka mengatakan: "sebutkan sanad kalian!" Maka ketika itu dilihat, apabila ‘ilmu (hadits) itu datang dari Ahlus Sunnah maka diambil haditsnya tetapi apabila datang dari Ahlul Bid’ah maka ditolak haditsnya." (Lihat Muqaddimah Shahih Muslim).
Akibat Yang Jelek Bagi Orang yang Tidak Memenuhi Panggilan untuk Sujud
Dari dalil-dalil yang menunjukkan atas wajibnya shalat berjama’ah adalah apa yang telah dijelaskan oleh Allah Ta’ala dari jeleknya akibat orang yang tidak memenuhi/menjawab panggilan untuk sujud. Allah berfirman (yanga artinya): "Pada hari betis disingkapkan dan mereka dipanggil untuk bersujud maka mereka tidak mampu (untuk sujud). (Dalam keadaan) pandangan mereka tunduk ke bawah lagi mereka diliputi kehinaan. Dan sesungguhnya mereka dahulu (di dunia) diseru untuk bersujud dan mereka dalam keadaan sejahtera." (Al-Qalam:42-43).
Yang dimaksud dengan "seruan untuk sujud" adalah seruan untuk melaksanakan shalat berjama’ah. Berkata Turjumanul Qur`an ‘Abdullah bin ‘Abbas dalam menafsirkan ayat ini: "Mereka mendengar adzan dan panggilan untuk shalat tetapi mereka tidak menjawabnya" (Ruhul Ma’ani 29/36).
Dan sungguh tidak hanya seorang dari salafnya ummat ini yang menguatkan tafsiran ini, atas dasar inilah berkata Ka’ab Al-Ahbar: "Demi Allah tidaklah ayat ini diturunkan kecuali terhadap orang-orang yang menyelisihi dari (shalat) berjama’ah." (Tafsir Al-Baghawiy 4/283, Zadul Masir 8/342 dan Tafsir Al-Qurthubiy 18/251).
Telah Berkata Sa’id bin Jubair: "Mereka mendengar (panggilan) ‘Hayya ‘alal falaah’ tetapi tidak memenuhi panggilan tersebut." (Tafsir Al-Qurthubiy 18/151 dan Ruhul Ma’ani 29/36).
Berkata Ibrahim An-Nakha’iy: "Yaitu mereka diseru dengan adzan dan iqamah tetapi mereka enggan (memenuhi seruan tersebut)." (Ibid).
Berkata Ibrahim At-Taimiy: "Yakni (mereka diseru) kepada shalat yang wajib dengan adzan dan iqamah." (Tafsir Al-Baghawiy 4/283).
Dan sejumlah ahli tafsir telah menjelaskan juga bahwasanya dalam ayat ini terdapat ancaman bagi orang yang meninggalkan shalat berjama’ah. Atas dasar/jalan ini berkata Al-Hafizh Ibnul Jauziy: "Dan dalam ayat ini terdapat ancaman bagi orang yang meninggalkan shalat berjama’ah." (Zadul Masir 8/342).
Berkata Al-Imam Fakhrurraziy (tentang ayat): "Dan sungguh mereka pada waktu di dunia telah diseru untuk sujud sedang mereka dalam keadaan sejahtera." (Al-Qalam:43), yakni ketika mereka diseru kepada shalat-shalat (yang wajib) dengan adzan dan iqamah sedang mereka dalam keadaan sejahtera, mampu untuk melaksanakan shalat. Dalam ayat ini terdapat ancaman terhadap orang yang duduk (tidak menghadiri) dari shalat berjama’ah dan tidak memenuhi panggilan mu`adzdzin sampai ditegakkannya iqamah shalat berjama’ah." (At-Tafsirul-Kabir 30/96).
Dan berkata Al-Imam Ibnul Qayyim: "Dan telah berkata lebih dari satu dari salafush shalih tentang firman Allah Ta’ala: "Dan sungguh mereka pada waktu di dunia telah diseru untuk sujud sedang mereka dalam keadaan sejahtera." (Al-Qalam:43), yaitu ucapan mu`adzdzin: "hayya ‘alash-shalaah hayya ‘alal-falaah".
Dan ini merupakan dalil yang dibangun di atas dua perkara:
Yang pertama: bahwasanya memenuhi panggilan itu adalah wajib
Yang kedua: tidak bisa memenuhi panggilan tersebut kecuali dengan hadir dalam shalat berjama’ah.
Hal tersebut di atas (kewajiban shalat berjama’ah di masjid-pent) adalah yang telah difahami oleh golongan yang paling ‘alim dari ummat ini dan yang paling fahamnya yaitu dari kalangan para shahabat radhiyallahu ‘anhum. (Ibnul Qayyim, Kitabush shalah hal. 65).
Dan yang menguatkan akan wajibnya shalat berjama’ah juga adalah apa yang telah disebutkan oleh ‘Abdullah bin ‘Abbas dari jeleknya akibat orang yang meninggalkannya. Sungguh Al-Imam Ibnu Abi Syaibah telah meriwayatkan dari Mujahid dari Ibnu ‘Abbas ia berkata: Telah berselisih atasnya seorang laki-laki yang berpuasa sepanjang siang dan shalat sepanjang malam tapi tidak menghadiri shalat jum’at dan tidak pula shalat berjama’ah, maka ia berkata: "Dia di neraka." (Al-Mushannaf 1/346 dan Jami’ut-Tirmidzi 1/188 dicetak dengan Tuhfatul Ahwadzi).
Sebagai penutup kami bawakan ucapannya Ibrahim bin Yazid At-Taimiy, ia berkata: "Apabila Engkau melihat/mendapatkan orang yang mengenteng-entengkan (bermudah-mudahan) dalam masalah takbiratul ihram, maka bersihkanlah badanmu darinya." (Siyar A’lamin Nubala` 5/62, lihat Dharuratul Ihtimam hal. 83).
Dari ucapan beliau ini, terdapat isyarat agar kita berusaha semaksimal mungkin untuk mendapatkan takbiratul ihram dalam shalat berjama’ah. Maka seyogyanya bagi kita untuk memperhatikan aktivitasnya masing-masing. Hendaklah ketika keluar atau bepergian melihat waktu shalat. Ketika waktu adzan dikumandangkan sebentar lagi sekitar 5 atau 10 menit maka kita selayaknya memperhatikannya, apakah keluarnya kita bisa mengejar untuk mendapatkan takbiratul ihram atau tidak? Jika tidak, lebih baik kita menunggu sampai kita selesai melaksanakan shalat. Semoga Allah menjadikan kita termasuk orang-orang yang mencintai Sunnah Rasulullah, mengamalkannya, menjaganya dengan sebaik-baiknya dan membelanya dari para penentangnya, Amin. Wallahu a’lamu bish-shawab.

Maraji’:
1.      Ahammiyyatu Shalatil Jama’ah, Dr. Fadhal Ilahi
2.      Dharuratul Ihtimam bissunnanin Nabawiyyah, Asy-Syaikh ‘Abdussalam bin Barjas
3.      Shahih Muslim
4.      Fatwa-fatwa Asy-Syaikh Al-Albani
Penulis adalah Asisten Ustadz Abu Hamzah Yusuf
Sumber: Buletin Al Wala’ Wal Bara’
Judul Asli: Sholat Berjamaah di Masjid, Wajibkah?
Edisi ke-37 Tahun ke-1 / 29 Agustus 2003 M / 01 Rajab 1424 H 


 

Area Backlink

Mau bertukar link? Masukan Link Blogku ke blog kamu Kemudian masukan nama/web dan url blog kamu pada kotak yang tersedia di bawah, lalu tekan enter. Active Search Results
Klik tanda SUKA pada Cahaya Islam, untuk mengetahui postingan terbaru blog ini dari facebookmu

Kunjungan Ke

Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | coupon codes