Melafadzkan dua
kalimat syahadat dan mengamalkan tuntutannya merupakan rukun dasar agama Islam.
Namun sangat disayangkan dewasa ini, banyak orang yang tidak memahami maknanya.
Sehingga meskipun mereka mampu mengucapkannya berkali-kali, tetapi tetap saja
mereka masih melakukan kesyirikan, berupa berdoa kepada selain Allah dan
sederet aktivitas kesyirikan lainnya. Mungkin mereka beranggapan bahwa, kalimat Laa Ilaha Illallah Muhamadu Rasulullah cukup
dengan diucapkan saja, tanpa dipahami dan diamalkan sudah akan membebaskan mereka dari ke Syirikan dan memasukan mereka kedalam Syurga.
Oleh karena itu
tidak ada salahnya jika kita, sedikit membahas keutamaan dan makna dari dua
kalimat syahadat, semoga kita bisa mendapatkan pemahaman yang benar dalam memahami
dua kalimat syahadat tersebut.
Keutamaan
dua kalimat syahadat
Diantara dalil-dali yang meyebutkan
keutamaan syahadat ini adalah:
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Siapa yang bersaksi bahwa tiada Ilah (yang
berhak diibadahi) kecuali Allah yang Esa, tiada sekutu bagi-Nya; dan bahwa
Muhammad adalah
hamba dan Rasul-Nya; dan bahwa Isa adalah hamba Allah, Rasul-Nya, dan
kalimat-Nya yang sampaikan kepada Maryam serta ruh dari-Nya; dan bersyahadat
pula bahwa surga dan neraka adalah benar adanya, maka Allah akan memasukkannya
ke dalam surga, seberapapun amal yang sudah diperbuatnya.”
(Muttafaq’alaih)
Dan dalam Shahih
Muslim dan lainnya, hadits marfu dari Utsman radhiallah anhu Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang meninggal sedangkan dia mengetahui makna La Ilaha
Illallah pasti masuk surga.” (HR. Muslim)
Dari Abu Hurairah
radhiallah anhu, Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam bersabda: “Saya
bersaksi bahwa tiada tuhan (yang berhak diibadahi) selain Allah dan aku adalah
utusan Allah, tiada-lah seorang hamba bertemu Allah (meninggal dunia) dengan
membawa keduanya tanpa ada keraguan sedikitpun pasti ia akan masuk surga.”
(HR. Muslim)
Dari Ubadah bin
al Shamit radhiallah anhu berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Siapa yang bersaksi bahwa tiada tuhan (yang
berhak diibadahi) selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, maka Allah
mengharamkan neraka atasnya.” (HR. Muslim)
Hadits-hadits diatas
menunjukkan bahwa Nabi shallallahu alaihi
wasallam mencukupkan dua kalimat syahadat untuk para sahabat. Yaitu untuk
mengucapkannya, mengamalkan arahannya, lalu melaksanakan konsekuensinya berupa
taat kepada Allah dan Rasul-Nya, dan melaksanakan segala macam ibadah, selalu
mentauhidkan Allah Azza wa Jalla dan
menjauhi berbagai tradisi syirik. Inilah makna ucapannya, Laa
Ilaaha Illallaah. Sedangkan ikrarnya “Muhammad
Rasulullah” mengharuskannya taat kepada Rasulullah shallallahu
„alaihi wasallam dan mengikutinya.
Makna di atas
dipahami oleh orang yang mengerti bahasa Arab, termasuk kandungannya yaitu nafyu (peniadaan) dan itsbat (penetapan). Kalimat ini tidak
cukup hanya dilisankan saja, namun harus dipahami maknanya, diamalkan
tuntutannya secara dzahir dan batin. Allah Ta’ala berfirman:
“Maka
ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (Yang Hak) melainkan Allah.”
(QS. Muhammad: 19)
“Akan tetapi (orang yang dapat memberi syafaat
ialah) orang yang mengakui yang hak (tauhid) dan mereka meyakini (nya).”
(QS. Al Zukhruf: 86) dan ayat semisal yang menjelaskan ilmu (memahami makna)
menjadi syarat kalimat syahadatain.
Karena itulah,
ketika seorang musyrik mengucapkan dua kalimat syahadat secara dzahir dia
dilindungi dan darahnya dijaga sehingga dia diuji dan dilihat setelah itu. Jika
dia istiqamah di atas agamanya dan konsisten dengan tauhidnya serta mengamalkan
ajaran Islam, maka dia sebagai muslim. Dia mendapat hak dan kewajiban
sebagaimana kaum muslimin lainnya. Jika dia menyelisihi tuntutan syahadatnya,
meninggalkan sebagian syariat Islam dengan menentang dan mengingkarinya, atau
menghalalkan sesuatu yang sudah sangat jelas keharamanya, maka kalimat ini
tidak bisa menjaminnya.
Banyak
cendekiawan dan kaum awam pada zaman sekarang, entah karena bodoh atau taklid,
telah rusak akidah mereka dan tumbuh kejahilan terhadap dien dan arahan dua
kalimat syahadat ini. Bahkan, makna bahasa Arab secara umum, karenanya tidak
heran jika mayoritas mereka tidak memahami makna dua kalimat syahadat,
terang-terang melakukan hal yang membatalkannya, mencukupkan dengan hanya
membacanya berulang-ulang disertai keyakinan mendapat pahala besar, kebaikan,
terjaga harta dan darah, tanpa memahami maknanya dan mengamalkan tuntutannya.
Karena itulah,
sangat dibutuhkan penjelasan makna dua kalimat syahadat ini sebagai iqamatul hujjah bagi orang yang tindakannya bertentangan
dengan tuntutannya dan meyakini kalimat syadahat cukup dibaca berulang-ulang
lantas mejadi muslim yang sempurna tauhidnya. Kalimat syahadat tidak cukup
hanya dilisankan saja, namun harus dipahami maknanya, diamalkan tuntutannya
secara dzahir dan batin.
Makna
Kalimat Laa Ilaaha Illallaah
Para du’at
dan ulama sangat memperhatikan materi kalimat tauhid, terutama tentang
maknanya. Syaikh Sulaiman bin Abdillah dalam Taisir al Aziz al Hamiid, hal 53
menjelaskan, “Makna Laa Ilaaha Illallaah
adalah tidak ada yang diibadahi dengan benar kecuali tuhan yang satu, yaitu
Allah yang Esa tidak ada sekutu bagi-Nya, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum
kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak)
melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku.”
(QS. Al Anbiya‟: 25)
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada
tiap-tiap umat (untuk menyerukan): Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut
itu.” (QS. Al Nahl: 36)
Makna al Ilaah adalah al ma’bud (yang diibadahi). Karena inilah, ketika Nabi shallallahu alaihi wasallam berbicara kepada kafir Quraisy: “Ucapkan Laa Ilaaha Illalaah!” mereka
menjawab: “Mengapa ia menjadikan
tuhan-tuhan itu Tuhan Yang satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal
yang sangat mengherankan.” (QS. Shaad: 5)
Kaum Huud
berkata: “Apakah kamu datang kepada kami,
agar kami hanya menyembah Allah saja dan meninggalkan apa yang biasa disembah
oleh bapak-bapak kami?” (QS. Al A’raaf: 70)
Padahal Nabi Hud
hanya mengajak mereka kepada Laa Ilaaha
Illallaah. Inilah makna Laa Ilaaha
Illallaah, yaitu ibadah kepada Allah dan meninggalkan ibadah kepada selain-Nya, itulah
maksud kufur dengan taghut dan iman
kepada Allah.
Kalimat agung
ini mengandung makna bahwa selain Allah tidak berhak untuk di sembah dan di
ibadahi dan menyerahkan ibadah kepada selain Allah merupakan kebatilan
terbesar, dan kezaliman yang terburuk.
Tak seorangpun
berhak diibadahi selain Dia, sebagaimana tidak pantas disebut tuhan kecuali hanya Allah. Kalimat ini juga
mengandung nafyu ilahiyah (meniadakan
sifat-sifat ketuhanan) selain Allah dan mentapkannya hanya untuk Allah semata,
tidak ada sekutu bagi-Nya. Karena itu, kalimat ini memerintahkan untuk
menjadikan Allah sebagai satu-satunya Tuhan yang disembah dan melarang
menjadikan tuhan bersama Allah. Nafyu
dan itsbat inilah yang dipahami oleh orang yang diseru
kepada tauhid atau kalimat Laa Ilaaha
Illallaah.
Semua bentuk
ibadah yang hadir kerena pengabdian hati kepada Allah dengan cinta, ketundukan,
dan kepatuhan kepada-Nya semata masuk dalam kategori uluhiyah. Maka wajib mengesakan Allah dengan ibadah itu, seperti
doa, rasa takut, kecintaan, tawakkal, taubat, menyembelih, bernadzar, sujud,
dan ibadah lainnya. Wajib memberikan semua itu kepada Allah semata, tiada
sekutu bagi-Nya. Lalu siapa yang memberikan sedikit saja dari ibadah tadi
kepada selain Allah maka dia telah menjadi musyrik walau ia mengucapkan Laa Ilaaha Illallaah.
Makna
Syahadat Muhammad Rasulullah
Dan setelah kita
memahami bahwa Laa Ilaaha Illallaah tidak
cukup dilafadzkan saja, begitu juga dalam kalimat pasangannya (Muhammad
Rasulullah), harus disertai dengan membenarkan risalahnya, komitmen dengan
makna dan tuntutannya. Yaitu keyakinan yang menghujam dalam hati bahwa Nabi
Muhammad shallallahu alaihi wasallam
diutus oleh Tuhannya Azza wa Jalla,
dia telah memandatkan syariat ini sebagaimana risalah (kerasulan),
memerintahkan untuk menyampaikannya kepada umat, dan mewajibkan kepada seluruh
umat untuk menerima risalahnya dan berjalan di atasnya. Hal itu bisa
direalisasikan dengan memahami beberapa persoalan berikut ini:
Pertama:
Nabi shallallahu alaihi wasallam
adalah spesialis dalam risalah ini. Allah Ta‟ala
berfirman:
“Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan
memilihnya.” (QS. Al Qashash: 68)
“Allah lebih mengetahui di mana Dia menempatkan
tugas kerasulan.” (QS. Al An‟aam:124)
“Dan sesungguhnya mereka pada sisi Kami benar-benar
termasuk orang-orang pilihan yang paling baik.”
(QS. Shaad: 47)
Ayat-ayat serupa
sangat banyak yang menunjukkan bahwa para rasul dari kalangan manusia yang
telah Allah muliakan, Allah pilih dan sucikan, sehingga mereka layak untuk
mengemban risalah, penjaga syariat dan agama-Nya, dan menjadi perantara antara
Dia dengan Hamba-hamba-Nya. Allah telah menyebutkan kondisi sebagian kaum yang
mendustakan para rasul, mereka telah berkata kepada rasul mereka:
“Kamu tidak lain hanyalah manusia seperti kami
juga.” (QS. Ibrahim: 10) Lalu para rasul
menjawab: “Kami tidak lain hanyalah
manusia seperti kamu, akan tetapi Allah memberi karunia kepada siapa yang Dia
kehendaki di antara hamba-hamba-Nya.” (QS. Ibrahim: 11)
Terlebih lagi
Nabi kita Muhammad shallallahu alaihi
wasallam sebagai penutup para rasul dan seorang rasul terbaik. Allah telah
mengistimewakan beliau daripada rasul sebelumnya. Beliau adalah makhluk pilihan
yang diangkat menjadi rasul untuk seluruh makhluk dari kalangan jin dan
manusia.
Kedua:
Nabi Muhammad maksum dari kesalahan.
Umat sepakat
bahwa para nabi semuanya maksum (terjaga) dari dosa besar, karena bisa menghilangkan
sifat istimewa dan pilihan. Hal ini karena Allah akan mengembankan risalah-Nya
kepada mereka agar disampaikan kepada seluruh manusia. Karena itu, mereka harus
bisa menjadi teladan bagi umatnya, memberi peringatan agar menjauhi kekufuran
dan dosa, kefasikan dan maksiat. Seandainya kesalahan dan kemaksiatan itu nyata
maka pada mereka, maka musuh-musuh Islam punya bahan untuk mencela pribadi
mereka dan merusak syari’at
yang mereka bawa. Ini akan menghilangkan hikmah Allah Ta’ala.
Sesungguhnya di
antara bentuk rahmat-Nya, Dia menjaga para nabi-Nya dari mengerjakan
kesalahan-kesalahan ini, Allah sendiri juga melarang mereka, menjelaskan
keburukan yang ditimbulkannya, sebagaimana Dia mejadikan mereka sebagai teladan
dalam zuhud dan menjauhi syahwat dunia yang bisa menyibukkan dari negeri
akhirat. Namun, boleh jadi dosa-dosa kecil bisa terjadi pada mereka sebagai
ijtihad, tapi tidak menjadi ketetapan, tidak merusak kredibilitasnya, dan tidak
menghilangkan kenabian dari mereka. Semua itu sebagai bukti bahwa mereka
manusia biasa yang tidak tahu ilmu ghaib
dan tidak menyandang sedikitpun dari sifat rububiyyah.
Para mufassir
dan ulama telah menyebutkan sebagian kejadian itu, seperti firman Allah Ta’ala:
“Dan
janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi hari dan di
petang hari, sedang mereka menghendaki keridaan-Nya.” (QS. Al An‟aam:
52)
Dan firman-Nya:“Dan sesungguhnya mereka hampir memalingkan
kamu dari apa yang telah Kami wahyukan kepadamu, agar kamu membuat yang lain
secara bohong terhadap Kami; dan kalau sudah begitu tentulah mereka mengambil
kamu jadi sahabat yang setia. Dan kalau Kami tidak memperkuat (hati) mu,
niscaya kamu hampir-hampir condong sedikit kepada mereka.” (QS. Al Isra‟:
73-74)
Dan kejadian
semacam itu yang dilakukannya sebagai bentuk ijtihad karena menyangka ada
maslahat yang besar, sedangkan Allah tahu semua itu tidak akan terwujud. Allah
telah menjaga beliau shallallahu alaihi wasallam dari melakukan adapun maksiat dan dosa atau
membenarkannya karena menghilangkan sifat kerasulan dan sebagai manusia
pilihan. Juga karena berseberangan dengan arahan beliau untuk menjauhi
kekufuran, kefasikan, dan maksiat.
Dari sisi
tabligh (menyampaikan) pesan Allah berupa syari’at,
maka para ulama bersepakat atas kemaksuman beliau bahkan kemaksuman seluruh
nabi dalam menyampaikan risalah Allah, berupa wahyu dan syariat, bahkan Allah
telah menjaga beliau dari kesyirikan, zina dan semisalnya, jauh sebelum menjadi
Nabi. Para ulama bersepakat atas kemaksuman Nabi shallallahu
alaihi wasallam bahkan kemaksuman
seluruh nabi dalam menyampaikan risalah Allah, berupa wahyu dan syariat,
Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam telah bersabda: “Aku tidak pernah kepingin sesuatu yang
biasa dilakukan orang-orang jahiliyah dan aku juga tidak pernah kepingin
melakukan keburukan sehingga Allah memuliakanku dengan risalah-Nya.”
(Disebutkan oleh al Qadli „Iyadh dalam kitabnya al Syifa dan lainnya)
Ibnu Ishaq
berkata dalam sirahnya: “ketika Rasullullah
telah beranjak dewasa, Allah menjaganya, melinduginya dari kotoran dan
keburukan jahiliyah. Ketika ingin memuliakannya dan menjadikannya sebagai
rasul –di kala itu berada di atas agama
kaumnya- sehingga beliau menjadi seorang
pemuda yang paling mulia perilaku dan akhlaknya, paling bagus pergaulannya,
paling baik kepada tetangganya, paling gagah posturnya, paling amanat dan
paling jauh dari sifat dan akhlak tercela yang bisa mengurangi kemuliaan dan
kesuciannya, sampai-sampai mendapat julukan dari kaumnya sebagai Al Amiin
(sangat terpercaya). . .”
Sebagai catatan bahwa tidak ada seorang manusiapun
di muka bumi ini yang ma’sum setelah para Nabi dan Rasul Allah. Jika ada yang
mengatakan bahwa dirinya adalah Ma’sum maka berhati-hatilah darinya, karena dia
bermaksud memalingkan anda dari tuntunan Rasulullah salallahu’alaihi wasallam yang suci.
Jika ada orang ma’sum setelah Nabi salallahu’alaihi wasallam, maka
berapakah wahyu dan hadits-hadits palsu yang akan keluar dari mulut-mulut
mereka?! Bukankah wahyu dan hadits-hadits palsu senantisa berasal dari si “ma’sum”?!